Secara garis besar, masyarakat Islam di Indonesia masa kini cenderung telah terbuka pemikirannya untuk tidak membatas-batasi kriteria pemimpin pada suku atau jenis kelamin tertentu. Tapi, tahukah kita bahwa dalam sejarah Islam, pernah ada pergolakan yang cukup panas tentang batasan-batasan itu?
Pemimpin Harus Berasal dari Suku Quraisy?
Batasan pertama yang masih dapat kita temukan di kitab-kitab fikih politik (siyasah syar’iyyah) adalah bahwa seroang pemimpin negara (khalifah) haruslah berasal dari Suku Quraisy. Imam Syahrastani (w.548/1153) dalam kitab al-Milal wa al-Nihal menyatakan bahwa keyakinan umum tentang tidak mengakui kepemimpinan Suku Quraisy dianggap sesat secara agama.
Namun, bagi masyarakat awal Islam, menerima dan memilih pemimpin dari golongan Quraisy adalah bagian dari keimanan Islam hingga pada abad keenam Hijriyah.
Akan tetapi, ulama yang pertama kali berani mengkritik dan menawarkan padangan alternatif mengenai suatu ungkapan tentang kepemimpinan berbasis suku ini adalah Ibnu Khaldun (w. 808/1406).
Artinya, selama delapan ratus tahun setelah sepeninggal Nabi Muhammad SAW, realitas sosial dan politik secara kuat memberi legitimasi untuk mengkritik tentang syarat bahwa pemimpin harus dari Suku Quraisy.
Ibnu Khaldun memandang tulisan mengenai kepemimpinan dari golongan Quraisy sebenarnya bukanlah benar-benar syarat bahwa pemimpin harus berasal dari ras atau suku tertentu, akan tetapi memilih karakter yang cukup untuk memimpin suatu negara.
Sehingga siapapun bisa menjadi seorang pemimpin dengan karakter yang yang didukung. Namun, sebaliknya jika seseorang tidak memiliki karakter tersebut, sekalipun dari golongan Quraisy, maka tidak boleh dipilih untuk menjadi seorang pemimpin. Teks kepimpinan dengan demikian, harus dipahami substansinya bukan literal teksnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa wacana syarat pemimpin harus berasal dari Suku Quraisy pada mulanya lahir sebagai kesatuan dari keimanan. Sebab, Nabi Muhammad SAW adalah bagian Suku Quraisy, begitupun dengan para khulafaur rasyidin. Semuanya dari Suku Quraisy.
Seiring berjalannya waktu, khususnya ketika Islam sudah tersebar dengan luas, pemikiran ini mulai dikoreksi. Ibnu Khaldun adalah tokoh monumental yang menyuarakan koreksi itu. Darinya, kita bisa memahami bahwa bukan Suku Quraisy-nya yang menjadi syarat pemimpin, tapi kriteria atau kecakapan sebagaimana dimiliki oleh Suku Quraisy-lah yang menjadi syarat.
Perempuan Tidak Boleh Menjadi Pemimpin?
Beberapa orang mungkin pernah mendengar bahwa Islam tidak memperbolehkan seorang perempuan menjadi pempimpin, apalagi pemimpin negara. Beberapa tahun yang lalu, isu ini tampaknya cukup ramai diperbincangan di Indonesia pada momen konstelasi politik, khususnya pemilihan presiden. Apa yang mendasari adanya pandangan tersebut?
Jawabannya adalah karena pemahaman literal dari Hadis Imam Bukhori bahwa “Bangsa yang dipimpin perempuan tidak akan sejahtera”. Hadis itu diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang waktu itu menolak kepemimpinan politik Aisyah RA sebagai panglima pasukan perang.
“Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Haitsam, telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah dia berkata, Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang pernah aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang Jamal tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin berperang bersama mereka.- Dia berkata, ‘Tatkala sampai kepada Rasulullah bahwa penduduk Persia telah dipimpin oleh seorang anak perempuan putri raja Kisra, beliau bersabda, “Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita.”
Dalam Hadis ini terekam jelas di dalam teks tersebut, nuansa hadis ketika diucapkan Nabi maupun ketika pertama diriwayatkan oleh sahabat Abu Bakrah adalah murni terkait dengan sosial dan politik. Abu Bakrah adalah orang yang menentang kepemimpinan politik Aisyah, sehingga teks tersebut harus sesuai dengan konteks sosial politik tertentu, bukan sebagai norma yang universal. Artinya, hadis tersebut tidak benar-benar murni melarang pemimpin perempuan.
Teks hadis itu sesungguhnya berisi berita informatif yang mengarah pada kekaisaran Persia yang saat itu dipimpin oleh putri Kisra bernama Marwan bint Kisra, seorang perempuan yang masih muda, lemah, dan belum ada pengalaman dan dukungan kuat oleh para punggawa. Artinya hadis ini tidak cukup kuat untuk menjadi landasan pelarangan kepimpinan perempuan dalam politik dan yang lain.
Jika dilihat hadis lain, bisa kita temui bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh orang yang bertanggung jawab, kuat, melayani, memberikan kebaikan dan mensejahterakan masyarakat. Perempuan yang disebut pada konteks Abu Bakrah dianggap sebagai orang yang secara sosial tidak memiliki kapasitas yang cukup dan kuat sebagai pemimpin.
Sebaliknya jika perempuan memiliki kapasitas dalam memimpin dan memiliki kekuatan politik, maka ia boleh menjadi pemimpin. Begitulah menurut perspektif hukum Islam.
Wallahu a’lam bissawab …