Salah satu hal yang mendorong semangat berinfaq, terutama wakaf, adalah pahala dari shodaqoh jariyah. Rasulullah SAW menyebut shodaqoh jariyah sebagai salah satu dari tiga amal yang pahalanya tidak terputus sekalipun orang yang melakukannya telah wafat.
Sabda Rasul itu membuat umat Islam berdoyong-doyong membangun masjid atau musholla. Bahkan ketika masjid/musholla itu telah berdiri, umat Islam tetap bersemangat memasukkan sebagian hartanya ke kotak amal masjid/musholla. Bagaimana fikih mengatur penggunaan uang kotak amal itu?
Mula-mula kita perlu mengetahui niat atau maksud dari pemberi uang. Terdapat tiga kemungkinan. Pertama, uang diberikan untuk pembangunan masjid. Pada kemungkinan ini, pemberi uang secara jelas menyebutkan bahwa dia ingin membantu pembangunan masjid/musholla.
Kemungkinan kedua adalah uang diberikan tanpa tujuan tertentu. Kita bisa menyebutnya “memberi secara mutlak”, dilepas begitu saja, tidak ada syarat, tidak ada alokasi yang dinyatakan secara jelas. Mayoritas masyarakat tampaknya berada pada kemungkinan kedua ini.
Adapun kemungkinan ketiga adalah untuk mashalih al-masjid/musholla, yakni apa pun yang berdampak positif, yang baik, yang biasa dilakukan oleh masjid/musholla.
Contohnya seperti pengajian (bisyaroh narasumber dan konsumsi, misalnya), atau seperti yang ditanyakan, memberi honor atau THR tahunan untuk orang-orang yang merawat masjid/musholla.
Untuk kemungkinan pertama, jika memang uang itu diniatkan untuk pembangunan masjid, maka teori fikih kita mengatakan: syarth al-waqif ka nash al-syari’, apa yang disyaratkan oleh orang yang berwakaf itu setara dengan nas syariat. Artinya harus dituruti.
Kalau memang niatnya untuk pembangunan, maka harus digunakan untuk pembangunan. Untuk kemungkinan kedua dan ketiga, yakni pemberian mutlak atau untuk mashalih al- masjid/musholla, maka penggunaannya boleh untuk selain pembangunan, yang penting mengandung kemaslahatan untuk masjid/musholla. Contohnya seperti pendanaan pengajian.
Pengajian sejatinya juga termasuk bagian dari fungsi masjid itu sendiri, yaitu menyebarkan ilmu, tempat pengajaran. Sejak zaman Rasulullah, masjid dan musholla memanglah tempat untuk pengajian.
Bagaimana dengan memberi THR kepada imam, muadzin, atau orang-orang yang merawat masjid? Sejatinya itu juga bagian dari imaratul masjid. Bukan imarah sebagai pembagunan, tetapi sebagai wujud melestarikan masjid. Maksudnya adalah menjaga masjid tetap bersih, tetap eksis.
Ketika masuk waktu sholat, ada yang adzan. Saat sholat berjamaah, ada yang mengimami. Sehingga memberi gaji muadzin dan imam adalah bagian dari imaratul masjid.
Oleh karenanya, kas masjid yang tidak bersumber dari “pemberi dengan maksud pembangunan” bisa dialokasikan untuk keperluan tersebut. Kita bisa mengambilnya dari pemberi yang memutlakkan pemberian atau yang ditujukan untuk mashalih al-masjid/musholla.
Bahkan dalam kitab Bughyatul Mustarsyiddin, disebutkan: “Diperbolehkan bahkan disunnahkan bagi takmir melakukan sesuatu yang biasa dilakukan di masjid, seperti menyediakan kopi, rokok, dan sesuatu yang disukai para jamaah, walaupun hal ini tidak dibiasakan sebelumnya, apabila uang kas ini sudah melebihi untuk pembangunan masjid.”
Kitab Fathul Ilahil Manan juga menyatakan: “Barang yang diwakafkan untuk kemaslahatan masjid boleh dipergunakan untuk membangun, memperkuat masjid, dan juga untuk membayar takmir, pengajar, imam, membeli karpet, minyak, dan segala sesuatu yang disukai oleh para jamaah seperti kopi dan rokok. Dalam hal ini juga harus mempertimbangkan mana yang lebih penting.”
Lalu bagaimana cara untuk menghindari perdebatan di antara warga? Saran kami adalah memberi label di kotak amal. Ada kotak untuk pembangunan masjid, ada juga kotak untuk mashalihul masjid/musholla (selain pembangunan). Melalui label itu, menjadi jelas dan tidak akan ada perdebatan lagi. Ketika ada kegiatan, ada pembagian THR, maka diambil dari kotak berlabel mashalihul masjid/musholla.
Wallahu a’lam bissawab …