Barangkali kita sering mendengar ungkapan yang mengajak kita untuk senantiasa berbaik hati menolong orang lain. Bahkan mungkin kita juga tidak asing dengan ungkapan, “kita wajib menolong sesama”. Bagaimanakah sebenarnya hukum menolong sesama ini? Apakah benar-benar wajib sehingga jika tidak menolongnya akan membuat kita berdosa?
Dalam fikih, terdapat pembahasan yang khusus membahas terkait urusan tolong-menolong ini. Istilahnya adalah ighosah. Orang yang menolong disebut mughis dan orang yang ditolong disebut mustaghis. Dalam kaitannya dengan hukum menolong orang lain, kaidah dasar yang berlaku sebenarnya adalah “lil wasail hukmul maqoshid”, suatu perantara memiliki hukum yang sama dengan tujuannya.
Artinya, apabila menolong ditujukan untuk menolong kebaikan, maka hukumnya adalah baik. Sebaliknya, jika menolong untuk kejelekan, maka hukumnya menjadi jelek. Begitu kiranya kaidah umum tentang tolong-menolong.
Bagaimana dengan menolong orang yang sedang kesusahan? Terkait hal ini, fikih membedakan suatu kesusahan menjadi dua, yakni yang masuk kategori darurat (dharurah) dan yang tidak darurat (muhtaj). Untuk yang darurat, parameternya adalah jika kesusahan itu mengancam nyawa atau mengancam cacatnya anggota tubuh. Selain yang seperti itu, maka tidak darurat. Perbedaan jenis suatu kesusahan itu nantinya akan berakibat pada berbedaan hukum.
Pertama, untuk jenis darurat, hukum menolong orang yang seperti itu adalah wajib atau fadhu ain, dengan catatan bahwa orang yang menolong memang memiliki kompetensi atau kemampuan untuk memberikan pertolongan. Jika tidak memiliki kemampuan, maka hukumnya adalah fardhu kifayah.
Contohnya seperti ketika kita melihat orang yang tenggelam. Apabila diri kita dapat berenang dan merasa mampu menolongnya setelah memperhatikan medan yang ada, maka kita wajib menolongnya. Berbeda apabila kita tidak bisa berenang.
Ketika kita tidak bisa berenang dan melihat orang tenggelam, yang wajib dilakukan adalah mencari orang bisa menolongnya. Artinya, kewajiban menolong kesusahan orang lain di kategori darurat ini dibatasi oleh tidak adanya efek negatif atau konsekuensi buruk yang membahayakan nyawa si penolong itu sendiri.
Ini berlaku juga untuk kondisi di mana kita sebenarnya bisa berenang, namun kondisi airnya sangat berbahaya, seperti arusnya sangat deras atau ombak yang sangat besar. Maka, kita tidak wajib ain untuk langsung menolongnya meski bisa berenang, sebab hal itu akan membahayakan nyawa kita juga.
Akan tetapi perlu diketahui, batasan “membahayakan nyawa kita” yang bisa menjadikan kita tidak wajib menolong orang lain ini tidak berlaku bagi petugas negara yang memang tugasnya adalah untuk menolong.
Contohnya seperti polisi atau petugas keamanan yang lain. Ketika menolong orang lain yang sedang dibegal misalnya, polisi tidak boleh memakai batasan “membahayakan nyawa dirinya” untuk kemudian menyatakan bahwa dia tidak wajib menolongnya karena nyawanya sendiri bisa terancam. Hal itu tidak boleh, melainkan polisi harus tetap menolongnya karena itu adalah tugasnya, tugas yang mewakili negara atau pemerintah untuk melindungi rakyatnya.
Terdapat hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa di hari kiamat nanti, ada tiga golongan yang Allah tidak sudi berbicara dengannya, tidak sudi melihatnya, dan tidak sudi membebaskannya dari siksa. Di antara tiga golongan itu adalah orang yang memiliki air lebih di daerah yang gersang, jauh dari pemukiman, dan air itu dibutuhkan oleh pelancong yang sedang lewat.
Akan tetapi pemilik air tersebut justru tidak mau memberikan kelebihan airnya untuk si pelancong yang sangat membutuhkannya padahal ia memiliki air yang lebih dari cukup untuk dirinya dan orang yang berada dalam naungan nafkahnya. Ini menunjukkan bahwa tidak menolong orang yang sangat butuh hingga nyawanya terancam, sedangkan kita mampu dan memiliki kelebihan, adalah suatu tindakan keji yang di akhirat nanti dibalas oleh Allah.
Kedua, untuk jenis tidak darurat (muhtaj). Meskipun pada jenis ini kesusahan orang yang ditolong tidak mencapai ‘mengancam nyawa atau cacat fisik’, namun Islam tetap sangat menganjurkan kita untuk menolongnya. Hukumnya memang tidak wajib, tapi sangat dianjurkan (sunnah muakkad).
Karena sunnah, maka jika kita menolongnya, kita mendapat pahala, namun jika tidak, maka tidak mendapat dosa. Pada titik inilah kita sebaiknya tetap berusaha menolong semampu kita untuk mendapat kesunahan, sesuatu yang disenangi oleh Allah SWT. Dengan menolongnya semampu kita, kita telah mendapat kesunahan.
Contohnya seperti ada orang yang mengajukan utang kepada kita sebesar satu juta rupiah. Apabila keadaannya kita lihat tidak membuat nyawanya terancam (masih sebatas muhtaj), dan kita merasa berat mengutangi sebesar itu, maka kita bisa tetap mendapat kesunahan dengan mengutanginya 100 ribu rupiah. Tetap menolong semampu kita, itulah yang sebaiknya kita jadikan prinsip.
Wallahu a’lam bissawab …