Tinggal menghitung hari, jam dan detik, Kepergian Bulan Ramadhan sudah tidak bisa kita elak lagi. sebentar lagi kita sudah sampai di penghujung Bulan Ramadhan dan memasuki bulan Syawal.
Banyak orang yang bersuka cita menyambut datangnya bulan Syawal dengan alasan karena kita sudah tidak berpuasa lagi.
Kebanyakan dari kita memang bersuka cita, tapi sungguh semesta alam berduka cita karena kepergiannya. Padahal kita tidak pernah tahu, Apakah Ramadhan kali ini adalah Ramadhan akhir untuk kita, atau masih ada lagi jatah ramadhan yang akan kita temui di tahun esok, kita tidak tahu.
Tapi sebagian kita bersuka cita atas kepergian Ramadhan, Miris memang. Tapi itulah adanya pada diri kita.
Ada satu riwayat hadits, Dari Jabir radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda, “Jika malam Ramadhan berakhir, seluruh makhluk-makhluk besar, di segenap langit dan bumi, beserta malaikat ikut menangis. Mereka bersedih karena bencana yang menimpa umat Muhammad saw.”
Para sahabat bertanya, “bencana apakah ya Rasul?”
Nabi menjawab “Kepergian bulan Ramadhan. Sebab di dalam bulan Ramadhan segala doa terkabulkan, Semua sedekah diterima dan amalan-amalan baik dilipatgandakan pahalanya, penyiksaan sementara di hapuskan.”
Di penghujung Ramadhan ini, coba kita perhatikan masyarakat di sekitar kita. Sebagian mereka mulai sibuk dengan hiruk pikuk suasana Idul Fitri. Toko-toko perbelanjaan, mall-mall dan pasar-pasar menjadi padat merayap. hilir mudik lalu lintas merayap. Banyak rumah berganti cat, pakaian serba baru dan makanan enak juga siap tersaji.
Harus kita akui, beginilah suasana di penghujung akhir bulan Ramadhan. Kita berbahagia karena kepergian Ramadhan. Namun tidak demikian dengan para sahabat dan salafus shalih. Ketika bulan ramadhan semakin dekat dengan akhiran, justru kesedihan tampak memenuhi raut wajah mereka. Merekalah generasi terbaik ummat ini.
Coba kita renungkan, Mengapa para sahabat dan orang-orang salafus shalih bersedih ketika Ramadhan hampir berakhir?
Ada beberapa alasan mendasar yang di nuqil dari beberapa penjelasan dalam kitab mengenai mengapa para sahabat dan salafus shalih bersedih atas kepergian bulan ramadhan.
Pertama, Kepergian bulan suci ramadhan berarti pergi pula berbagai keutamaannya.
Bukankah Ramadhan bulan yang paling berkah, yang pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup? Bukankah hanya di bulan suci ini syetan dibelenggu? Maka kemudian ibadah terasa ringan dan kaum muslimin berada dalam puncak kebaikan?
قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ
Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta para syetan dibelenggu(HR. Ahmad)
Bukankah hanya di bulan Ramadhan amal sunnah diganjar pahala amal wajib, dan seluruh pahala kebajikan dilipatgandakan hingga tiada batasan?
Semua keutamaan itu takkan bisa ditemui lagi ketika Ramadhan pergi. Ia hanya akan datang pada bulan Ramadhan setahun lagi. Padahal tiada yang dapat memastikan apakah seseorang masih hidup dan sehat pada Ramadhan yang akan datang. Maka pantaslah jika para sahabat dan orang-orang shalih bersedih, bahkan menangis mendapati Ramadhan akan pergi.
Kedua, adalah peringatan dari Rasulullah SAW bahwa semestinya Ramadhan menjadikan seseorang diampuni dosanya. Jika seseorang sudah mendapati Ramadhan, sebulan bersama dengan peluang besar yang penuh keutamaan, namun masih saja belum mendapatkan ampunan, benar-benar orang itu sangat rugi. Bahkan celaka.
بَعُدَ مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ، فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ
Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni (HR. Hakim dan Thabrani)
Masalahnya adalah, apakah seseorang bisa menjamin bahwa dirinya mendapatkan ampunan itu. Sementara jika ia tidak dapat ampunan, ia celaka. Betapa hal yang tidak dapat dipastikan ini menyentuh rasa khauf para sahabat dan orang-orang shalih.
Mereka takut sekiranya menjadi orang yang celaka karena tidak mendapatkan ampunan, padahal Ramadhan akan segera pergi. Maka mereka pun menangis, meluapkan ketakutannya kepada Allah seraya bermunajat agar amal-amalnya diterima.
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَا وَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ
Wahai Rabb kami… terimalah puasa kami, shalat kami, ruku’ kami, sujud kami dan tilawah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Bagi para ulama salaf shalih menjelang hari-hari kepergian Ramadhan, begitu berat dan sedih mereka rasakan. Dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf.
Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka. Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.
Betapa tidak, bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan.
Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi.
Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.
Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.
Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan :
كانوا يدعون الله ستة أشهر أن يبلغهم شهر رمضان، ثم يدعون الله ستة أشهر أن يتقبله منهم
“ Para ulama salaf, berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka disampaikan kepada bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa lagi selama enam bulan agar Allah mau menerima amalan ibadah mereka tersebut (selama di bulan Ramadhan) “.
Beliau juga mengatakan :
كان بعض السلف يظهر عليه الحزن يوم عيد الفطر فيقال له: إنه يوم فرح وسرور فيقول: صدقتم ولكني عبد أمرني مولاي أن أعمل له عملا فلا أدري أيقبله مني أم لا ؟
“ Sebagian ulama salaf menampakkan kesedihan di hari raya Idul Fitri, Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”
“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”
Wahb bin al-Ward melihat suatu kaum sedang tertawa di hari raya, maka beliau mengatakan :
إن كان هؤلاء تقبل منهم صيامهم فما هذا فعل الشاكرين، وإن كان لم يتقبل منهم صيامهم فما هذا فعل الخائفين
“ Jika mereka termasuk orang yang diterima ibadah puasanya, lantas pantaskah tertawa itu sebagai wujud rasa syukurnya ? dan jika mereka termasuk orang yang ditolak ibadah puasanya, lantas pantaskah tertawa itu sebagai wujud rasa takut mereka ? “.
Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam :
يا ليت شعري من هذا المقبول فنهنيه، ومن هذا المحروم فنعزيه. وعن ابن مسعود أنه كان يقول: من هذا المقبول منا فنهنيه، ومن هذا المحروم منا فنعزيه
“Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”
Ucapan Sayyidina Ali radhiallahu ‘anhu ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu :
من هذا المقبول منا فنهنيه، ومن هذا المحروم منا فنعزيه، أيها المقبول هنيئا لك أيها المردود جبر الله مصيبتك
“Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, semoga Allah menambal musibahmu ”.
Subhanallah, demikianlah keadaan ulama salaf jika menjelang kepergian bulan Ramadhan. Mereka merasa sedih sebab kesempatan luar biasa itu tidak datang setiap hari atau bulannya, mereka perlu berdoa keras supaya Allah memanjangkan usia mereka dan menyampaikan mereka kepada kesempatan emas tersebut.
Dan mereka merasa sedih sebab belum tentu amalan yang mereka lakukan dengan bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan, diterima oleh Allah Ta’ala.
Inilah keadaan ulama salaf, mereka masih merasa khawatir amalan ibadah mereka tidak diterima Allah karena merasa diri masih belum sempurna melakukannya dan merasa banyak kekurangannya. Padahal realitanya mereka sungguh orang yang paling bersungguh-sungguh di dalam menjalankan hak-hak di bulan Ramadhan.
Sekarang kita lihat bagaimana kesungguhan para ulama salaf ketika mereka berada di dalam bulan Ramadhan :
Adz-Dzahabi mengatakan :
كان الأسود بن يزيد يختم القرآن في رمضان في كل ليلتين، وكان ينام بين المغرب والعشاء، وكان يختم القرآن في غير رمضان في كل ست ليالٍ
“ al-Aswad bin Yazid mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadhan di setiap dua malamnya. Beliau tidur di antara maghrib dan Isya, dan beliau mengkhatamkan al-Quran di selain bulan Ramadhan setiap enam malam sekali “.
Sufyan ats-Tsauri fokus membaca al-Quran.
كان سفيان الثوري إذا دخل رمضان ترك جميع العباد وأقبل على قراءة القرآن
“ Sufyan ats-Tsauri jika masuk bulan Ramadhan, maka beliau meninggalkan orang-orang dan fokus membaca al-Quran “.
Al-Walid bin Abdul Malik mengkhatamkan 17 khataman.
كان الوليد بن عبد الملك يختم في كل ثلاثٍ، وختم في رمضان سبع عشرة ختمه
“ Al-Walid bin Abdul Malik mengkhatamkan al-Quran tiap tiga hari sekali, dan ia mengkhatamkannya di bulan Ramadhan sebanyak 17 kali khataman “.
Qatadah mengkhatamkan al-Quran setiap 3 hari.
