Agama seringkali mem-back-up hal-hal yang melekat pada kehidupan manusia sebagai perbuatan yang bernilai ibadah. Misalnya bekerja,
Lihatlah pekerjaan tidak sebagai rutinitas semata, tetapi niatkanlah sebagai perbuatan yang bernilai ibadah. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berwudhu sebelum berangkat bekerja, itu bisa menjadi pahala.
Tukang becak yang rela berpanas-panasan dan berangkat pagi-pagi dengan niat yang benar demi menghidupi keluarganya, bisa jadi memiliki pahala yang lebih besar daripada pengasuh pondok pesantren atau seorang hafiz Al-Qur’an yang hanya hafal secara huruf tapi tidak mengamalkan. Jika ada seorang menjadi ustadz lalu dia tidak bekerja, itu berarti menyalahi kodratnya.
Semua ayat Al-Qur’an yang terkait dengan ekonomi selalu menghargai bakat dan keterampilan. Seperti dalam firman Allah, “I’malu ala Dawuda syukro,” yang artinya, “Wahai keluarga Dawud, ekspresikan rasa syukurmu itu dengan amal, bukan hanya dengan kata-kata.”
Awalnya, perintah ini ditujukan kepada keluarga Nabi Dawud untuk beramal sebagai bentuk syukur mereka.
Ketika seseorang mendapatkan rezeki, misal seribu rupiah, lalu mengucapkan “alhamdulillah” atau “maturnuwun”, itu belum wujud syukur yang sejati. Hanya sekadar mengucapkan syukur seperti “alhamdulillah” atas seribu rupiah tanpa diiringi tindakan nyata, belumlah syukur yang sebenarnya.
Syukur yang sejati adalah ketika seseorang menggunakan uang seribu rupiah tersebut untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Tindakan itu yang mendatangkan banyak pahala.
Apresiasi Allah terhadap keterampilan apapun, terutama yang terlihat nyata seperti keterampilan Nabi Dawud, “Wa allamnahu sana’ata labuus”merupakan hal yang sangat tinggi, (—dan Kami ajarkan kepadanya keterampilan membuat baju besi.)
Belajar dari Kemandirian Nabi Muhammad SAW
Hadraturrasul mampu tumbuh menjadi kaya meskipun berasal dari keluarga miskin. Bagaimana tidak miskin, sejak kecil beliau tidak pernah mengenal ayahnya, dan ibunya pun meninggal saat beliau masih kecil. Beliau kemudian diasuh oleh kakeknya, tak lama kemudian kakeknya meninggal lalu beliau ikut pamannya Abu Thalib.
Tidak ada yang menulis bahwa Abu Thalib ini kaya, justru yang kaya adalah Abu Lahab. Istilah “fa aghna” berarti bahwa Allah mencukupi kebutuhan Nabi Muhammad meskipun beliau berasal dari keadaan yang serba kekurangan.
Saat masih masa-masa menyusu, Halimah As-Sa’diyah menjadi satu-satunya wanita yang ikhlas mau menyusui Nabi. Tradisi di sana saat itu, jika seseorang memiliki anak, mereka akan menawarkan anak tersebut kepada orang yang mau menyusuinya, dengan berkata, “sini, anakmu aku susui, tetapi ini bayarannya.”
Karena melihat kemiskinan keluarga Rasulullah, tidak ada yang mau menyusui beliau kecuali Halimah, meskipun dia sendiri miskin. Namun, Halimah berkata, “Ya sudah, tidak apa-apa, saya akan menyusui anak ini.”
Anehnya, setelah Halimah mulai menyusui Nabi Muhammad, kambingnya menjadi gemuk-gemuk, air susunya menjadi deras. Melihat keajaiban ini, Halimah mungkin berpikir, “Tidak apa-apa jika saya tidak dibayar.” Oleh karena itu, dia disebut As-Sa’diyah—karena keberuntungannya menyusui Nabi Muhammad.
Kemudian saat menginjak umur 13 tahun Nabi menjadi penggembala kambing sampai usia sekitar sembilan belas atau delapan belas tahun. Pekerjaan menggembala adalah hal yang umum pada saat itu. Yang menarik adalah kambing yang digembala oleh Nabi semuanya produktif.
Bahkan, banyak juragan kambing yang ingin menitipkan kambingnya kepada Nabi Muhammad karena mereka melihat hasil yang baik. Namun, Nabi tidak bisa menerima semua titipan tersebut.
Ketika berusia delapan belas tahun, Nabi turut mendanai dalam perang antar suku yang dikenal sebagai Harb al-Fijar. Pada usia dua puluh tahun, beliau mulai berdagang dan perdagangan beliau berkembang pesat.
Lalu pada usia dua puluh dua, beliau sudah menjadi seorang konglomerat dengan banyak simpanan. Pada titik ini, Khadijah, seorang pengusaha sukses, mengambil Nabi Muhammad sebagai asisten manajer. Khadijah meminta Maisaroh untuk membantu Nabi dalam mengurus perdagangan.
Saat itu, transaksi yang dilakukan Nabi Muhammad dengan Siti Khadijah adalah akad mudharabah, yaitu bagi hasil.
Maisaroh melaporkan kepada Khadijah bahwa ia belum pernah melihat pemuda seperti Muhammad. Dalam perjalanannya, awan selalu menaungi Nabi dari keberangkatan hingga pulang, sehingga beliau tidak kepanasan. Setibanya di tempat tujuan, barang dagangan yang dijual Nabi laris manis.
Apakah Semua Nabi Penggembala?
Menggembala kambing sebenarnya merupakan pekerjaan yang berfungsi sebagai pelatihan. Tetapi, tidak semua Nabi menggembala kambing. Sebagai contoh, Nabi Sulaiman tidak menggembala kambing. Kalau kita bicara tentang fa aghna, ini menunjukkan bahwa setiap Rasul memiliki pekerjaan sesuai dengan bakat masing-masing. Mari kita urutkan:
- Nabi Adam adalah seorang petani, dan anaknya, Qabil, juga seorang petani, sementara Habil adalah peternak. Pada masa itu, manusia masih terbatas.
- Nabi Nuh adalah seorang perajin kapal. Beliau membuat kapal besar dari papan-papan kayu yang disatukan dengan paku. Saya menduga saat itu sudah ada teknologi pandai besi.
- Nabi Ibrahim, saya tidak setuju dengan cerita yang mengatakan bahwa beliau menghancurkan patung-patung dengan batu runcing atau melakukan khitan dengan batu. Beliau juga disuruh menyembelih anaknya, yang tentu tidak mungkin dilakukan hanya dengan batu licin. Pada masa itu, teknologi sudah berkembang, sehingga pekerjaan seperti itu tidak mungkin dilakukan dengan alat-alat primitif. Nabi Ibrahim juga dikenal sebagai seorang peternak.
- Nabi Dawud adalah seorang perajin besi, yang membuat baju perang dari besi yang ditipiskan menjadi seperti seng.
- Nabi Idris adalah seorang penjahit.
- Nabi Musa memang menggembala kambing, yang merupakan pekerjaan yang umum di daerah gurun. Namun, di kota-kota, pekerjaan yang lebih teknis seperti shon’ata labuus (pembuatan baju perang) sudah ada.
- Sementara Nabi Muhammad selain menggembala kambing, juga seorang pedagang. Keterampilan beliau mungkin tidak terlalu menonjol dalam satu bidang tertentu, tetapi setiap sisi kehidupannya menjadi teladan bagi umatnya. Hanya satu hal yang belum dipraktikkan oleh beliau secara langsung, yaitu sebagai petani.
Jika kita berbicara tentang sifat basariyah (kemanusiaan) Rasulullah, maka kita bisa melihat bagaimana beliau memahami proses pertanian. Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Al-Quran, Wa arsalna riyaha lawaqih yang berarti “Dan Kami kirimkan angin sebagai pembawa benih”.
Dalam konteks ini, kita bisa melihat bahwa angin berperan dalam proses penyerbukan tanaman, termasuk pohon kurma. Pohon kurma memiliki jenis jantan dan betina, dan proses pembuahan terjadi ketika serbuk sari dari bunga jantan mengenai kepala putik bunga betina.
Allah telah menyediakan sarana pernikahan ini melalui angin, yang memungkinkan pohon kurma untuk berbuah bahkan tanpa campur tangan manusia. Namun, seberapa banyak buah yang dihasilkan tanpa bantuan manusia?
Pada suatu tahun, setelah musim panen, zakat yang terkumpul dari buah kurma sangat sedikit. Ketika Rasulullah bertanya mengapa zakatnya sedikit, salah satu sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, karena kami tidak melakukan penyerbukan secara manual (dengan dikawinkan).”
Rasulullah berpegangan pada ayat Wa arsalna riyaha lawaqih (Dan Kami kirimkan angin sebagai pembawa benih) ayat tersebut benar, tetapi tetap diperlukan sentuhan tangan manusia untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Kemudian Rasulullah bersabda, “Inna min amri diinikum fa ilayya, wa inna fii amri dunyakum fa antum a’lam” yang berarti, “Jika itu urusan agamamu, maka datanglah padaku. Tetapi jika itu urusan duniamu, maka kalian lebih mengetahui.”
Ini adalah sabab wurud (alasan munculnya) hadis ini, yang menunjukkan bahwa meskipun tawakal itu penting, ikhtiar atau usaha manusia juga sangat diperlukan untuk mencapai hasil yang maksimal.
Pekerjaan Nabi Bakda Bi’tsah
Pada usia 30 hingga 35 tahun, Nabi SAW bisa dikatakan sebagai seorang top investor. Namun, ketika beliau memasuki usia 40 tahun, beliau mulai mengurangi aktivitas bisnisnya. Ini terjadi karena adanya perintah untuk berdakwah, yang secara otomatis mengurangi kesempatan fokus pada bisnis.
Oleh karena itu, sebelum menjadi kiai, sebaiknya seseorang sudah mapan secara ekonomi, agar tidak tergoda oleh keserakahan atau ketamakan. Itulah sebabnya saya sering menyampaikan dalam khutbah bahwa “an asykuro ni’matakallati an ‘amta alayya“—instrumen ekonomi harus sudah terbentuk sebelum usia 40 tahun, sehingga seseorang mapan dan mensyukurinya setelah melewati usia tersebut.
Jika Anda menjadi kiai jangan nyambut gawe sendiri, sulit untuk menjadi guru yang baik sekaligus pedagang yang sukses jika dilakukan tanpa bantuan. Rasulullah sendiri, ketika bekerja sebagai pedagang, dibantu oleh Maisaroh.
Wallahu a’lam bissawab …