Pernahkan Anda terbesit pemikiran tentang hakikat pemilik harta benda yang ada dalam kekuasaan Anda? Siapakah yang sebenarnya memiliki harta itu? Apakah itu Anda?
Sebagai orang Islam, kita semua tentu sepakat bahwa seluruh harta benda di dunia ini hanyalah milik Allah semata. Kita sebagai manusia yang kebetulan ‘memilikinya’ hanyalah dititipi. Bahkan titipan itu bisa dianggap sebagai ujian, apakah kita bisa menggunakannya untuk kebaikan, atau justru untuk keburukan. Semua kepemilikan terhadap barang akan dihisab di akhirat kelak.
Cara berpikir di atas dalam pandangan Ekonomi Islam selaras dengan konsep kepemilikan harta benda dalam Islam. Di salah satu pembahasan ekonomi Islam dalam kitab Madkhal li al-Fikr al-Iqtishadi fi al-Islam, terdapat istilah ‘Kepemilikan Ganda’. Maksudnya, Islam memandang pemilik sejati atas segala sesuatu di dunia ini adalah Allah SWT. Adapun manusia diberi amanat oleh Allah untuk mengelolanya.
Oleh karena itu, manusia harus menggunakan semua hal yang ada di dunia ini sesuai dengan kehendak Allah. Dalam artian tidak boleh bertentangan dengan larangannya dan harus memenuhi perintahnya (terkait penggunaan harta).
Meski pemilik asli atas suatu harta adalah Allah SWT, bukan berarti manusia sama sekali tidak memiliki hak atas harta yang berada dalam naungannya. Dalam kaitannya dengan hubungan sesama manusia, konsep kepemilikan atas harta tetap diakui sebagai kepemilikan individu.
Artinya, orang yang memiliki suatu harta benda berhak untuk menggunakannya, mengambil manfaat darinya, menahannya, mewariskannya, bahkan membuangnya. Hanya saja, sekali lagi, kesemua penggunaan itu dibatasi dengan tidak melanggar perintah Allah SWT.
Selain konsep pemilik asli dan pemilik yang dititipi, pembahasan tentang kepemilikan harta benda di kajian Ekonomi Islam juga membedakan antara kepmilikan pribadi dan kepemilikan publik. Dalam hal ini, Islam mengakui keduanya. Artinya, manusia di satu sisi diperbolehkan oleh Islam untuk ‘memiliki’ harta benda untuk dirinya sendiri, karena itu adalah naluri atau hasrat bawaan manusia.
Dengan kebolehan itu, manusia akan termotivasi untuk berkreasi melakukan pengembangan-pengembangan usaha yang bisa menggerakkan kehidupan di dunia. Adapun untuk kepemilikan publik, Islam menetapkan berbagai aset yang tidak bisa dimiliki oleh perorangan. Di antaranya adalah yang disebut dalam hadis: air, tanah, dan api (sebagian riwayat menambahinya dengan garam).
Melalui hadis di atas, para cendikiawan muslim di Ekonomi Islam mengembangkan batasan kepemilikan perorangan dan kepemilikan publik. Untuk kepemilikan publik, kriterianya adalah setiap sumber daya yang memiliki karakteristik seperti air, tanah dan api, sebagaimana hadis di atas.
Dengan kata lain, kepemilikan individu tidak berlaku untuk sumber daya alam (alami) yang menjadi kebutuhan dasar orang banyak. Sumber daya seperti itu tidak boleh dimonopoli oleh perorangan, melainakn harus dikelola untuk kepentingan bersama.
Pengakuan atas kepemilikan pribadi dengan batasan terhadap sumber daya alam tertentu adalah cara pandang khas Islam yang sekaligus menjadi jalan tengah antara dua kutub pemikiran tentang kepemilikan harta di kajian ekonomi secara umum. Dua kutub tersebut adalah sosialisme dan kapitalisme. Untuk sosialisme, kepemilikan pribadi tidak diakui, yang ada hanyalah kepemilikan negara.
Oleh karena itu, orang bekerja bukan untuk mencari uang karena ia telah dijatah negara dengan aturan-aturan yang diatur negara pula. Hal ini membuat usaha semua orang dipandang sama dalam kaitan dengan hasil atau upahnya. Sebaliknya, untuk kapitalisme, tidak ada yang namanya kepemilikan negara. Semua orang bebas bersaing mencari kepemilikan (kekayaan).
Memang hal itu memacu kompetisi agar semua orang berlomba-lomba aktif dan kreatif dalam menggerakkan roda perekonomian, namun orang-orang yang kalah saing akan menjadi korban sehingga kesenjangan ekonomi akan tercipta. Akan ada orang yang sangat kaya dan ada yang sangat miskin.
Islam, dengan cara pandang yang mengakui kepemilikan pribadi dengan batasan-batasan sekaligus aturan-aturan untuk menjalankan perintah Allah, menjadi solusi yang menengahi antara sosialisme dan kapitalisme. Sekaligus, Islam menjadi cara hidup terbaik dalam memosisikan diri atas kepemilikan barang.
Kita bisa menganggap harta benda yang ada di kekuasaan kita sebagai milik kita tanpa lupa bahwa ada Dzat Maha Kuasa yang menjadi pemilik hakiki. Sehingga kita senantiasa sadar untuk menggunakan harta benda itu di jalan kebaikan.
Wallahu a’lam bissawab …