Dalam kajian fikih, kurban disebut uḍḥiyyah, yang secara bahasa berarti kambing yang disembelih di pagi hari. Dalam konteks fikih, uḍḥiyyah merujuk pada hewan ternak seperti unta, sapi, kerbau, dan kambing yang disembelih pada hari raya Iduladha (yaum al-naḥr, 10 Zulhijah) atau hari tasyrik (ayyām al-tasyrīq, 11-13 Zulhijah) dengan syarat dan rukun tertentu.
Ibadah kurban sangat dianjurkan dan legalitasnya dapat ditemukan dalam Al-Quran, hadis Rasulullah, maupun ijma ulama terkait ke-masrū’iyyah-annya (bahwa Islam memang mensyariatkan kurban). Ada dua pendapat terkait hukumnya.
Mayoritas ulama, termasuk Syafiiyah, menyatakan bahwa kurban adalah sunnah muakkad (sunnah yang sangat dianjurkan). Hanya Hanafiyah yang berpendapat bahwa kurban adalah wajib.
Lebih lanjut, dalam kitab al-Fiqh al-Manhajī disebutkan bahwa kesunnahan berkurban memiliki syarat-syarat tertentu, sehingga tidak semua orang disunnahkan untuk berkurban. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
- Islam
- Baligh dan berakal
- Istiṭā’ah (memiliki kemampuan)
Istiṭā’ah (memiliki kemampuan) menjadi syarat kesunnahan kurban menurut pendapat yang menyatakan bahwa kurban adalah sunnah.
Tolok ukur kemampuan yang harus dimiliki adalah orang tersebut memiliki kelebihan atas kebutuhannya (bisa mencukupi dan masih ada lebihan) selama hari raya Iduladha dan hari tasyrik, untuk dirinya serta orang-orang yang menjadi tanggungannya, seperti istri, anak, dan sebagainya.
Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Jika tidak memenuhi persyaratan ini, maka dia tidak sunnah berkurban (bagi yang menghukumi sunnah) dan tidak wajib (bagi yang menghukumi wajib).
Sebelumnya telah disinggung bahwa ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hukum kurban adalah wajib. Kewajiban itu berlaku bagi orang yang istiṭā’ah, yaitu yang memiliki harta senilai nishab emas (± 85 gram) dan perak (± 595 gram). Jika tidak memiliki harta senilai itu, maka orang tersebut belum dianggap mampu, sehingga tidak wajib berkurban.
Berutang Demi Kurban?
Apakah kita boleh berutang demi bisa berkurban? Bagi kita yang bermazhab Syafi’i, kurban tidaklah wajib, melainkan sunnah dengan syarat istiṭā’ah (memiliki kemampuan).
Jika seseorang tidak memiliki kemampuan lalu berutang agar bisa berkurban, apakah kurbannya sah? Dalam literatur fikih, jawabannya adalah tetap sah.
Namun, jika pertanyaannya “lebih baik mana antara berutang dan tidak dalam keadaan seperti itu?” Maka jawabannya adalah sebaiknya kita tidak berutang.
Karena dengan berutang, kita berarti memaksakan diri. Selain itu, tidak ada yang bisa menjamin bahwa kita mengalami kemudahan untuk membayar utang tersebut. Meski begitu, berutang tetap boleh dilakukan jika disertai keyakinan bahwa dirinya mampu membayar.
Kesimpulannya, boleh berutang untuk kurban, dengan syarat yakin mampu membayar. Kurban dengan utang seperti itu hukumnya sah, tetapi lebih baik tidak dilakukan karena memaksakan diri.
Baca Juga : Memahami Hakikat Kurban
LSPT Buka Jasa Kurban Kredit, Bolehkah?
Kurban kredit bisa jadi suatu siasat untuk memfasilitasi orang yang tidak mampu agar tetap bisa berkurban. Bentuknya bisa dengan model menjual hewan kurban yang pembayarannya dicicil. Apakah siasat seperti itu sah dan boleh dilakukan?
Mengenai halal atau tidaknya jual beli dengan kredit, kita bisa mengikuti pendapat yang difatwakan oleh Darul Ifta’ Mesir bahwa jual beli dengan kredit tidaklah haram, alias boleh. Dengan catatan jangka waktunya ditentukan bersama, diketahui bersama, dan total harga yang harus dibayar juga diketahui bersama. Maka, berkurban dengan hewan yang dibeli secara kredit pun hukumnya adalah boleh.
Namun, jika kurban kredit ini dilakukan oleh lembaga sosial seperti LSPT, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah: Layakkah LSPT melakukan hal itu? Menurut saya, itu tidak layak karena mengandung paradoks.
Orang yang kredit karena tidak memiliki kemampuan sebenarnya tidaklah sunnah berkurban. Orang-orang itu seharusnya menjadi sasaran LSPT untuk ‘dimampukan’, yaitu diberdayakan dan didampingi untuk melakukan peningkatan ekonomi. