Dikisahkan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, pada suatu masa haji seorang waliyullah bernama Ali bin Muwaffiq bermimpi Bertemu dua malaikat yang sedang berdialog. Berikut isi dialog dua malaikat tersebut.
“Sahabatku,” ucap salah satu malaikat.
“Labbaik wahai sahabatku,” jawab malaikat yang lain.
“Tahun ini berapa orang yang mengunjungi Baitullah?”
“Wah, saya tidak tahu.”
“Yang berhaji tahun ini sebanyak 600.000 orang. Tahukah kamu berapa dari mereka yang hajinya diterima Allah?”
“Saya juga tidak tahu.”
Kedua malaikat itu pun kemudian naik kembali ke langit. “Keduanya lenyap dari pandangan mataku,” kata Ali. Ia kemudian terbangun. Betapa kagetnya ia atas percakapan yang didengarnya dalam mimpinya itu.
Seketika Ali menjadi gelisah. Dialog dua malaikat dalan mimpinya masih saja terngiang di kepalanya. “Kalau hanya 6 orang jamaah yang diterima, apakah aku termasuk di 6 orang tersebut?” ia bertanya-tanya dalam hati.
Ali kemudian bergerak meninggalkan Arafah dan singgah untuk melebur bersama lautan jamaah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Di tengah hamparan ratusan ribu manusia itu pikirannya terusik kembali. Ia mulai berpikir soal ketimpangan jumlah orang yang diterima dan ditolak hajinya.
Ali pun mengantuk lalu tertidur. Ia kembali menyaksikan dua malaikat yang disaksikannya kemarin turun dari langit. Ia mendengar persis keduanya mengulangi percakapan kemarin.
“Apakah kamu tahu apa keputusan Tuhan kita pada malam ini?”
“Tidak. Kenapa?”
“Allah memenuhi permintaan setiap orang dari 6 jamaah yang diterima hajinya untuk 100 ribu orang jamaah yang hajinya ditolak.”
Ali lalu terbangun. Ia begitu gembira mengetahui isi dialog dari kedua malaikat dalam mimpinya yang terakhir itu. Ia bergembira karena 600.000 jamaah haji tahun itu kemudian diterima semua oleh Allah swt berkat doa 6 jamaah yang hajinya diterima.
Pada suatu pengajian kitab I’anatut Thalibin, Gus Baha’ membahas kisah di atas sembari menjelaskan alasan yang menjadi sebab diterimanya haji 6 orang di antara 600 ribu total jamaah haji pada waktu itu. Terlebih lagi selain diterima, mabrurnya haji 6 orang tersebut menyebabkan diterimanya jamaah haji lain yang seharusnya tidak diterima oleh Allah.
Gus Baha’ menyebutkan bahwa sejatinya menjalankan ibadah haji tidak sesederhana punya harta atau uang untuk berangkat. Sumber harta yang digunakan untuk pergi haji pun sangat memengaruhi mabrur tidaknya suatu ibadah haji.
Jika ditemukan ada unsur dalam harta yang digunakan itu masih bermasalah, misalnya saja hasil dari kegiatan yang merugikan orang lain, cara mendapatkan yang tidak halal, ada pihak yang tidak rela atas harta tersebut (harta yang masih ada sengketa), atau terdapat kondisi yang lebih membutuhkan harta tersebut.
Berdasarkan penjelasan ini, tentunya tidak ada tujuan untuk melarang seseorang berangkan menunaikan ibadah haji. Melainkan menjadi pengingat bahwa kita harus lebih teliti dalam menilai harta yang kita miliki.
Selain itu kita wajib menyadari batasan diri kita, bahwa standar ibadah haji yang diterima Allah itu bukan main-main, tapi harus sempurna. Maka kita yang jauh dari sempurna, harus meyakini bahwa seandainya haji kita diterima, itu merupakan barokah atau syafaat dari segelintir jamaah haji yang diterima.
Lebih lanjut Gus Baha’ menyebutkan kategori orang saleh (sholeh) yang bisa dibedakan antara orang saleh dengan ghirah (semangat syiar memperjuangkan Islam dan amar ma’ruf nahi munkar) dan yang tidak mempunyai ghirah.
Bagi orang saleh tanpa ghirah, bahkan Gus Baha’ menyebutnya orang saleh yang kriminal. Beliau menegaskan bahwa saleh saja tidak cukup. Tanpa adanya kepekaan terhadap kondisi perjuangan agama Islam di mana ia berada, tanpa mempunyai sentimen terhadap agamanya Allah, seseorang yang saleh secara nyata telah membiarkan kezaliman menjajahnya.
Ada banyak contoh yang disampaikan Gus Baha’, salah satunya adalah seorang sopir yang saleh namun bekerja pada majikan orang kafir. Selama dia hanya mementingkan ibadah dan kesalehan pribadinya, lalu bersyukur dan berpikir cukup baginya mendapatkan uang dari bekerja yang halal, maka ia adalah saleh yang kriminal.
Dia tidak mempunyai ghirah untuk bangkit dan berusaha agar bisa mandiri dan tidak diperintah oleh orang kafir. Dia bergantung pada majikan yang besar kemungkinan menyebabkan sang sopir tanpa sadar berbuat maksiat.
Besar kemungkinan 599.994 jamaah haji yang pada kisah dibatas tidak diterima ibadah hajinya, mayoritas adalah seseorang yang termasuk dalam kategori saleh yang kriminal ini.
Pada dasarnya sebagai seorang muslim kita harus punya kepekaan dalam mengamati perkembangan kondisi sosial keagamaan di tempat kita hidup. Entah di tingkat lingkungan, desa, negara, bahkan dunia. Kita harus berusaha menyeimbangkan hablum minallah dan hablum minannas.
Wallahu a’lam bissawab …