Idul Adha & Solidaritas Muslim

Ad
Islam dan Teori Sosial

Kerangka kebersamaan kaum muslimin ditentukan bentuknya oleh prinsip-prinsip yang dipilih guna mengatur kehidupan mereka dalam artian yang paling luas. Karenanya, tidak terhindarkan adanya perbedaan dari satu ke lain masyarakat muslim, karena perbedaan skala prioritas yang dipilih.

Ada masyarakat muslim yang mementingkan ketelitian pelaksanaan ibadah murni (mahdhah) secara rinci, dan memiliki kecenderungan kuat kepada upaya meningkatkan sisi ritual dari kehidupan warganya. Kaum Sufi dapat dimasukkan ke dalam kategori ini.

Ada pula masyarakat yang mementingkan sisi pelaksanaan hukum agama secara kolektif, dengan kecenderungan legal-formalisme yang deras. Tetapi ada pula masyarakat muslim yang justru menekankan pentingnya perubahan kualitas hidup sebagai bentuk peribadatan yang utama.

Berbagai kecenderungan seperti itu harus memperoleh hak untuk berkembang bersama-sama, tanpa harus dipertentangkan satu sama lain.



Dalam upaya mencari prinsip-prinsip untuk menegakkan kerangka kebersamaan tersebut, kaum muslimin perlu juga menengok kepada prinsip keadilan.

Allah memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan ini, dengan firman-Nya: ‘Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian (orang- orang) yang menegakkan keadilan’.

Islam lahir untuk menegakkan keadilan dan menentang ketidakadilan dalam bentuknya yang paling konkret. Segala sumberdaya harus dipergunakan untuk tujuan menegakkan keadilan secara nyata dalam konteksnya yang bersifat mikro. 



Marilah kita perhatikan kandungan firman Allah: “Dan apa yang dilimpahkan Allah kepada Utusan-Nya (haruslah) diperuntukkan bagi (kepentingan) Allah dan Utusan itu. (keperluan) sanak keluarga tidak langsung, anak-anak yatim piatu. orang-orang miskin dan pejalan demi agama, agar tidak menjadi alat permainan mereka yang lebih kaya di antara kalian”.

Ayat tersebut memberikan dua dimensi dalam mengatur kehidupan masyarakat. Dimensi pertama, kaum lemah harus memperoleh jaminan kebutuhan pokok mereka, dan dimensi kedua adalah pentingnya menjaga kepentingan kaum lemah dari kemungkinan manipulasi dan penghisapan oleh yang lebih kuat dan lebih berpunya.



Sebagai agama yang mengatur kehidupan perorangan para pemeluknya dan kehidupan masyarakat para pemeluk itu sendiri, Islam dengan demikian menegakkan prinsip keadilan sebagai sesuatu yang konkret, bukan hanya sekedar impian utopis yang tidak mungkin diwujudkan dalam kehidupan di dunia ini.

Prinsip keadilan ini memberikan motivasi kepada kaum muslimin untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik dari sudut materi bukanlah merupakan sesuatu yang harus dijauhi dalam Islam.

Rasulullah SAW. telah bersabda: “Sungguh baik sekali orang yang diberi petunjuk keimanan Islam dan hidupnya serba berkecukupan”.

Keadilan tidak dicapai dengan melarikan diri dari kehidupan dunia, melainkan dengan mengatur agar kehidupan dunia tidak merugikan mereka yang lebih lemah dan menguntungkan mereka yang lebih berpunya saja. Keadilan harus ditegakkan dengan menjaga kepentingan masyarakat lapisan terbawah.



Prinsip keadilan seperti itulah dilambangkan oleh peristiwa pemberian korban oleh Nabi Ibrahim a.s. Kesediaannya memberikan pengorbanan berupa diri anaknya, Nabi Isma’il, melambangkan keikhlasan tertinggi kepada Allah, yang dimbangi oleh sang putra dengan sikap yang lebih agung lagi kesediaan mengorbankan diri bagi kepentingan ayahnya.

Namun, pengorbanan dan keikhlasan demikian tinggi itu bukan hanya melambangkan hubungan hamba dan Allah belaka, hubungan hablum minallah semata, melainkan juga hubungan horizontal antara sesama manusia.

Karena pada akhirnya Allah menggantikan Nabi Ismail yang akan disembelih sebagai korban dengan domba. Penggantian makhluq yang dijadikan korban persembahan kepada Allah itu sekaligus memberikan dimensi baru bagi kerja pemberian korban itu sendiri.

Jika tadinya ia adalah kerja peribadatan semata, sesuatu yang diperuntukkan bagi Allah semata, kini ia menjadi peribadatan sosial bagi kepentingan masyarakat, yaitu meratakan apa yang kita miliki di antara sesama kita yang kurang beruntung.



Prinsip keadilan dilambangkan oleh simbolisme pemerataan kekayaan masyarakat dalam peristiwa pemberian korban itu. Pada dirinya sendiri, pemberian hewan kurban tidak memiliki arti penting sebagai alat pemerataan itu, tetapi sebagai bagian dari upaya lebih besar untuk meratakan hasil pembangunan secara menyeluruh.

Tidak hanya hasil berupa produk material, melainkan juga dimulai sejak penyediaan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dari taraf dini. Keadilan akan tercapai, manakala warga masyarakat bukan hanya menjadi sasaran pembangunan, melainkan menjadi palaku pembangunan itu sendiri.

Terpulang kepada kita semua, mungkinkah kita kembangkan dari simbolisme pemberian hewan kerbau itu sesuatu yang lebih bersifat makro, yaitu melaksanakan tugas menjadikan semua warga masyarakat pelaku-pelaku dalam pembangunan negara mereka sendiri.

Makna inilah yang seharusnya kita cari dari peristiwa pemberian korban oleh Nabi Ibrahim a.s. kepada Allah SWT.

Wallahu a’lam bissawab …

Ad

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *