Tulisan ini mengelaborasi dan mempertajam tema khutbah pada hari raya idul adha kemarin yang membahas tentang dabhu (menyembelih).
Negeri ini memiliki ulama yang lemah, tidak mampu memengaruhi pejabat, sesuatu yang saya sayangkan. Para kiai, terutama sebagian kiai NU, tidak memiliki kekuatan sebagai ulama yang didengar. Mereka sering menggunakan dalil yang sifatnya selalu mendukung ulil amri.
Sejak dulu, saya tidak menyukai hal ini, dan saya sering mengkritiknya. Seharusnya, peran ulama dikembalikan seperti dulu, seperti Hadratussyaikh yang menjadi rujukan bagi Sukarno. Ulama seharusnya berada di posisi yang memberikan nasihat.
Ada Syuriah, Majlis Tarjih, yang seharusnya bisa mengusulkan untuk menerapkan syariah pidana potong tangan sampai hukuman mati bagi para koruptor. Sementara itu, negara-negara seperti China dan El Salvador yang tidak mengamalkan Alquran terbukti mampu menerapkan hukum pidana Islam tersebut secara baik.
Seribu kiai dan seribu penceramah dalam nahi munkar itu kalah dengan Kapolres. Misalnya, ada perjudian yang diceramahi oleh kiai, sangat mungkin tidak mempan. Tapi kapolres cuma butuh satu perintah: gerebek, jika melawan tembak di tempat. Selesai.
Jadi begini, posisi ulama itu seharusnya di atas atau minimal sebagai partner umara. Umara adalah eksekutif atau tanfidziyah, ulama adalah syuriah. Umara tidak boleh keluar dari kaidah ulama, jika ingin sesuai dengan ajaran Islam.
Perkara di lapangan bisa disesuaikan dengan yang nasional atau yang bersifat budaya. Sudah jelas bahwa masyarakat negara ini menganggap sebagian umara itu bajingan. Bajingannya kebangetan. Negara dengan kekayaan seperti ini, di ASEAN saja nomor lima, itu bagaimana? Tidak bisa ditolerir secara akal sehat maupun secara agama.
Lalu dzabihah itu apa? Saya singgung dzabihah itu dar’ul mafasid, bukan jalbul mashalih. Kambing adalah simbol karakter kehewanan. Meskipun kambing memang selektif dalam makanannya, tetapi ia tidak pernah tahu ini rumput siapa yang ia makan. Ia hanya makan saja.
Nafsu makan seperti ini salah satunya adalah alasan kenapa ia disembelih. Siapa yang menyuruh menyembelih? Inniy aro fil manamiy anniyy adbahuka, dua kalimat dengan lafadz taukid dijejerkan, anniy aro, anniy adzbahuka, ini menunjukkan keseriusan.
Perkara nanti ada fanzdhur madza tara, teknis pelaksanaannya, bagaimana nisabnya, dan lain-lain bisa didialogkan.
Kadang hati saya tidak percaya pada kiai-kiai, jika mereka tidak membuat keputusan yang tegas seperti menghukum mati koruptor atau memotong tangan mereka yang mencuri. Syariah dari Allah pasti baik, tidak mungkin tidak baik.
Dari pada merusak banyak orang, lebih baik mereka dihukum tegas. Pak Mahfud pernah bilang, uang yang dikorupsi jika dibagikan ke rakyat bisa mencapai 20 juta per orang se Indonesia. Betapa banyaknya jumlah yang dikorupsi para bajingan itu.
Beberapa negara seperti El Salvador dan Pantai Gading malah sudah menerapkan hukum yang sesuai syariat. Orang kafir saja percaya pada Al-Quran bahwa aturan itu benar dan terbukti efektif. Siapa yang bisa mengalahkan kemajuannya China?
Itu barokah dari hukuman yang sesuai dengan syariat. Makanya dibutuhkan presiden yang berani mengatakan, “Sediakan 10 peti mati, satu untuk saya jika saya korupsi nanti.” Itu orang non-Muslim yang berkata begitu. Di sini ada Lembaga-lembaga keagamaanmalah tidak berani, sangat keterlaluan sekali.
Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor, pertama karena kita kurang iman. Untuk menutupi kurangnya iman, maka diusung terus-menerus konsep rahmatan lil alamin yang salah kaprah. Rahmatan lil alamin yang mana? Yang dirahmati malah yang bajingan, bukan rakyat. Saya selalu menyampaikan ini di setiap dialog.
Saya sangat menyayangkan peran kiai kita yang tidak bisa mempengaruhi umara. Tapi, bagaimana lagi, yang memimpin thariqat dunia malah jadi tim sukses mereka. Terus, saya ditanya, kalau tidak ada ulama yang di dalam, nanti siapa yang menasehati pak?
Kalau yang di dalam itu betul-betul menasehati, itu bagus dan mendapat pahala yang besar. Tetapi kalau malah menikmati, maka ia kadzab (pendusta). Ada jarak antara ulama dan umara itu memang tidak boleh, tetapi ulama harus ditempatkan sebagai waratsatul anbiya (pewaris para nabi), jangan mau direndahkan. Hal itu sangat hina.
Bandingkan dengan Hadratussyaikh dan Kiai Ahmad Dahlan. Bahkan Belanda saja amblas karena mereka. Sukarno saja meminta hari untuk ke Tebuireng, ia mau menunggu dan ikut istikharah juga.
Saya pernah menulis tentang ini dulu, seingat saya Ar-Risalah. Negeri ini mayoritas muslim, pasti mau menerapkan hukum syariat. Yang mungkin tidak mau adalah pejabatnya, mungkin juga DPR-nya.
Faktor kedua yaitu wakil presiden kita juga ulama, kiai besar. Masak hanya mengurusi bank syariah saja? Memang itu bagus, tapi sebelum ada beliau, bank syariah sudah ada, sekarang menjadi BSI.
Siapa pun presidennya, tapi tolong kiai itu punya pengaruh. Muhammadiyah ada, NU ada, tapi peran mereka harus lebih nyata. Untuk kemaslahatan umat, jadilah satu. Buatlah gerakan sendiri, nasihatilah umara. Pasti kita menang.
Kalau tidak menang, buat saja fatwa untuk tidak patuh pada aturan pemerintah. Kalau begini terus, umat tidak wajib taat pada pemerintah, pasti pemerintah akan “mati”. Gerakan kiai powernya luar biasa.
Tapi nanti pasti ada yang menentang. Hal ini peru kita antisispasi, entah siapa yang tiba-tiba muncul mengeluarkan fatwa yang berbeda, akhirnya malah terjadi perpecahan di internal kiai.
Pasti ada yang begitu. Sudah menjadi watak kiai di Indonesia seperti itu, dan itu sudah lagu lama. Ada ulama yang benar dan ada ulama su, itu sudah lama. Kita perlu mengantisipasi hal itu.
Kita itu tidak sekadar kiai, kita punya organisasi kiai, Nahdlatul Ulama, yang merupakan pergerakan yang dipimpin oleh ulama yang takut kepada Allah. Bukan lagi Nahdatut Tujjar, bukan Nahdlatul Wathan, bukan Taswirul Afkar. Ini adalah Nahdlah, pergerakan, bukan perkumpulan. Kalau perkumpulan itu yayasan saja, ini Nahdlatul Ulama.
Apakah kiai harus mengajar saja atau juga peduli dengan problematika umat?
Ada job deskripsi masing-masing. Organisasi tugasnya memfasilitasi, yang pertama adalah pergerakan karena ini untuk kemaslahatan umat di semua bidang. Ada kiai yang mengajar, kiai alim yang mengajar, biarkan saja, karena memang tidak mungkin satu orang bisa menguasai semua disiplin ilmu. Tapi disiplin dalam pergerakan ini mutlak, tidak bisa tidak.
Kalau yang alim mengajar itu tidak perlu dikoordinir, sudah berjalan sendiri-sendiri karena mereka sudah merasa itu adalah kewajibannya. Dengan dunianya sendiri, punya musholla sendiri, punya pondok sendiri, terjadwal masing-masing. Buka sekolah, dan lain-lain. Jadi ada cetakannya, dan ada produknya. Jelas kok.
