Riba dapat terjadi dalam dua posisi, yaitu objek dan subjek. Objek yang dimaksud adalah orang yang berutang dan subjek adalah orang yang mengutangi, yang keduanya dilakukan dengan konsep riba. Dalam posisi objek, tentu cara utama agar terhindar dari riba adalah dengan memperkuat ekonomi sehingga tidak perlu berutang. Secara praktis berarti kita harus bekerja.
Sebagai muslim, kita harus meyakini bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah. Dalam kitab berjudul al-Hats ‘ala al-Tijarah wa al-Shina’ah wa al-‘Amal, diceritakan bahwa saat Imam Ahmad bin Hanbal ditanyai “Apakah saya harus bekerja?”, beliau menjawab: “Iya, kamu harus bekerja. Setelah bekerja, kamu akan punya kelebihan sehingga mampu memberi dan bersedekah kepada orang lain.”
Jawaban itu sekaligus menandakan bahwa ketika memiliki ekonomi yang kuat, kita tidak akan terjebak dalam perilaku utang yang bernuansa riba.
Selain memperkuat ekonomi, menghindari riba juga dapat diusahakan melalui proporsionalitas dalam mentasarufkan harta. Di antara caranya adalah berpikir ke depan terkait kelangsungan ekonomi anak-cucu kita. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang melarang sahabatnya ketika hendak mewasiatkan seluruh hartanya. Rasulullah membatasinya dengan jumlah sepertiga saja. Salah satu hikmahnya adalah agar sahabat tersebut tidak meninggalkan keturunan dalam keadaan lemah ekonomi. Sebab hal itu berpotensi menjadikan mereka masuk dalam jurang riba.
Adapun dalam posisi subjek, cara untuk menghindari riba adalah dengan mengedepankan prinsip tolong-menolong dan meyakini bahwa riba adalah hal yang diharamkan. Allah SWT memerintahkan kita untuk membantu sesama sebagaimana termuat dalam QS. Al-Maidah: 2.
Membantu tidak hanya dengan memberi makanan, tetapi bisa juga melalui pemberian utang. Karena itu, ketika kondisi ekonomi kita kuat, maka kita harus ingat bahwa ada ibadah sosial yang bisa kita lakukan, yaitu membantu sesama, termasuk memberi utang orang yang membutuhkan.
Tolong-Menolong sebagai Cara Menata Ekonomi
Sebagai perintah Allah SWT, tolong-menolong memiliki banyak manfaat. Dalam kaitannya dengan penataan ekonomi, setidaknya terdapat tiga bentuk tolong-menolong yang dapat kita lakukan. Pertama adalah berbentuk memberi utang.
Ketika pemberian utang benar-benar didasari niat menolong, bukan mencari keuntungan, maka hal itu akan sangat membantu orang yang membutuhkan. Al-Qur’an telah menyebutkan bagaimana sebaiknya perilaku kita saat memberi utang, yakni jika orang yang utang belum mampu membayar, maka kita sebaiknya memberikan tambahan waktu.
Lebih baik lagi apabila kita mampu dan rela untuk membebaskannya sehingga utang tersebut menjadi pemberian kita.
Kedua adalah menolong dalam bentuk memberi modal usaha. Pemberian ini dapat dimodel akad-akad muamalah yang terdapat dalam fikih. Bisa mudharabah, muzaraah, atau yang lainnya.
Fikih memang mengatur aneka akad tersebut untuk memberi jalan dalam upaya meningkatkan kemampuan ekonomi seseorang. Apabila hendak melakukannya, kita harus melandasi diri kita dengan ilmu, bahwa inilah jalan yang disyariatkan oleh Allah SWT.
Ketiga adalah menolong dalam bentuk memberi keterampilan. Dalam hadis Nabi SAW dikatakan bahwa barangsiapa yang menciptakan sunnah hasanah (tradisi yang baik), maka pahala akan terus mengalir kepadanya selama tradisi itu ada. Hal ini juga berlaku untuk bantuan memberikan keterampilan kerja kepada orang lain.
Sebab, bekerja sejatinya adalah ibadah. Ketika kita memberi keterampilan agar orang mampu bekerja dan ekonominya menjadi kuat, berarti kita telah menciptakan sunnah hasanah itu.
Pentingnya Peran Lembaga Sosial
Lembaga sosial seperti LSPT memiliki peran penting dalam membantu orang-orang dengan ekonomi yang terbatas. Setidaknya terdapat dua hal yang penting dilakukan dalam hal itu. Yang pertama adalah meningkatkan mutu SDM.
Mula-mula, dilihat potensi orang-orang yang ingin ditingkatkan kondisi ekonominya. Jika ia berpotensi menjadi tenaga pengajar, maka LSPT mengarahkan mereka untuk menempuh pendidikan yang sesuai beserta pembiayaannya.
Jika potensi mereka di bidang otomotif, maka diarahkan sekolah teknik atau kursus/magang di bengkel tertentu, dengan pembiayaan dari LSPT. Program kedua adalah pemberian modal dan pendampingan usaha.
Program ini akan memperluas peran LSPT dalam amal sosial, sehingga tidak hanya memberi satu-dua kilo beras ke mustahiq, tetapi mengupayakan perubahan dari mustahiq menjadi muzakki. Tentu efek sampingnya adalah sasaran amal sosialnya tidak akan seluas pembagian satu-dua kilo beras, melainkan hanya ke satu dua orang saja.
Namun hal ini tidak menjadi masalah, bahkan jika uangnya berasal dari zakat. Dalam fikih Hanafiyah, penyaluran zakat boleh dikonsentrasikan ke satu dua orang, tidak rata ke delapan asnaf. Di antara harapannya adalah agar para mustahiq bisa menjadi muzakki.
Wallahu a’lam bissawab …