Dalam teori apapun, terutama dalam marketing, sampling yang digunakan untuk iklan adalah produk terbaik. Untuk itu, syari’at sebagai produk dari langit dan diturunkan untuk umat manusia, maka diambillah figur manusia yang paling lengkap dan bagus jiwa ilahiyah dan basyariyahnya.
Di mana-mana figur harus top, tidak mungkin menjadi figur kalau tidak top. Satu-satunya manusia yang mempunyai spesifikasi top seperti itu hanyalah Nabi.
Dalam usaha kita meneladani figur Nabi, katakanlah prosentase sempurnanya seratus persen, lalu kita bisa meniru sepuluh persen saja, itu sudah bagus. Kita tidak bisa meniru Nabi seratus persen.
Tingkatan tertinggi yang bisa meniru Nabi disebut pewaris, itu pun hanya level ulama. Tetapi kita tetap harus berusaha mencontoh sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing.
Ada dua Nabi dalam Alquran yang mendapat gelar Uswatun Hasanah, yaitu Hadraturrasul SAW dan Nabi Ibrahim A.S.. Dalam kasus Nabi brahim, tidak ada sisi kehidupannya yang tidak bisa kita jadikan teladan. Misalnya saat ia masih muda.
Ibrahim muda sangat sensitif kepada kemungkaran, ia mempunyai keberanian yang melampaui pemuda pada umumnya. Pemuda yang berani melawan bapak angkatnya dan menghancurkan sesembahan kaumnya sendirian. Berbeda dengan Nabi Musa yang punya teman dan pasukan saat melawan Fir’aun.
Kita perlu bertanya kepada diri kita, seberapa kadar keberanian yang kita punya? Sudahkah kita gunakan tangan dan lisan kita untuk taghyir al-munkar?
Di Alquran adanya nahi munkar, tidak ada taghyir al-munkar. Kalau nahi itu munkarnya belum ada, sedangkan taghyir itu munkarnya sudah ada lalu dirubah. Taghyir levelnya lebih top.
Aksi Nabi Ibrahim itu ternyata dibocorkan oleh iblis yang menyamar jadi orang tua. Iblis yang menyamar itu berkata: Qālụ sami’nā fatay yażkuruhum yuqālu lahū ibrāhīm, Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim. Nabi Ibrahim dipanggil kemudian ditanya:
A anta fa’alta hāżā bi`ālihatinā yā ibrāhīm, “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?” Nabi Ibrahim tidak menjawab dengan “ya” atau “tidak”, tetapi dengan kalimat diplomatis: bal fa’alahụ kabīruhum hāżā. “Patung yang besar itulah yang melakukannya, karena patung besar itu memegang kapak.”
Saya pernah menyampaikan bahwa Nabi Ibrahim di sini tidak sedang berbohong, ini hanya ketidaktahuan orang yang memahami kata-kata itu saja.
Menurut mereka Nabi Ibrahim bermaksud mengatakan bahwa berhala besar yang menghancurkan berhala-berhala yang lain. Sebenarnya tidak sesederhana itu, ini adalah bukti kecerdasan diplomatik Nabi Ibrahim.
Bal Fa’ala (ngelakoni sopo Ibrahim), hu (ing ngepruki). Di sini berhenti. Lalu kabīruhum (utawi sing gede-gedene patung), hāżā (hiyo aku (Nabi Ibrahim) yang menghancurkan). Ini adalah strategi pemancingan dari Nabi Ibarahim.
Di sini Nabi Ibrahim langsung memasukkan dimensi dakwah dengan bertanya: fas`alụhum ing kānụ yanṭiqụn, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.
Strategi dakwah yang sangat jitu, mengumpulkan orang sebanyak itu tidak mudah, tetapi Nabi Ibrahim dengan kecerdasannya mampu membuat mereka kumpul lalu didakwahi: Loh patung yang kamu sembah itu tidak bisa ngapa-apa kok kamu sembah?
Tetapi dasar orang kafir, kalah dialog tidak berarti urusan selesai. Keputusan rasa berbeda dengan keputusan logika. Mereka lalu menagkap dankemudian akan membakar Nabi Ibrahim, Harriquuhu, bakar dia!
Di sini lalu Allah turun tangan, yā nāru kụnī bardaw wa salāman ‘alā ibrāhīm, Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.
Dari kisah Ibrahim muda di atas, ada hikmah bahwa menjadi pemuda itu yang penting bener, ngawur-ngawur sedikit tidak masalah. Hukuman terberat zaman sekarang mungkin penjara, atau tidak disukai orang.
