Sang tokoh yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah ayah penulis (KH Abdurrahman Wahid), KH A Wahid Hasjim. Dalam usia muda, yaitu 39 tahun, beliau meninggal dunia di RS Boromeus, Bandung, karena kecelakaan mobil di Cimindi, pinggiran Kota Bandung.
Ia wafat dalam usia semuda itu sehabis Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Palembang, dalam perjalanan mobil ke Sumedang. Patut dicatat, dalam usia masih sangat muda, dalam Muktamar NU di Banjarmasin, ia bersama enam ribu ulama lain telah membuat NU memutuskan menerima usulan bahwa untuk melaksanakan syariah Islam di kawasan ini tidak perlu mendirikan negara Islam.
Selain itu, bersama-sama saudaranya, KH A Kahar Mudzakkir dari Muhammadiyah; didorong oleh keluarganya yang lain, HOS Tjokroaminoto dan menantunya, Soekarno, melalui PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), ia berhasil mendorong para pemimpin gerakan Islam untuk membuang Piagam Jakarta dari UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.
Sudah tentu ada ulama lain dari NU yang tidak setuju dengan keputusan muktamar di atas. Mereka adalah para ulama dalam NU yang beranggapan bahwa Republik Indonesia harus merupakan negara Islam. Selama masa perang gerilya, mereka ”tidak bergerak”. Mereka mulai bergerak ”memperjuangkan” negara Islam bagi Kepulauan Nusantara ketika penyerahan kedaulatan terjadi.
Namun, mereka selalu kalah dalam perimbangan kekuatan politik di NU oleh sang tokoh. Mereka baru bisa mendapatkan kekuatan politik itu dalam masa Orde Baru. Itu pun hanya dapat dicapai setelah melakukan perubahan besar-besaran dalam sikap politik mereka.
Mereka yang tadinya merupakan eksponen ”gagasan Negara Islam”, pada waktu itu berubah menjadi eksponen Pancasila. Mereka seolah-olah ”melupakan” gagasan negara Islam dan menjadi ”tokoh-tokoh Pancasilais”.
Bahkan salah seorang dari mereka lalu menjadi seorang pejabat tinggi di negeri ini. Sikap mereka jauh berbeda dari angkatan gerakan Islam pada saat ini. Walaupun sama-sama ”berideologi Islam”, para pemimpin organisasi-organisasi Islam dewasa ini adalah Pancasilais yang tidak menginginkan berdirinya negara Islam.
Walau apakah pihak ini benar-benar menginginkan negara Pancasila dan tidak menginginkan negara Islam, bukanlah urusan kita. Para pengidam negara Islam itu sama halnya dengan orang-orang komunis, yang tidak akan puas jika negara yang mereka pimpin bukanlah negara komunis, sekalipun betapa jauhnya ”penyimpangan” ideologi yang terjadi.
Contohnya seperti Deng Xiaoping yang pernah menyatakan, ”Tidak penting kucing berbulu putih atau hitam, yang penting ia harus mampu menangkap tikus.” Pada saat ini, RRC mengikuti dan mencoba melaksanakan ekonomi pasar (market economy) dengan membuka ekonominya untuk bersaing dengan kebanyakan perekonomian di dunia, namun landasannya tetap ideologi Marxis-Leninis dari Mao Zedong.
Ketika dihadapkan kepada kemungkinan melanjutkan perjuangan dengan tetap bertekad mendirikan negara Islam, ternyata lawan-lawan politik sang tokoh kita itu mengalami perubahan orientasi politik.
Jika semula mereka adalah ”pejuang negara Islam”, selanjutnya ia menjadi ”tokoh-tokoh Pancasilais”. Yang lebih dahsyat lagi, mereka lalu menjadi eksponen-eksponen Pancasila itu sendiri. Ini adalah perubahan yang sangat mendasar, tapi mereka menjalani itu seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Bukan tidak mungkin mereka akan kembali kepada pemikiran semula, yaitu keinginan mendirikan negara Islam. Mungkin sikap penulis itu dirasa sangat berlebihan, tetapi itu lebih baik daripada kehilangan Pancasila. Memang, menempatkan pembahasan tentang konstitusi dan arah perjalanan sebuah bangsa bukanlah hal yang mudah.
Tetapi banyak hal akan menjadi sangat mudah tercapai, manakala kita mampu membatasi dialog tentang konstitusi dan orientasi politik bangsa kita sendiri. Di Amerika Serikat, sejak Mendagri Thomas Jefferson (kemudian Presiden ketiga AS) dan Menkeu Alexander Hamilton berselisih tentang hak-hak individu melawan hak-hak legal dan kolektif negara bagian, terjadi ”pembatasan dialog tak tertulis” pada kedua hal itu hingga kini.
Kita pun rasa-rasanya harus mencari ”pembatas” pembahasan konstitusi dan ideologi seperti itu. Persoalannya adalah bagaimana merumuskan cara-cara mencapai pembatasan seperti itu. Salah satunya menuliskan hal itu dalam sebuah artikel seperti ini.
Jadi, kita memerlukan pembatasan-pembatasan tertentu dalam dialog mengenai konstitusi yang diselenggarakan oleh berbagai kalangan di negeri ini. Tentu saja kita berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia saling mengenal keadaan, seperti yang kita alami saat ini.
Bukankah paham ”Jerman di atas segala-galanya” (Deutsche uber alles) telah menghambat perjalanan sejarah bangsa Jerman oleh Adolf Hitler. Jadi, kita patut bersyukur dapat menghindari hal itu sendiri.
Kalau Hitler mengorbankan 35 juta nyawa orang-orang Yahudi dan Rusia untuk itu, maka kita pun telah ”membayar” harga seperti itu, dalam bentuk sekitar satu juta nyawa korban penyembelihan akibat Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) pada 1965. Bukankah ini merupakan ”harga mahal” yang harus dibayar untuk kepentingan bangsa selanjutnya, bukan?
Wallahu a’lam bissawab …