Memadukan Ibadah “Melangit” dan “Membumi”

Ad
Memadukan Ibadah “Melangit” dan “Membumi”

Sholat ialah pokok agama. Ia menjadi sistem untuk membangun pribadi saleh yang diharapkan sampai pada level muslih. Saleh adalah baik untuk dirinya sendiri, sedangkan muslih baik untuk dirinya dan sekitarnya. Muslih adalah orang yang mampu memperbaiki, mempunyai kepedulian dan daya juangnya tinggi terhadap proses kehidupan ini. 

Tidak semua orang mempunyai modal yang sama dalam kehidupan ini. Dalam upaya agar tidak terjadi kesenjangan, baik itu sosial ataupun materi, maka kita sebagai seorang muslim diperintahkan untuk islah li ghairih, memperbaiki kepada yang lain. Itulah hakikat muslih. Memperbaiki tidak hanya bersifat dakwah, tetapi juga bisa dalam pembangunan ekonomi, kebutuhan pokok, teknologi, dan lain-lain yang bernilai manfaat untuk masyarakat.

Hakikatnya, sholat bukanlah selesai dalam ritual saja. Ibaratnya, sholat masih koma, belum titik. Tetapi saat orang ingin berbuat baik, harus melewati pintu itu. Artinya, siapapun yang telah berbuat baik kepada masyarakat, sebanyak apapun amal baiknya, hal itu tidak otomatis menjadikannya boleh untuk meninggalkan shalat.

Shalat merupakan batas minimal kewajiban. Saat syarat dan rukunnya terpenuhi ia bisa dikatakan sah, meskipun dalam kehidupan sehari-harinya ia tidak pernah sedekah datau perbuatan buruk lainnya. Shalat mempunyai fungsi mencegah dari perbuatan tercela dan kemunkaran. Seseorang yang malaksanakan shalat dengan benar, ruh dan jasadnya shalat, maka fungsi dari shalat dalam mencegah perbuatan tercela dan kemunkaran akan terealisasi. 

Bagaimana Shalat Yang Bisa Memberi Dampak?

Langkah awal adalah memastikan bahwa shalat yang dilakukan sah. syarat dan rukunnya terpenuhi. Selanjutnya yang shalat tidak hanya jasad saja, jiwa seseorang juga harus shalat. Ciri bahwa jiwa dan raga seseorang ikut shalat adalah orang tersebut khusyu’ dalam melakukannya, sunnah-sunnah yang ada ia kerjakan secara istiqamah.

Setiap bentuk kewajiban, agar keutamaan-keutamaan yang menyertaiya dapat diraih dengan masimal maka diperlukan takmiliyah, penyempurnaan dalam pelaksanaannya. Salah satu takmiliyah dalam ibadah shalat yaitu jiwa orang yang shalat khusyu’. Meskipun secara fikih tanpa khusyu’ shalat tetap bisa dikatakan sah, tetapi jika tidak dijiwai maka fungsi dari shalat ini tidak bisa optimal.

Maka agar terpenuhi fungsi dari shalat sebagai tanha an al-fakhsya wa al-munkar, mencegah perbuatan tercela dan munkar, maka selain shalat harus sah ia juga harus dijiwai. Selauruh sunnah dan adab-adabnya dilakukan secara total agar funsgi dan keutamaan-keutamanaan yang menyertainya dapat diraih dengan optimal.

Salah satu rukun dalam shalat adalah sujud, di dalamnya ada sekian sunnah. Rukuk pun sama, ada sunnah-sunnahnya, yang dianjurkan untuk disempurnakan. Jika diibaratkan sebuah bangunan, maka komponen inti dalam shalat adalah khusyu’. Karena hakikat shalat adalah aqimi al-shalata li dzikriy, tunaikanlah shalat untuk mengingat-Ku (Allah).

Tetapi, praktek shalat yang kita jumpai bersifat otomatikiyah, yaitu shalat yang bergerak tanpa jiwa, secara otomatis seperti sebuah mesin saja. Shalat seperti itu tentu saja tidak khusyu’ karena tidak dijiwai.

Shalat yang dijiwai akan mendorong pelakunya mempunyai karakter yang baik, professional dalam bekerja dan perilaku sosial yang banyak disenangi dan bermanfaat bagi lingkungannya. Benar bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa shalat adalah tiangnya agama. Kalau kita ingin membangun masyarakat yang baik, maka harus kita awali dengan melaksanakan shalat secara baik. tetapi, perlu digaris bawahi bahwa shalat bukanlah titik, ia adalah koma, ia menjadi awal dari segala macam kebaikan. 

Sejatinya manusia dilahirkan memiliki potensi baik, tanpa agama pun manusia bisa berbuat baik, karena dalam diri manusia ada akal. Tetapi, jika orang yang berakal sekaligus beragama, ia punya iman, maka potensi baiknya menjadi aaml baik yang bernilai ibadah dunia dan akhirat. Tetapi jika tidak beriman maka ia hanya sebatas berbuat baik saja.