Mempunyai prinsip dan mempertahankannya tentu saja penuh resiko, tetapi itu tidak menjadi masalah. Resiko tidak disukai sesama manusia itu asyik, hidup menjadi lebih variatif, tidak linier-linier saja.
Seperti Ibrahim muda dengan keberaniannya menghancurkan kemungkaran yang dilakukan kaumnya, pemuda tidak boleh terlalu banyak pertimbangan saat akan bergerak.
Bentuk gerakan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim memang tidak bisa kita tiru, tetapi spiritnya bisa kita adopsi dalam kadar kemampuan dan kondisi kita dalam menghadapi kemungkaran.
Keimanan Yang Teruji
Dari sisi tauhid, kita bisa mencontoh keimanan Nabi Ibrahim yang teruji dengan rasioanalitas. Misalnya saat ia bertanya tentang kekuasaan Allah cara menghidupkan orang mati (kaifa tuḥyil-mautā), apakah kamu tidak percaya, Ibrahim? (a wa lam tu`min), mboten Gusti, biar hati saya mantab beriman (balā wa lākil liyaṭma`inna qalbī).
Uji validitas dilakukan oleh Nabi Ibrahim agar keimanannya semakin menancap. Khusus dalam perkara keimanan, kita tidak boleh taklid. Wa al-muqollidu kafir.
Allah langsung memerintahkan Nabi Ibrahim untuk mengambil empat ekor burung (fakhuż arba’atam minaṭ-ṭairi). Kemudian ia diperintah untuk mencincang burung-burung itu sampai lembut (fa ṣur-hunna ilaika) lalu disebarkan ke setiap penjuru bukit (ṡummaj’al ‘alā kulli jabalim min-hunna juz`an).
Setelah itu ia berdiri di tengah bukit dan Allah perintahkannya memanggil burung-burung yang sudah lembut tadi (ṡummad’uhunna) lalu datanglah burung-burung tersebut seperti sedia kala (ya`tīnaka sa’yā)
Nabi Ibrahim Meninggalkan Istri dan Anak di Padang Pasir?
Hubungan Sayyidatina Hajar dan Sayyidatina Sarah awalnya baik-baik saja, tetapi berhubungan Sarah belum punya anak dan Hajar sudah dikaruniai anak, maka Sarah cemburu. Lalu, daripada “tarung”, akhirnya mereka dipisah.
Di sisi lain, ini juga ada “kecemburuan” dari Tuhan. Seorang Nabiyullah condong kepada “istri muda” dan anak yang dinantikannya selama bertahun-tahun. Nabi Ibrahim “menduakan” cinta kepada Tuhannya dengan anak dan istri mudanya.
Saat itu Nabi Ismail masih bayi, sangat kejam jika diperintahkan untuk membunuh bayi, jadi dipilihlah pengasingan ke tempat yang tidak ada apapun di sana. Akses seksual kepada “istri muda” dibatasi, kecintaannya kepada anak yang baru lahir juga dibatasi total.
Bisa dibayangkan, begitu lama menantikan buah hati, saat dikaruniai buah hati malah disuruh meninggalkan di padang pasir gersang. Selain itu, saat masih senang-senangnya pelampiasan seksual dengan “istri muda”, tiba-tiba hal itu dihentikan total. Tuhan cemburu cintanya diduakan.
Ujian ini sangat tidak masuk akal dan tidak manusiawi. Ujian ini hanya diujikan kepada Nabi Ibrahim. Saking tidak manusiawinya Sayyidatina Hajar sampai bertanya: “A-allahu Amaraka bi Hadza?” (Apakah Allah yang memerintahkan ini semua?)
Nabi Ibrahim menjawabnya dengan isyarat tangan ke atas tanda bahwa Allah yang memerintahkannya. Kemudian dengan mantab Sayyidatina Hajar bilang: “Idzan Lan Yudhoyyi’anallah” (kalo begitu, Allah pasti tidak akan membiarkan kami terlantar).
Tawakal habis tanpa ikhtiar. Dan, setelah itu Allah karuniakan zam-zam kepada keduanya.
Setelah sekian lama berpisah, saat Nabi Ibrahim kembali kepada istri yang ditinggalkannya di padang pasir gersang sendirian, Allah memberikan ujian kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anak yang dirindukannya begitu lama, Nabi Ibrahim tetap patuh, dan akhirnya saat nyaris anaknya akan disembelih tiba-tiba Allah selamatkan anak tersebut dengan bidzibhin adzim.
Keimanan Nabi Ibrahim benar-benar keimanan senior. Kita tidak akan pernah bisa menirunya secara sempurna, tetapi setidaknya kita punya spirit jiwa seperti Nabi Ibrahim, dengan kadar dan medan juang masing-masing.
Wallahu a’lam bissawab …