كان قتادة يختم القرآن في سبع، وإذا جاء رمضان ختم في كل ثلاثٍ، فإذا جاء العشر ختم كل ليلةٍ
“ Qatadah mengkhatamkan al-Quran di setiap tujuh hari sekali, dan jika telah datang bulan Ramadhan, maka ia mengkhatamkannya tiap tiga hari sekali, dan jika sudah masuk hari kesepuluh terakhir, maka ia mengkhatamkannya setiam malamnya “.
Asy-Syafi’i mengkhatamkan 60 kali khataman.
وقال الربيع بن سليمان: كان الشافعي يختم القرآن في شهر رمضان ستين ختمة وفي كل شهر ثلاثين ختمة
“ Rabi’ bin Sulaiman berkata, “ Imam asy-Syafi’i mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali, dan setiap bulan biasa sebanyak 30 kali khataman “.
Imam Bukhari khatamn satu kali tiap hari.
كَانَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ يَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ فِي النَّهَارِ كُلَّ يَوْمٍ خَتْمَةً، وَيَقُوْمُ بَعْدَ التَّرَاوِيْحِ كُلَّ ثَلَاثِ لَيَالٍ بِخَتْمَةٍ
“Muhammad bin Ismail (Imam al-Bukhari) mengkhatamkan al-Quran di siang hari bulan Ramadlan sebanyak satu kali khataman, dan salat malam setelah Tarawih khatam al-Quran tiap 3 hari “
Zuhair al-Marwazi : 90 Kali selama Ramadhan.
وَكَانَ زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَرْوَزِي يَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ تِسْعِيْنَ خَتْمَةً مَاتَ سَنَةَ ثَمَانٍ وَخَمْسِيْنَ وَمِائَتَيْنِ
“Zuhair bin Muhammad al-Marwazi mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadlan sebanyak 90 kali. Ia wafat tahun 258 H”
Hasan al-Susi khatam sekali tiap hari.
حَكَتْ عَنْهُ (اَبِي الْحَسَنِ عَلِيِّ بْنِ نَصْرٍ السُّوْسِي) زَوْجَتُهُ، وَكَانَتِ امْرَأَةً صَالِحَةً: أَنَّهُ كَانَ يَخْتِمُ فِي رَمَضَانَ كُلَّ لَيْلَةٍ خَتْمَةً. حَتَّى كَانَتْ رِجْلَاهُ تَتَوَرَّمُ مِنَ الْقِيَامِ
“Istri Abu Hasan Ali bin Nashr al-Susi, ia wanita salehah, berkata bahwa suaminya mengkhatamkan al-Quran di bulan Ramadlan setiap malam, hingga kedua kakinya membengkak”
Abdullah bin Umar fokus beribadah hingga subuh.
وقال نافع: كان ابن عمر رضي الله عنهما يقوم في بيته في شهر رمضان، فإذا انصرف الناس من المسجد أخذ إداوةً من ماءٍ ثم يخرج إلى مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم لا يخرج منه حتى يصلي فيه الصبح. أخرجه البيهقي
“ Nafi’ berkata, “ Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma melakukan qiyam di rumahnya di bulan Ramadhan, apabila manusia telah kembali dari masjid, maka beliau mengambil sebejana air kemudian keluar menuju masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak keluar lagi hingga beliau selesai sholat subuh di sana “. (HR. Al-Baihaqi)
Abu Muhammad al-Labban selama Ramadhan tidak pernah tidur seditik pun.
Al-Hafidz adz-Dzahabi bercerita dari Abi Muhammad al-Labban :
أدرك رمضان سنة سبع وعشرين وأربعمائة ببغداد فصلّى بالناس التراويح في جميع الشهر فكان إذا فرغها لا يزال يصلي في المسجد إلى الفجر، فإذا صلى درّس أصحابه. وكان يقول: لم أضع جنبي للنوم في هذا الشهر ليلاً ولا نهاراً. وكان ورده لنفسه سبعا مرتلاً
“ al-Labban pernah mendapati bulan Ramadhan di tahun 427 H di Baghdad, beliau sholat tarawikh bersama orang-orang dalam setiap malamnya selama sebulan penuh. Dan beliau jika sudah selesai sholat, maka senantiasa beliau sholat hingga waktu subuh. Jika sudah sholat subuh, maka beliau melanjutkannya dengan membuka majlis bersama sahabat-sahabatnya. Beliau pernah berkata, “ Aku tidak pernah meletakkan pinggangku untuk tidur selama sebulan ini baik siang atau pun malam “.
Demikianlah konidisi dan keadaan para ulama salaf selama di bulan Ramadhan yang mulia, semangat yang begitu tinggi, fokus yang luar biasa, keikhlasan yang luhur dan keta’atan yang optimal, sungguh jauh jarak di antara kita dan mereka.
Sepatutnyalah kita yang harusnya lebih sedih dan banyak meneteskan air mata ketimbang mereka, karena kita akui banyak ibadah yang tidak begitu optimal bahkan banyak kekurangannya selama di bulan Ramadhan ini bahkan seminggu menjelang hari raya, yang seharusnya kita lebih giat dan semangat lagi melakukan ibadah i’tikaf, membaca al-Quran, berdzikir dan lainnya, tapi malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.
Bukan berarti kita dilarang merasa senang dan gembira menyambut hari raya, bahkan itu dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).
Akan tetapi jangan sampai rasa gembira kita melalaikan dari menggunakan kesempatan emas ini untuk lebih menggapai pahala dan ridha dari Allah Ta’alaa.
Semoga Allah menerima puasa dan qiyam kita, dan mau merima yang sedikit dari apa yang kita lakukan selama di bulan Ramadhan ini. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita yang banyak, dan semoga kita dipanjangkan usia oleh Allah hingga hidup di bulan Ramadhan di tahun-tahun yang akan datang. Aamiin Yaa Rabbal aalamiin..
Saudaraku yang dirahmati Allah,
Masih ada Waktu, Ada Harapan, Kita Maksimalkan
Masih ada waktu bagi kita
Masih ada waktu bagi kita sebelum Ramadhan pergi. Masih ada kesempatan bagi kita untuk mengubah tashawur tentang akhir Ramadhan. Maka beberapa hari ke depan bisa kita perbaiki sikap kita.
Pertama, kita lihat lagi target Ramadhan yang telah kita tetapkan sebelumnya. Mungkin target tilawah kita. Masih ada waktu untuk mengejar, jika seandainya kita masih jauh dari target itu. Demikian pula kita evaluasi ibadah lainnya. Lalu kita perbaiki.
Kedua, kita lebih bersungguh-sungguh memanfaatkan Ramadhan yang tersisa sedikit ini. Mungkin kita tak bisa beri’tikaf penuh waktu seperti para sahabat dan salafus shalih itu.
Namun jangan sampai kita kehilangan malam-malam terakhir Ramadhan tanpa qiyamullail, tanpa beri’tikaf –lama atau sebentar- di masjid-Nya.
Saudaraku yang dirahmati Allah,
Bulan Ramadhan merupakan momentum peningkatan kebaikan bagi orang-orang yang bertaqwa dan ladang amal bagi orang-orang shalih. Terutama, sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Dari ummul mukminin, Aisyah RA, menceritakan tentang kondisi Nabi SAW ketika memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan:
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
Dari Aisyah RA berkata: “Rasulullah SAW jika telah masuk sepuluh terakhir bulan Ramadhan menghidupkan malam, membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggang”. (Muttafaq ‘alaih)
Apa rahasia perhatian lebih beliau terhadap sepuluh hari terakhir Ramadhan? Paling tidak ada dua sebab utama:
Sebab pertama, karena sepuluh terakhir ini merupakan penutupan bulan Ramadhan, sedangkan amal perbuatan itu tergantung pada penutupannya atau akhirnya. Rasulullah SAW berdoa:
“اللهم اجعل خير عمري آخره وخير عملي خواتمه وخير أيامي يوم ألقاك”
“Ya Allah, jadikan sebaik-baik umurku adalah penghujungnya. Dan jadikan sebaik-baik amalku adalah pamungkasnya. Dan jadikan sebaik-baik hari-hariku adalah hari di mana saya berjumpa dengan-Mu Kelak.”
Jadi, yang penting adalah hendaknya setiap manusia mengakhiri hidupnya atau perbuatannya dengan kebaikan. Karena boleh jadi ada orang yang jejak hidupnya melakukan sebagian kebaikan, namun ia memilih mengakhiri hidupnya dengan kejelekan.
Sepuluh akhir Ramadhan merupakan pamungkas bulan ini, sehingga hendaknya setiap manusia mengakhiri Ramadhan dengan kebaikan, yaitu dengan mencurahkan daya dan upaya untuk meningkatkan amaliyah ibadah di sepanjang sepuluh hari akhir Ramadhan ini.
Sebab kedua, karena dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan turunnya lailatul qadar, karena lailatul qadar bisa juga turun pada bulan Ramadhan secara keseluruhan, sesuai dengan firman Allah swt.
إنا أنزلناه في ليلة القدر
“Sesungguhnya Kami telah turunkan Al Qur’an pada malam kemuliaan.”