Mungkin saja seseorang mempunyai karakter suka memberi, tetapi karakter tersebut tidak lahir dari dasar keimanan, ia lahir melalui logikanya. Di dunia ia dinilai baik, tetapi nanti di akhirat amal baik yang ia lakukan tidak berbekas apa-apa. Sebaik-baiknya orang yang tidak beriman, kebaikannya hanya akan mendapatkan balasan di dunia saja, tidak dibawa ke akhirat.  

Kita harus memberikan apresiasi kepada mereka yang beriman, meskipun mereak belum mempunyai kepedulian untuk beramal baik. Dalam berdakwah, pososi iman harus kita utamakan dan senantiasa kita jaga. Walaupun dalam berperilaku sehari-hari belum mencapai level ketaatan penuh.

Pemahaman kita dalam beragama seringkali terbelah, memahaminya sepotong-sepotong tidak utuh. Hal ini mungkin karena faktor belajarnya yang belum tuntas saat masih ngaji di pondok atau belajar di sekolah. di pondok biasanya lebih banyak porsi belajar pada bab bersuci dan shalat, porsi belajar mengenai bab-bab dalam bermuamalah seperti zakat misalnya, kurang berikan jam pelajaran yang proporsional untuk memahaminya secara utuh. Bagaimana cara agar para santri mempunyai mental menjadi seorang muzakky (orang yang berzakat) belum dibangun. 

Yang seringkali terjadi adalah kecenderungan untuk bermental mustahiq, untuk nerimo ing pandum, yang dipahami bahwa tidak usaha usaha semua sudah ada yang mengatur. Hal itu tentu saja tidak tepat. Dibangun untuk nerimo ing pandum adalah suat keharusan, tetapi tidak berhenti disitu, dorongan agar selalu berusaha agara nantinya menjadi seorang muzakky juga tidak kalah penting.

Kalau kita melihat polanya, setiap kewajiban yang dibebankan selalu terikat dengan kemampuan mukallafnya. Misalnya zakat harus ada nishab, nishab adalah gambaran dari kemampuan dalam melaksanakannya. Kalau tidak mempunyai kemampuan ekonomi bagaimana mungkin bisa menjadi seorang muzakky?

Mindset kita dalam persoalan mengenai zakat jangan diandang dari sisi ibadah mahdhah-nya saja, kewajiban berzakat sesungguhnya akibat dari pemahaman dan kemampuan skill dalam usaha. Baru saat pemahaman dan kemampuan usaha itu membuat seseorang berdaya secara ekonomi muncullah kewajiban zakat.

Diskusi perihal zakat kepada orang yang tidak punya uang, meskipun orangnya sangat paham mengenai zakat, tetap saja ia tidak bisa menunaikan zakat. Kalau akhirnya nanti hanya menjadi mustahiq, sebenarnya tidak begitu penting belajar fikih yang tinggi-tinggi. Untuk itu, santri harus sebisa mungkin dicetak menjadi seorang muzakky. Para santri harus diberikan pemahaman ekonomi yang baik agar cita-cita mulia menjadikan santri seorang muzakky tercapai secara optimal.

Lembaga sosial kemasyarakatan, termasuk LSPT, sebisa mungki jangan hanya mentasharufkan, tetapi juga harus bisa memberdayakan masyarakat agar mereka beisa berpikir bagaimana caranya menjadi seorang muzakky, mempunyai jiwa usaha. Karena kalau kita lihat sebagian besar ibadah membutuhkan biaya. Untuk berangkat haji misalnya, kita butuh pesawat.

Kita tidak mungkin bisa berbicara tentang teknologi pesawat jika tidak mempunyai sarjana di bidang tersebut. kita seringkali fokus pada aspek syariat saja. Padahal untuk melaksanakan syariat kita membutuhkan wasilahnya. Dalam ibdah shalat kita butuh menutup aurat, dalam menutup aurat kita butuh pakaian

Jadi cara berpikir kita masih dikotomis dan parsial, melihat agama hanya sakralisasi saja dan tidak memahaminya secara utuh. Tidak melihat bahwa dalam melaksanakan ibadah mahdhah kita perlu wasilahnya, haji butuh pesawat, zakat butuh kemampuan ekonomi. Maka, jika hanya mengajarkan ibadaha yang “melangit” saja, tanpa mengajari untuk “membumi”, maka agama akan lumpuh. Kita tak bisa haji kalau taka da pesawat, tak bisa zakat kalau tak punya  kemampuan ekonomi.

Dalam urusan dunia kita juga diperintah untuk melestarikannya, karena kita sebagai khalifah. Tidak boleh kita hanya bica persoalan ibadah ritual saja, tetapi juga tidak boleh hanya beribadah sosial tanpa melakukan ibada ritual. Keduanya sama pentingnya, kita harus memadukan antara keduanya. Agama harus kita pahami secara riwayatan (turun-temurun, bersanad). Sedangkan kehidupan dunia ini kita pahami secara aqliyatan, kauniyatan (rasional, hukum alam). 

Wallahu a’lam bissawab …

Ad

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *