Pada dasarnya makan adalah sesuatu yang mubah, sebagaimana firman Allah, (QS. Al-A’raf: 31) “Makanlah dan minumlah, dan jangan melebihi batas.” Ayat tersebut menunjukkan kebolehan makan dan minum, tetapi ada batasnya. Terkait batas, hadis Nabi juga membahasnya, “Tidak ada sesuatu yang, ketika dipenuhi, nilainya buruk mengalahkan keburukan memenuhi perut.”
Tolok ukur batas itu adalah makan dengan perkiraan kita bisa kokoh berdiri dan beraktivitas secara normal. Jika memang harus lebih dari itu, maka maksimal adalah perut dibagi menjadi tiga: sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk nafas.
Adapun dalam konsep bermazhab, hukum makan dapat kita lihat di antaranya dari fikih Hanafiyah. Dalam al-Fatawa al-Hindiyah, disebutkan beberapa hukum terkait makan.
Adakalanya hukumnya wajib, yaitu jika tidak makan maka seseorang akan mati. Adakalanya sunnah, yaitu makan dengan niat bisa sholat dengan berdiri, bisa puasa dengan mudah, tidak sekadar untuk hidup. Adakalanya mubah, yaitu sampai batas wajar kenyang. Bisa juga menjadi haram, yaitu jika melebihi batas kekenyangan, overdosis. Yang menarik, keharaman ini disertai dengan dua pengecualian.
Pertama, makan dalam rangka sahur karena hendak puasa esok hari. Kedua, makannya seorang tuan rumah yang memiliki tamu, dalam kondisi tamu dan tuan rumah makan bersama. Karena si tamu ini mungkin makannya banyak, kalau tuan rumah selesai duluan, tamu akan menjadi malu. Baik orang yang sahur atau tuan rumah yang disebutkan, keduanya boleh makan melebihi batas kenyang.
Tetapi di standar yang lain, seperti fikih Malikiyah, dikatakan bahwa makan yang haram itu adalah makan yang banyak melebihi batas wajar kenyang, yang sekaligus membahayakan kesehatan. Sementara dalam mazhab kita, Syafiiyah, kita dapatkan Imam Nawawi mengatakan, hukum makan melebihi batas kekenyangan adalah makruh, asalkan yang dimakan halal. Kalau yang dimakan haram, maka hukumnya haram meski sedikit.
Wajibkan Tamu Menghormati Tuan Rumah?
Banyak dari kita yang familiar dengan hadis ini: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya.” Hadis tersebut mewajibkan seseorang untuk menghormati tamu. Yang diwajibkan menghormati adalah si tuan rumah.
Bagaimana dengan si tamu, apakah juga wajib menghormati tuan rumah? Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, disebutkan bahwa tamu memiliki beberapa adab, yaitu duduknya harus sesuai dengan tempat yang disediakan tuan rumah, ridha dengan apa yang disuguhkan, tidak boleh pergi atau berdiri meninggalkan tempat kecuali diizinkan tuan rumah, serta mendoakan tuan rumah dengan doa sebagaimana dibaca Rasulullah.
Dari adab-adab di atas, bisa kita simpulkan bahwa: sebagaimana tuan rumah yang wajib menghormati tamu, maka sebaliknya, tamu juga wajib menghormati tuan rumah. Di antara wujud penghormatan terhadap tuan rumah adalah ketika diberi hidangan, maka dia memakannya, dengan standar kebiasaan (‘urf) yang berlaku di daerahnya.
Contohnya seperti tamu yang disuguhi durian, apakah dia boleh memakannya hingga habis atau cukup satu hingga tiga biji saja yang dimakan? Standarnya adalah ‘urf, tentu disertai keridhaan tuan rumah.
Bahkan dalam fikih, diatur bahwa ketika disuguhi makanan, tamu tidak boleh memberikan makanan itu kepada kucing. Begitu juga apabila ada orang minta-minta, tamu tidak boleh memberikan makanan itu kepadanya. Mengapa? Karena izin yang diterima tamu atas makanannya adalah untuk menikmatinya (memakan atau meminumnya), tidak lebih.
Wujud menghormati tuan rumah juga dapat kita temui di Fathul Muin. Dijelaskan bahwa orang yang sedang puasa sunnah, lalu bertamu dan disuguhi makanan, maka ada dua pertimbangan.
Pertama, jika tuan rumah itu dirasa berat atau tidak nyaman ketika tamunya tidak mau makan, maka si tamu disunnahkan untuk membatalkan puasanya. Tergambar betapa pentingnya menjaga perasaan tuan rumah.
Kedua, jika tuan rumah dirasa tidak tersinggung saat tamu tidak makan, maka meneruskan puasa lebih baik. Untuk kondisi pertama, Fathul Muin menerangkan bahwa pahala puasa si tamu puasa sejak subuh hingga batal tidaklah hilang. Pada intinya, kesimpulan uraian ini adalah, sebagaimana tuan rumah yang dituntut untuk menghormati tamu, maka tamu pun harus menghormati tuan rumah.
Kesimpulan: Antara Kenyang dan Hormat
Setelah membahas perihal makan dan hormat tuan rumah, maka hukum makan berlebihan karena menghormati tuan rumah saat kita bertamu dapat dijawab sebagai berikut:
Pertama, keharaman makan melebihi batas jika mengikuti mazhab Hanafiyah, memiliki dua pengecualian. Salah satunya adalah bagi tuan rumah yang menghormati tamunya ketika si tamu makannya banyak.
Kedua, kebolehan makan melebihi batas bagi tuan rumah bisa diberlakukan pula bagi seorang tamu dalam rangka menghormati tuan rumah.
Akan tetapi, kebolehan atau tidak haramnya makan berlebihan di atas memiliki batas sebagaimana pendapat mazhab Malikiyah, yaitu tidak membahayakan kesehatan. Ukuran membahayakan atau tidak diserahkan kepada perkiraan orang yang bersangkutan.
Sebagai orang yang punya perut, kita tentunya dapat mengukur mana tingkat kekenyangan yang masih dalam tahap aman, dan mana yang melebihi batas aman. Ketika kita bertamu dan disuguhi makan, sedangkan kita dalam kondisi kenyang dengan ukuran maksimal (jika makan lagi maka melebihi batas aman dan membahayakan kesehatan), maka haram bagi kita untuk memakan suguhan tersebut.
Terlepas dari hal di atas, ketika kita memiliki tradisi bertamu dengan keharusan makan, maka kita bisa menyiapkan trik untuk menyiasatinya. Contohnya seperti membatasi porsi makan di setiap rumah atau menerapkan jeda istirahat berkunjung saat sudah cukup kenyang.
Bahkan bisa juga kita menggunakan cara khas santri: menggunakan ijazah doa dari para kiai, agar bisa tetap makan walaupun kenyang (kenyang tapi tidak terasa kenyang).
Wallahu a’lam bissawab …