Kita umat muslim wajib meyakini qadha dan qadar. Ikhlas dan ridha atas semua ketentuan yang digariskan Allah. Seberat apapun hidup yang kita jalani kita tetap harus bersyukur atas begitu luar biasanya nikmat yang kita terima dari-Nya.
Meski kadang masih saja kita mengeluh jika hidup tidak berjalan sesuai ekspektasi kita. Cukup dengan meluangkan waktu untuk menoleh ke sekitar kita (jauh atau dekat), tidak sedikit orang yang masalah hidupnya jauh lebih berat dari kita.
Hidup damai tanpa mengalami perang menjadi wajib kita syukuri sekarang. Karena pada saat yang sama, di belahan dunia yang lain saudara kita tengah tersiksa oleh kejamnya perang. Sebagian dari kita yang disebut wali murid/santri mungkin sedang khawatir biaya rekreasi anak-anaknya dalam menyambut liburan usai ujian semester.
Namun jangankan liburan semester, para orang tua di Palestina sedang ketakutan dan khawatir akan kelangsungan hidup anak-anak mereka. Jika pada akhirnya anak-anak di Palestina kehilangan sosok orang tua karena gugur dalam serangan-serangan Israel yang membabi buta, pilihan apa yang tersisa bagi mereka?
Sebaliknya kita sebagai saudara seiman dari umat muslim Palestina lah yang dihadapkan dengan pilihan untuk membantu atau mengabaikan kesedihan mereka, khususnya anak-anak yatim korban perang di sana.
Ada berbagai upaya yang diinisiasi baik oleh perorangan atau kelompok untuk membantu mereka. Mulai dari penggalangan dana untuk donasi, boikot produk Israel atau yang terafiliasi dengan Israel, edukasi via media sosial, atau sekedar memasang foto semangka di Whatsapp masing-masing. Di luar takaran ikhlas atau pamrih, yakinlah bahwa dukungan dan uluran tangan kita bisa mereka rasakan manfaatnya.
Mari kita ulas kisah Rasulullah terkait anak yatim korban perang yang cukup masyhur. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari raya beliau bertemu seorang anak yatim yang ditinggal wafat ayahnya saat berperang melawan orang-orang kafir.
Di kala teman-teman sebayanya bermain dengan riang gembira, ia bersedih dalam kesendirian. Tentu Rasulullah yang terbukti sangat tinggi kepekaan sosialnya tidak lantas mengabaikan dan melewati anak itu begitu saja.
Beliau bertanya, “Wahai anak kecil, mengapa kau menangis? Kenapa tidak ikut bermain dengan teman-temanmu yang lain?”
Anak itu yang belum mengetahui bahwa yang menghampirinya adalah Baginda Rasul menjawab, “Wahai paman, ayahku gugur di medan perang saat mengikuti Rasulullah melawan orang-orang kafir, ibuku menikah lagi dan mengambil semua jatah warisku, lalu aku diusir dari rumah oleh ayah tiriku. Saat aku tidak mempunyai apapun lagi di dunia ini, sedangkan teman-temanku bisa bermain bahagia di hari yang fitri ini dengan adanya ayah di sisi mereka, bagaimana bisa aku tidak bersedih?”
Rasulullah menghadapi kenyataan pahit yang harus diderita anak yatim tersebut tidak dengan sekedar bersimpati lalu cukup memberi santunan, tetapi malah menawarkannya untuk diangkat sebagai anak beliau.
Saat anak itu mengetahui bahwa yang berada di hadapannya adalah Rasulullah sendiri yang tadi sempat ia sebut dalam ceritanya, anak yatim itu tentu langsung menampilkan wajah bahagia yang berseri mendengar tawaran Rasulullah tersebut.
Diceritakan bahwa ia mengikuti Rasul pulang dan diberi makan dan pakaian terbaik yang sebelumnya mungkin hanya bisa ia bayangkan dalam kesengsaraan hidupnya yang terlantar tanpa kasih orang tua. Segera ia berlari ikut bermain riang gembira dengan teman-teman sebayanya.
Heran dengan perubahan drastis pada anak yatim tersebut, teman-temannya bertanya alasan dia yang awalnya sedih menyendiri lalu dengan semangat dan wajah berseri ikut bermain. Setelah dijawab dengan ceria apa yang baru saja ia alami, teman-temannya sampai merasa iri akan keberuntungan yang dialami anak yatim itu. Kehormatan yang luar biasa bisa diangkat anak oleh Baginda Rasulullah yang merupakan sebaik-baiknya seorang ayah.
Mari kita telaah sejenak kisah tersebut. Ayah anak yatim itu wafat dalam perang karena pilihan yang ia ambil dalam memperjuangkan Islam, meskipun kematian itu sendiri adalah takdir Allah. Namun kesengsaraan anak yatim itu dalam menjalani kehidupannya usai ditinggal wafat ayahnya dalam perang, dicurangi ibu dan ayah tirinya, sama sekali bukan pilihan yang ia ambil.
Apa kita tega menyalahkan si anak yatim karena menjadi lemah secara fisik maupun mental sehingga tidak mampu bangkit dari keterpurukan? Bayangkan berapa jumlah anak yatim yang dihasilkan oleh perang di Palestina, tentang nasib mereka esok hari di seberang sana.
Sudah sepantasnya kita meneladani sikap Rasulullah yang mengambil pilihan terbaik untuk menolong anak yatim korban perang itu, tentu dengan kapasitas kita masing-masing.
Wallahu a’lam bissawab …