Kisah Lebaran dan Peringatan Nabi Tentang Orang-Orang Bangkrut

Ad
Kisah Lebaran dan Peringatan Nabi Tentang Orang-Orang Bangkrut

Apa maksud dari kisah lebaran dan peringatan nabi tentang orang-orang bangkrut? Bukankah lebaran adalah momen hari raya yang dijadikan momentum untuk saling bermaaf-maafan dan silaturahim dengan sesama umat Islam? Berikut penjelasannya untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW bertanya kepada sahabat-sahabatnya: “Tahukah kalian siapa itu yang disebut orang bangkrut?” Mereka pun menjawab, “Kalau di kita, orang bangkrut ialah orang yang sudah tak lagi punya uang dan barang.”

Ternyata, Nabi Muhammad SAW mempunyai maksud lain. Terbukti beliau berkata: “Sesungguhnya orang bangkrut di antara umatku ialah yang datang di hari kiamat kelak dengan membawa pahala-pahala salat, puasa, dan zakat; namun dalam pada itu sebelumnya pernah mencaci ini, menuduh itu, memakan harta ini, mengalirkan darah itu, dan memukul ini. Maka dari pahala-pahala kebaikannya, akan diambil dan diberikan kepada si ini dan si itu, kepada orang-orang yang telah ia zalimi. Jika pahala-pahala kebaikannya habis sebelum semua yang menjadi tanggungannya terhadap orang-orang dipenuhi, maka akan diambil dari keburukan-keburukan orang-orang itu dan ditimpakan kepadanya; kemudian dia pun dilemparkan ke neraka.” (Dari hadis shahih riwayat imam Muslim bersumber dari sahabat Abu Hurairah).

Dari pernyataan Nabi Muhammad SAW tersebut, kita menjadi tahu betapa pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama. Sering kali kita menyaksikan orang yang mengaku umatnya Nabi Muhammad SAW seperti sangat mengandalkan amal ibadahnya bagi keselamatan dan kebahagiaannya di akhirat kelak.

Orang ini begitu yakin akan selamat dari neraka dan akan masuk ke surga karena dia merasa sudah melaksanakan sembahyang, puasa, zakat, dan haji. Bahkan sering kita melihat orang yang seperti itu kemudian memandang sebelah mata kepada orang lain yang dinilainya tidak setekun dia dalam beribadah.

Baca Juga : Makna Syawal, Bulan Peningkatan Amal

Sedemikian yakinnya orang yang mengandalkan amal ibadah ritualnya itu, sehingga acap kali tidak menghiraukan orang lain dan tidak merasa perlu menjaga hubungan baik dengan sesama. Maka kita menyaksikan setiap hari seorang muslim dengan ringan melecehkan sesama saudaranya. Maka kita menyaksikan seorang haji – bahkan hampir setiap tahun naik haji—yang memperlakukan buruh-buruhnya secara tidak manusiawi. Menyaksikan orang yang rajin puasa tapi sekaligus rajin memakan harta rakyat.

Kita menyaksikan orang yang rajin sembahyang sekaligus rajin merampas hak orang lain. Kita menyaksikan ustadz yang rajin mengkhotbahi orang dan sekaligus memprovokasi untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama. Menyaksikan kelompok orang beragama tanpa merasa bersalah melakukan tindakan sewenang-wenang kepada hamba-hamba Allah karena merasa lebih benar dan lebih dekat kepada-Nya.

Melihat sabda Nabi Muhammad SAW di atas, nyatalah bahwa meskipun orang pulang ke alam baka dengan membawa bekal banyak berupa ibadah-ibadah ritual, bisa bangkrut bila tidak menjaga hubungannya dengan sesama. Ketika di dunia banyak menyakiti dan merampas hak orang.   Maka sungguh bijaksana leluhur kita yang mentradisikan adanya halal-bi-halal setelah ritual puasa Ramadan.

Setelah itu untuk menyempurnakan kefitrian kita sebagai manusia, ditradisikanlah saling bersilaturahim dengan tujuan utama untuk saling memaafkan dan saling menghalalkan. Halal-bi-halal. Jangan sampai kesalahan-kesalahan terhadap sesama manusia kelak menjadi ganjalan dan menyita modal amal baik kita. Dengan demikian kita benar-benar lebaran, lepas dari ganjalan-ganjalan dan terbebaskan dari dosa-dosa baik yang langsung terhadap Tuhan maupun yang terhadap sesama hamba.

Sayangnya, di zaman modern ini, tradisi mulia lebaran dan halal-bi-halal tersebut sudah semakin terkikis maknanya. Upacara ‘mudik’ yang terus berlangsung pun, umumnya lebih merupakan ritual kangen-kangenan antarkerabat sendiri. Tradisi ‘open house’ juga lebih merupakan kunjungan silaturahim seremonial bawahan kepada atasan. Tidak ada atau sudah jarang ada silaturahim seperti dulu yang secara khusus berniat melebur kesalahan dan mencari kehalalan tanggungan yang terlanjur diperbuat terhadap sesama.

Wallahu a’lam bissawab …

Ad

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *