Agama memerintahkan kita untuk berinfaq dari sebagian harta yang dikaruniakan Allah kepada kita. Perintah ini meskipun sederhana, namun akan terasa berat bagi hati yang masih terpaut oleh kebendaan dan keduniaan.
Dan salah satu misi agama adalah melepaskan manusia dari keterikatan pada kebendaan dan keduniaan. Kebendaan bisa kita artikan sebagai urusan materialistik, dan keduniaan bisa kita artikan sebagai urusan duniawi.
Jika begitu, lantas haruskah kita meninggalkan dunia?. Tentu tidak, karena dunia (harta) akan selalu dibutuhkan dalam pelaksanaan ibadah. Bahkan beberapa ibadah secara jelas dikategorikan oleh ulama sebagai ibadah maliyah, atau ibadah yang diamalkan dengan harta benda. Misalnya infaq, zakat, sedekah, dan haji.
Namun begitu, para ulama memberikan garis yang jelas, mana saja batasan yang boleh, dan mana batasan yang dilarang dalam urusan harta benda. Setidaknya, kita bisa belajar dari ungkapan utruk al-dunya, ta’tika raghimatan. Kejar akhirat, dunia akan mengejarmu.
Dari semua infaq yang disalurkan, ada keuntungan yang akan diperoleh jika infaq tersebut diberikan kepada kerabat dekat. Keuntungan ini dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadisnya, bahwa jika seseorang berinfaq kepada keluarganya, maka infaq tersebut juga akan dinilai sebagai shadaqah. Hadis riwayat Imam Bukhari dari sahabat Abdullah ibn Mas’ud.
إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَة
“Apabila seseorang memberi nafkah untuk keluarganya dengan niat mengharap pahala maka baginya Sedekah”
Nilai lebih dari infaq kepada kerabat dan keluarga ini mengungguli infaq kepada selain kerabat. Perbandingan dalam peruntukan infaq ini nyatanya juga ditegaskan Rasulullah dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Sahabat Abi Hurairah.
أَرْبَعَةُ دَنَانِيْرَ، دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Ada empat macam Dinar (harta), yaitu dinar yang kamu belanjakan di jalan Allah dan dinar (harta) yang kamu berikan kepada seorang budak wanita, dan dinar yang kamu sedekahkan kepada orang miskin serta dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu. Maka yang paling besar ganjaran pahalanya adalah yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.”
Lantas mengapa sedekah kepada kerabat lebih besar pahalanya dibandingkan kepada 3 golongan lainnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas?. Jawaban atas pertanyaan ini ternyata telah diterangkan oleh Rasulullah dalam hadis riwayat Imam Ahmad dari sahabat Salman bin Amir. Rasulullah Saw mengatakan:
الصدقةُ على المسكينِ صدقةٌ وعلى ذي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ صدقةٌ وصِلَةٌ
“Sedekah kepada orang miskin hanyalah sedekah. Dan bersedekah kepada keluarga terdapat dua perkara, yaitu sedekah dan silaturrahim.”
Dari hadis tersebut, bisa disimpulkan bahwa sedekah kepada kerabat memiliki dua keistimewaan sekaligus, yaitu mendapatkan pahala sedekat, dan pahala silaturrahim. Sedekah kepada sanak kerabat, walaupun hubungan persaudaraannya jauh itu lebih diutamakan daripada bersedekah kepada orang miskin biasa, apalagi bersedekah kepada kerabat yang sangat dekat seperti kepada anak, saudara, orang tua, dll.
Baca Juga : Tidak Mampu Tapi Ingin Bersedekah
Cara Berinfaq dalam al-Qur’an, Kerabat Menjadi Prioritas
Allah berfirman dalam Alquran, “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: ‘Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.’ Dan apa saja kebaikan yang kamu perbuat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 215).
Para ulama sepakat bahwa ayat ini turun menjelaskan tentang nafkah tathawwu’ (sunnah). Ibnu ‘Abbas dan Mujahid berpendapat, ayat itu menjelaskan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai bagaimana mereka harus berinfak.
Dari ayat tersebut, Allah memerintahkan agar kita berinfak dengan skala prioritas sasaran sesuai urutan berikut, yang pertama orangtua kita, lalu saudara-saudara kita, baru anak yatim, orang miskin, serta orang yang berada dalam perjalanan. Ayat ini secara tidak langsung sebenarnya juga menegaskan tentang prioritas infaq dan sedekah kepada kerabat.
Meski nafkah pada orangtua sifatnya tidak selalu wajib. Berbeda dengan nafkah pada istri dan anak. Memberikan nafkah pada orangtua pada dasarnya bersifat membantu sesuai dengan kemampuan. Namun apakah kita tega melihat orang tua yang telah renta memaksakan dirinya untuk menyokong kebutuhan hidupnya sendiri?. Sedangkan mereka telah rela jatuh bangun di masa mudanya agar kita bisa berjalan.
Mengapa silaturrahim bagitu penting dalam Islam? Hingga agama merasa perlu untuk menguatkan jalinan rahim itu dengan mengeluarkan kebijakan prioritas infaq dan sedekah untuk kerabat. Karena jika rahim putus, yang dipertaruhkan terlalu mahal, karena orang yang memutus tali silaturrahim, maka ia akan dilaknat oleh Allah, sebagaimana telah termaktup dalam 3 ayat dalam al-Qur’an.
Karena pentingnya menjaga jalinan silaturrahim, hal ini sampai dikutip oleh Hadratussyaikh di dalam kitabnya al-Tibyan. Bahwa sesungguhnya rahim adalah bagian (Sujnah) dari Rahmah (Allah) Dzah Yang Maha Kasih Sayang. Barang siapa yang memutusnya, maka Allah akan mengharamkan surga untuknya. (Hadis Nabi Riwayat Imam Ahmad dan al-Bazzar).
Sehingga Allah tak segan untuk memberikan jaminan kepada hubungan rahim, bahwa orang yang memutus silaturrahim juga akan diputus oleh Allah Swt.
أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ
Tidakkah kamu rela jika Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan yang memutuskanmu.
Pentingnya merawat jalinan silaturrahim antara karabat dalam Islam hingga harus ditopang dengan infaq dan sedekah sebenarnya memiliki garis yang lurus dengan ancaman Allah kepada orang yang memutus hubungan silaturrahim. Yaitu dengan mencabut kemakmuran harta benda pada suatu kaum. Sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw:
إنّ الله لَيُعَمِّرُ بِالْقَوْمِ الدِّيارَ، وَيُثْمِرُ لَهُمُ الأَمْوالَ، وَمَايَنْظَرُ إِلَيْهِمْ مُنْذُ خَلَقَهُمْ بُغْضاً لَهُمْ. قِيْلَ: وَكَيْفَ ذَاكَ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟، قَالَ: بصِلَتِهِمْ أرْحامَهُمْ. (رواه الطبراني)
“Sesungguhnya Allah telah meramaikan daerah-daerah suatu kaum; memperbanyak harta-harta mereka dan Allah tidak lagi melihat mereka sejak penciptaan mereka, karena benci kepada mereka”. Kemudian ada yang bertanya: “Bagaimana yang demikian itu bisa terjadi, wahai Rasulullah?”. Nabi SAW menjawab: “Disebabkan jalinan silaturrahim mereka [yang mereka putuskan]”. (H.R. al-Thabarani)
Sandwich Generation dan Resiliensi Ketahanan Keluarga
Sandwich Generation, sebuah istilah bagi generasi muda yang memiliki beban finansial berlipat ganda, karena harus menanggung kebutuhan pribadi atau anak-istri, lalu orangtuanya, dan bahkan adik-adiknya, keponakannya, saudaranya. Istilah ini dicetuskan oleh seorang profesor asal AS, bernama Dorothy A. Miller.
Jumlah Sandwich Generation semakin meningkat dalam rentan antara tahun 2017 hingga 2021. Hal ini bisa dilihat dari data BPS yang menunjukkan selama lita tahun terakhir, rasio ketergantungan lansia (usia 60 tahun ke atas) terus meningkat dari 14,02 pada tahun 2017 menjadi 16, 76 di tahun 2021.
Artinya, setiap 100 orang penduduk usia produktif (usia 15-59 tahun) harus menanggung setidaknya 17 orang penduduk lansia. Hal ini menyebabkan generasi muda rentan terkena sindrom Burnout atau kelelahan fisik dan juga mental pada diri sendiri.
Prof Euis Sunarti, Guru Besar Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University menjelaskan bahwa resiliensi yang merupakan ketahanan keluarga dalam menghadapi krisis menjadi kunci utama. Ia mengatakan, jika keluarga memiliki resiliensi maka tidak akan pecah seperti gelas kaca yang jatuh namun akan seperti bola yang dilempar ke bawah dan membal ke atas.
Ia menambahkan, keluarga akan memiliki resiliensi yang baik jika dalam prosesnya terdapat believe system yang baik, pola organisasi keluarga, pengelolaan keuangan, waktu, tenaga, penyelesaian masalah dengan baik. Keluarga dengan pola komunikasi yang baik dalam kondisi krisis akan menjadikan komunikasi sebagai alat mencegah hal yang tidak diinginkan.
Dari sini bisa tarik sebuah kesimpulan bahwa Maha Benar Allah Swt, dan maha benar Rasulullah Saw. yang telah menempatkan kerabat dalam skala prioritas dalam berinfaq dan sedekah. Hal ini tentu akan menguatkan hubungan darah dan persaudaraan, yang mana hal ini sangat ditekankan oleh agama.
Di sisi lain, infaq dan sekedah kepada keluarga juga akan membentuk ketahanan finansial suatu keluarga di saat krisis. Hal ini terbukti di saat masa pandemi Covid 19 beberapa tahun lalu. Permasalahan global yang mendunia di masa milenial ini ternyata 15 abad yang lalu telah disiapkan solusinya oleh agama Islam.
Wallahu a’lam bissawab …