Semua bangunan permanen yang dipakai untuk berjamaah bisa disebut sebagai masjid, tempat sujud (makan sujud). Banyak kita jumpai bangunan kecil-kecil yang dipakai untuk berjamaah yang biasa kita sebut musholla.
Khusus untuk sholat jumat, karena untuk menghimpun satu desa bangunannya dinamakan jami’, lalu ditransfer dalam bahasa Indonesia menjadi masjid jami’. Masjid jami’ adalah induk dari masjid-masjid kecil (musholla).
Musholla hukumnya sah dipakai untuk i’tikaf, tetapi tidak sah dipakai untuk sholat jumat, karena tidak bisa menjami’ semua warga desa.
Musolala juga merupakan tempat sujud, makanya ukurannya kecil mirip seperti maqam Ibrahim (wattahidzuu min maqaami ibrahiima mushalla). Jadi, sebenarnya musholla hanya istilah tempat shalat yang pribadi saja.
Dalam beberapa keadaan, bisa saja di sebagian ruang di rumah digaris lalu di tempat tersebut dibiasakan untuk melaksanakan shalat, maka itu bisa disebut musholla. Sah dipakai untuk i’tikaf jika sudah tidak kuat berjalan ke masjid.
Orang Jawa dulu menyebut tempat sholat sebagai pasujudan, jadi musholla oleh para wali disebut sebagai pasujudan, bisa jadi ini adalah transfer bahasa antara masjid dan musholla.
Jika anda orang kantoran, boleh saja di kantor anda ada satu ruangan kemudian diberi garis lalu dinamakan musholla, dalilnya seperti maqam Ibrahim tadi.
Di banyak tempat, termasuk di Indonesia, musholla dijadikan sebagai pondok kecil. Madrasah kecil yang mempunyai materi hanya satu, yaitu Alquran. Kalau diistilahkan di zaman sekarang mungkin seperti Taman Pendidikan Alquran (TPQ).
Makanya ada istilah “kiai langgar”, seorang yang memimpin pengajian. Zaman dulu penerangan masih memakai ublik, santri yang mengaji kadang hanya segelintir saja. Di daerah Sumatra kita sebut musholla ini sebagai surau.
Islam Datang di Indonesia Tidak Dibawa oleh Pedagang
Saya sejak dulu sangat menentang bahwa Islam di Indonesia datang dibawa oleh pedagang dari Gujarat. Ini adalah pelintiran dari Anwar Sanusi yang mengarang buku sejarah dan punya afiliasi dengan PKI.
Ia ingin memberikan kesan bahwa Islam datang di Indonesia hanya dibawa oleh rombongan orang yang ingin berdagang saja. Hal ini tentu saja ngawur, buku itu sekarang harus disobek-sobek.
Sesungguhnya Islam di bawa oleh para pendakwah Islam, juru-juru dakwah yang terorganisir dan mereka menyamar sebagai pedagang. Hal ini dilakukan karena raja-raja Nusantara terdahulu hanya mau berhubungan dalam hal bisnis.
Selain itu, para pendakwah Islam yang menyamar sebagai pedagang tersebut tidak meninggalkan pasar atau supermarket, mereka malah mendirikan surau-surau (musholla).
Jika memang mereka adalah pedagang asli, seharusnya mereka mempunyai peninggalan toko atau tempat belanjaan, bukan malah tempat pasujudan. Hal ini pernah saya sampaikan di sebuah forum di Surabaya, dan argumen saya ini tidak terbantahkan.
Menyikapi Fenomena Musholla Sepi.
Selagi ada kompensasinya, tidak masalah musholla sepi. Kompensasi di sini maksudnya adalah dalam hal mengaji Alquran sudah diajarkan di sekolah. Sekolah zaman sekarang rata-rata mempunyai metode yang lebih modern dalam megajarkan Alquran.
Sekarang hampir semua anak desa yang masih kecil-kecil bisa membaca Alquran. Beda dengan zaman dulu yang baru bisa membaca ketika sudah besar. Rata-rata musholla zaman sekarang dijadikan gedung TPQ bagi desa yang tidak punya gedung khusus untuk TPQ.
Tetapi ada sisi moralitas yang sekarang menurun. Salah satunya disebabkan oleh gawai, anak-anak menjadi lebih memilih menggampangkan dan gaya hidup mereka cenderung hedonis.
Belum lagi materi sekolah zaman sekarang yang sangat besar dan menuntut yang akhirnya membuat anak semakin tidak fresh ketika pulang sekolah dan akhirnya menjadi malas dan mudah emosi ketika sudah di rumah. Hal ini akhirnya mempengaruhi peramaian di musholla.
Hal ini bisa ditanggulangi jika peran orang tua dominan terhadap anak, jangan sampai orang tua lemah dalam mendidik anaknya. Di desa-desa masih ada anak yang rajin ke musholla, hal ini salah satunya karena orang tua yang mau menggiring anaknya untuk berangkat ke musholla.
Keterputusan Pasca TPQ
Sejak dulu saya sudah memperhatikan fenomena keterputusan pasca TPQ. Ada anak yang sudah bisa mengaji yang dasar-dasar, tetapi setelahnya tidak ada fasilitas yang mengayominya. Hal ini kemudian terserah kepada orang tua anak tersebut.
Tetapi, zaman sekarang pengajian Alquran sudah difasilitasi oleh sekolah, populasi anak yang bisa mengaji Alquran zaman sekarang dan zaman dulu sangat kontras. Anak SD sekarang rata-rata sudah bisa membaca Alquran.
Di sekolah zaman sekarang, misal masuk di sekolah SD atau MI, apalagi yang statusnya plus-plus, ada tes baca Alqurannya. Jika tidak bisa membaca maka aka nada semacam omongan: “sekolah mana sih, baca Alquran saja kok tidak bisa” sampai segitunya. Saking besarnya ghirah mengajinya.
Tempat Ibadah Kok Dikunci
Tidak boleh ada tempat ibadah yang dikunci, yang punya masjid bisa tersinggung, Gusti Allah gelo. Biar tidak rawan pencurian atau tindak kriminal lainnya, di dalam masjid tidak usah dikasih barang-barang mahal atau berharga. Isi lah masjid dengan mushaf yang banyak, biar saja kalau orang mau mencuri mushaf.
Jika ada masjid yang dikunci, maka bisa dipastikan kalau malam tidak ada orang yang pergi ke masjid atau memang karena masjdinya mewah. Orang tidur di dalam masjid itu boleh.
Rumah Allah jangan disamakan dengan rumah kita sendiri. Kalau karena alasan keamanan, seperti biar kotak amal yang ada di masjid tidak dicuri, maka buatlah kotak amal yang keamanannya baik. Jangan membuat kotak amal yang bisa diangkat-angkat. Ada juga teknologi CCTV. Tinggal bagaimana kecerdasan takmirnya saja.
Wallahu a’lam bissawab …