Dalam tradisi masyarakat Jawa, ketupat adalah makanan yang pasti tersedia saat hari ke-7 Idulfitri. Dalam salah satu penelitian, disebutkan bahwa ketupat ternyata tidak hanya berada di Jawa, melainkan juga di pulau-pulau lain di Indonesia. Bahkan beberapa negara sekitar Indonesia juga mengenal ketupat, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam (Budiarto dkk: 2022, 30).
Berbagai referensi menyebutkan bahwa sejarah ketupat berasal dari masa Kerjaan Demak (abad ke-15 atau 16 M). Adalah Sunan Kalijaga, penggagas atau pengkreasi ketupat yang masyhur disebut. Tidak hanya terkait bentuk ketupat, Sunan Kalijaga jugalah yang mengkreasi tradisi ketupatan pada hari ke-7 hari raya Idulfitri (Achmad: 2017, 177).
Dengan Sunan Kalijaga sebagai kreatornya, dapat kita duga bahwa ketupat memiliki berbagai filosofi, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai kebaikan ajaran Islam.
Pada namanya, ketupat yang dalam bahasa Jawa disebut kupat, dipercaya memiliki kepanjangan “ngaku lepat” yang berarti mengakui kesalahan (Rosidin: 2016, 42).
Ini menandakan bahwa ketupat adalah suatu media yang secara tidak langsung menunjukkan permohonan maaf atas kesalahan orang yang memberikannya. Inilah mengapa ia hadir saat Idulfitri, yang dalam tradisi Jawa diisi dengan silaturahmi atau berkunjung ke rumah orang lain untuk meminta maaf.
Dalam kaitannya dengan laku filantropis, yakni semangat untuk berbagi dan membantu sesama, filosofi nama ketupat di atas menunjukkan bahwa alangkah baiknya apabila permohonan maaf tidak hanya diucapkan belaka, melainkan juga diwujudkan melalui sesuatu yang tampak dan berbekas, seperti menyertai ucapan maaf dengan suatu pemberian.
Ketika disertai suatu pemberian, orang akan lebih tersentuh hatinya akan ketulusan permintaan maaf tersebut.
Filosofi lain dari ketupat terdapat pada luaran wujudnya serta isi di dalamnya. Terkait luaran, kita tahu bahwa wadah ketupat terbuat dari janur. Penggunaan janur dipercaya mengandung maksud tertentu.
Nama janur diyakini bermakna “sejatine nur”, lambang kesucian hati (Rosidin: 42). Bentuk janur yang indah (hijau kekuningan) serta lentur (mudah dibentuk) menjadi simbol tersendiri untuk sifat manusia, yang bisa diarahkan dan dididik agar kehidupannya menjadi tertata dan indah (Budiarto: 30).
Luaran yang lain juga dapat dilihat dari bentuk ketupat yang merupakan segi empat dengan satu pancer. Bentuk itu dipercaya mengandung makna bahwa ke arah mata angin mana pun manusia pergi, ia pada akhirnya akan selalu kembali kepada Allah (Rayahu: 2019, 29). Profesi dan status sosial apa pun yang dimiliki seseorang, semua memiliki satu tujuan hidup, yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT.
Dalam kaitannya dengan laku filantropis berupa pemberian, filosofi luaran ketupat di atas menunjukkan bahwa ketika kita memberikan sesuatu kepada orang lain, sebisa mungkin barang yang kita berikan memiliki manfaat, terlebih manfaat yang bisa membuat orang yang kita beri menjadi lebih dekat kepada Allah SWT.
Ketupat dengan filosofi luarannya menandakan bahwa orang yang diberi ketupat diajak untuk mengingat kembali hakikat kehidupannya sebagai manusia di dunia ini.
Terakhir adalah filosofi dari isi ketupat. Sudah menjadi aturan yang tidak tertulis bahwa ketupat harus diisi beras, bukan bahan lain. Bagi orang Jawa, beras adalah sumber kemakmuran dan kesejahteraan. Hal ini kemudian membuat ketupat diyakini sebagai simbol doa agar pada momentum hari raya ini, kita semua senantiasa dikaruniai oleh Allah SWT rezeki yang bisa membuat kita lebih makmur dan sejahtera.
Selain itu, pilihan menggunakan beras memiliki ajakan untuk selalu menjaga persatuan dan persaudaraan. Sebab, beras yang mulanya bercerai berai dapat menjadi satu kesatuan utuh setelah dimasak menjadi ketupat.
Adapun isi ketupat yang berwarna putih, diyakini menjadi cerminan dari kebersihan dan kesucian hati manusia yang telah menjalani puasa selama satu bulan. Tetapi, untuk mencapai kesucian itu, ketupat menyaratkan agar dilakukan pembelahan menjadi dua.
Terdapat pengorbanan untuk tidak menuruti hawa nafsu dan kesenangan dunia untuk mendapatkan kesucian hati.
Wallahu a’lam bissawab ….