Alhamdulillah patut selalu kita ucapkan ketika satu bulan penuh di tahun ini kita mendapatkan kesempatan untuk menikmati indahnya bulan Ramadhan.
Bahkan kita juga bisa merayakan kemenangan kita dalam momen Idulfitri, yang selama bulan Ramadhan ini insyaallah kita telah berupaya sebaik mungkin melawan hawa nafsu kita dengan berpuasa dan memperbanyak ibadah serta meningkatkan kualitasnya. Semoga kita masih mendapat kesempatan untuk bertemu bulan Ramadhan di tahun berikutnya.
Merayakan Idulfitri sepatutnya dihiasi dengan hati yang bahagia dan berbunga-bunga. Walaupun idealnya diwaktu yang sama kita juga merasakan kesedihan mendalam karena ditinggal pergi oleh bulan Ramadhan.
Alangkah indahnya jika kita bisa memaknai kebahagiaan Idulfitri tersebut dengan lulusnya kita melalui Ramadhan dengan banyaknya hikmah yang bisa kita panen setelah satu bulan digembleng dengan intensitas ibadah tingkat tinggi.
Salah satu hikmah yang luar biasa dari bulan Ramadhan adalah tumbuhnya empati terhadap mereka yang kurang mampu dibandingkan kita. Sebagaimana telah dibahas di edisi sebelumnya bahwa esensi berpuasa di bulan Ramadhan adalah kesadaran bahwa sejatinya rasa haus dan lapar setelah berjam-jam menahan diri untuk tidak makan dan minum bisa jadi realitas keseharian sebagian orang di sekitar kita.
Maka akan menjadi salah jika saat kita berbuka, makanan dan minuman yang dikonsumsi ternyata berlebihan dan mengarah pada boros.
Tindak lanjut dari empati terhadap mereka yang kurang mampu bisa banyak bentuknya, yang paling mudah dan nyata adalah dengan bersedekah. Maka tentu saja anjuran untuk bersedekah di bulan Ramadhan sangat sering kita dengar.
Ada berbagai cara yang bisa digunakan untuk melaksanakan anjuran bersedekah tersebut. Sebagai contoh, pada masyarakat jawa ada tradisi weweh yang dilakukan dengan cara mengirim entah makanan atau bahan-bahan dapur kepada kerabat dan tetangga.
Tidak berhenti hanya pada bulan Ramadhan, bersedekah juga dianjurkan untuk dilakukan pada momentum hari Idulfitri. Intisari dari perayaan Idulfitri ialah berbagi kebahagiaan dengan sesama tanpa terkecuali.
Saling meminta maaf dan memaafkan dan mempererat silaturahmi menjadi suasanya yang pasti mewarnai hari tersebut. Bentuk sedekah yang sering kita jumpai adalah tradisi nyangoni anak-anak kecil dari keluarga, kerabat atau tetangga yang bertamu ke rumah. Ada juga tradisi kupatan di hari ketujuh yang biasa disebut juga rioyo kupat.
Segala bentuk barang bisa kita sedekahkan, namun yang harus diutamakan adalah nilai dan kepatasan barang tersebut. Beberapa lebih suka bersedekah berupa uang yang memang sudah jelas nilai dan manfaatnya.
Terkait nominal pun beragam, yang terpenting adalah niat baik saat membagikannya dan tidak adanya unsur berlebihan dan riya’ di dalamnya. Membahas kepantasan barang yang disedekahkan, ada kisah dari sahabat Ali yang bisa kita teladani.
Pada suatu malam menjelang Idulfitri sayyidina Ali berkeliling membawa tiga karung gandum dan dua karung kurma hasil panen kebunnya bersama sayyidah Fatimah yang menggandeng kedua puteranya, Hasan dan Husein.
Tujuan keluarga ini berkeliling adalah mendatangi para fakir miskin dan anak yatim untuk membagikan gandum dan kurma yang mereka bawa itu. Alasannya adalah sebagaimana diucapkan oleh sayyidina Ali kepada sayyidah Fatimah ketika ditanya mengapa terlihat pucat dan murung sepulang dari masjid sore harinya.
“Hampir sebulan kita mendapat pendidikan dari Ramadhan, bahwa lapar dan haus itu teramat pedih. Segala puji bagi Allah, yang sering memberi hari-hari kita dengan perut sering terisi”.
Sampai sini beberapa dari kita mungkin belum merasa terinspirasi, dan menganggap kisah ini biasa saja. Bisa jadi jika kita menghitung jumlah karung yang dibagikan, masih ada begitu banyak orang yang bisa melampauinya.
Namun kelanjutan kisah ini yang sungguh menyentuh hati. Ternyata tiga karung gandum dan dua karung kurma itu hampir semua yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Yang tersisa bagi sayyidina Ali dan keluarganya adalah gandum basi untuk dimakan esok hari dan beberapa kurma segar untuk disuguhkan pada tamu.
Seusai sholat Idulfitri seorang sahabat bernama Ibnu Rafi’i berniat berkunjung ke rumah sayyidina Ali untuk mengucapkan selamat Idulfitri. Namun seketika mendekati rumah sayyidina Ali sebelum sampai beliau terhenti karena mencium bau gandum basi yang menyengat.
Dilihatnya bahwa sayyidina Ali bersama sayyidah Fatimah dan kedua putranya sedang makan gandum basi. Beliau langsung menangis dan lari menuju Rasulullah untuk mengadu.
Mendengar aduan dari sahabat Ibnu Rafi’i Rasulullah pun bergegas menuju rumah putri beliau itu. Tak jauh dari rumahnya Rasulullah juga terhenti dan menangis setelah membuktikan fakta bahwa memang ada bau menyengat dari gandum basi dan terlihat bekasnya di piring yang sudah habis dimakan.
Anehnya keluarga tersebut sedang dalam kondisi bahagia yang terdengar canda tawanya. Rasulullah berucap lirih, “Ya Allah, Allahumma Isyhad… Ya Allah, Allahumma Isyhad… (Ya Allah saksikanlah, saksikanlah) di Hari Raya Idul Fitri makanan keluargaku adalah gandum yang basi.
Mereka mencintai kaum papa, Ya Allah. Mereka mencintai kaum fuqoro’ dan masakin. Mereka relakan lidah mengecap makanan basi, asalkan kaum fakir-miskin bisa memakan makanan yang lezat. Allahumma Isyhad, saksikanlah Ya Allah, saksikanlah”.
Sayyidah Fatimah yang menyadari kehadiran Rasulullah langsung bergegas mendatangi beliau untuk mempersilahkannya masuk rumah. Rasulullah pun setengah berlari menghampiri putrinya lalu memeluknya seraya berucap, “Surga untukmu, Nak… Surga untukmu.”
Wallahu a’lam bissawab …