Allah SWT juga berfirman:
شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان
“Bulan Ramadhan, adalah bulan diturunkan di dalamnya Al Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan dari petunjuk dan pembeda -antara yang hak dan yang batil-.”
Dalam hadits disebutkan: “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan di dalamnya ada lailatul qadar, malam lebih baik dari seribu bulan. ”
Al Qur’an dan hadits shahih menunjukkan bahwa lailatul qadar itu turun di bulan Ramadhan. Dan boleh jadi di sepanjang bulan Ramadhan semua, lebih lagi di sepuluh terakhir Ramadhan. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
“التمسوها في العشر الأواخر من رمضان“.
“Carilah lailatul qadar di sepuluh terakhir Ramadhan.”
Pertanyaan berikutnya, apakah lailatul qadar di seluruh sepuluh akhir Ramadhan atau di bilangan ganjilnya saja?
Banyak hadits yang menerangkan lailatul qadar berada di sepuluh hari terakhir. Dan juga banyak hadits yang menerangkan lailatul qadar ada di bilangan ganjil akhir Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda:
“التمسوها في العشر الأواخر وفي الأوتار”
“Carilah lailatul qadar di sepuluh hari terakhir dan di bilangan ganjil.”
Oleh karena itu, mari kita berlomba meraih lailatul qadar di sepuluh hari terakhir Ramadhan, baik di bilangan ganjilnya atau di bilangan genapnya. Karena tidak ada konsensus atau ijma’ tentang kapan turunnya lailatul qadar.
Di kalangan umat muslim masyhur bahwa lailatul qadar itu turun pada tanggal 27 Ramadhan, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab dan Ibnu Umar radhiyallahu anhum. Akan tetapi sekali lagi tidak ada konsensus pastinya.
Sehingga imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Bari” menyebutkan, “Paling tidak ada 39 pendapat berbeda tentang kapan lailatul qadar.”
Ada yang berpendapat ia turun di malam dua puluh satu, ada yang berpendapat malam dua puluh tiga, dua puluh lima, bahkan ada yang berpendapat tidak tertentu.
Ada yang berpendapat lailatul qadar pindah-pindah atau ganti-ganti, pendapat lain lailatul qadar ada di sepanjang tahun. Dan pendapat lainnya yang berbeda-beda.
Untuk lebih hati-hati dan antisipasi, hendaknya setiap manusia menghidupkan sepuluh hari akhir Ramadhan.
Apa yang disunnahkan untuk dikerjakan pada sepuluh hari akhir Ramadhan?
Adalah qiyamullail, sebelumnya didahului dengan shalat tarawih dengan khusyu’. Qira’atul Qur’an, dzikir kepada Allah, seperti tasbih, tahlil, tahmid dan takbir, istighfar, doa, shalawat atas nabi dan melaksanakan kebaikan-kebaikan yang lainnya.
Lebih khusus memperbanyak doa yang ma’tsur Seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah:
اللَّهُمَّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
(Ya Allah, Engkau Dzat Pengampun, Engkau mencintai orang yang meminta maaf, maka ampunilah saya.” (Ahmad )
Patut kita renungkan, wahai saudaraku: “Laa takuunuu Ramadhaniyyan, walaakin kuunuu Rabbaniyyan. Janganlah kita menjadi hamba Ramadhan, tapi jadilah hamba Tuhan.”
Karena ada sebagian manusia yang menyibukkan diri di bulan Ramadhan dengan ketaatan dan qiraatul Qur’an, kemudian ia meninggalkan itu semua bersamaan berlalunya Ramadhan.
Kami katakan kepadanya: “Barangsiapa menyembah Ramadhan, maka Ramadhan telah mati. Namun barangsiapa yang menyembah Allah, maka Allah tetap hidup dan tidak akan pernah mati.”
Allah cinta agar manusia taat sepanjang zaman, sebagaimana Allah murka terhadap orang yang bermaksiat di sepanjang waktu.
Dan karena kita ingin mengambil bekal sebanyak mungkin di satu bulan ini, untuk mengarungi sebelas bulan berikutnya.
Kita mungkin tidak bisa bersedih dan menangis sehebat para sahabat, namun selayaknya kita pun takut sebab tak ada jaminan apakah amal kita selama ramadhan diterima, begitu pula tak ada jaminan apakah kita dipertemukan dengan Ramadhan tahun berikutnya. Lalu kita pun kemudian memperbaiki dan meningkatkan amal ibadah serta berdoa lebih sungguh-sungguh kepada-Nya.
بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم. وتفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم وتقبل الله منّي ومنكم تلاوته إنه هوالسميع العليم. واستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