Contoh di Al-Quran yang punya label uswah hasanah itu Sayyiduna Ibrahim dan Hadraturrasul. Mereka punya keberanian menyembelih yang sangat spektakuler sekali. Nabi Ibrahim berani menyembelih anak satu-satunya, dengan ikhlas dan patuh, karena yakin bahwa Allah pasti benar. Kita harus punya iman yang kuat bahwa Allah itu benar. Sembelih saja koruptor itu, tembak mati saja koruptor itu.
Indonesia begitu kaya, segalanya ada, tetapi dikuasai oleh bajingan. Lalu yang mempunyai daya fatwa dan daya tangkal malah diam, tidak bergerak. Kalau memang tidak dilibatkan dalam menyusun aturan, berfatwalah.
Tidak hanya sibuk di Departemen Agama, hanya mengurusi nikah, talak, rujuk. Saya dari dulu tidak puas, tapi saya merasa sendirian. Bashirahnya kiai-kiai itu di mana? Saya tidak berani berbicara terlalu keras karena nanti dianggap sok Islam sendiri.
Santri di pesantren hanya ngaji saja?
Saya tidak pernah mondok di luar Tebuireng. Tapi lihatlah gaya kurikulum yang ada di Tebuireng, itu lebih tinggi kepada kemaslahatan umat. Terbukti yang saya lihat di pondok, santri tidak begitu pintar malah ketika pulang menjadi pimpinan. Yang pintar-pintar jadi kiai. Diberi jalannya masing-masing.
Biasanya yang punya pergerakan, punya langkah, itu pasti menjadi tokoh. Lihat saja yang jadi pejabat, atau maaf saja, yang punya pondok-pondok kecil atau peduli terhadap TPQ tidak selalu yang pintar-pintar.
Santri ketika keluar dari pesantren diharapkan tetap berada dalam koridor kesantrian, di bidang apapun mereka berjuang. Makna frame koridor kesantrian yaitu hatinya dan akhlaknya. Makanya ketika di pondok santri harus ikut jamaah, ngaji meskipun maknanya tidak lengkap, itu kan ada ketundukan sendiri yang terlatih.
Lagi malas tetapi masih ikut ngaji. Makanya saya hanya bisa mendorong istiqomahnya saja. Pintar tidak itu bukan urusan saya, yang penting istiqomah ngaji.
Apakah sensitivitas terhadap problematika masyarakat bisa diajarkan?
Tidak. Itu banyak lahir dari feeling, saya menyebut bashirah. Ada perbedaan anatar bashirah dan bashar, kalau bashar itu penglihatan lahiriah fisik, mata kepala. Kalau bashirah itu penglihatan menggunakan hati, rasa. Sederhananya iso rumongso, bukan rumongso iso. Itu kerja bashirah.
Ada sesuatu yang boleh, sah, tetapi tidak baik atau pantas. Ada yang sah sekaligus baik, hal ini bisa dilihat dengan bashirah.
Bedanya ulama dan umara adalah kalau ulama harus dibentuk oleh dirinya sendiri, sampai dia layak diakui. Dan tidak bisa diwariskan. Meskipun Gus, anaknya kiai besar, kalau tidak belajar ya tidak bisa jadi ulama, ya cuma dipanggil Gus saja, karena status Gus itu seperti jabatan.
Kalau tidak berilmu tidak bisa jadi ulama.Tapi kalau umara itu bisa diwariskan, bisa dibentuk. Seperti status Gus itu juga warisan, di sini Gus dipahami sebagai sebuah jabatan, bukan orang alim. Jadi Gus itu warisan, tetapi kalau ilmu itu tidak bisa diwariskan.
Makanya amir itu penguasa secara dhahir, bentuk jamaknya adalah umara. Kalau alim, jamanya ulama. Satunya bashar, satunya basirah. Jadi, jabatan bisa diwariskan, tetapi kalau ilmu tidak bisa.
Wallahu a’lam bissawab …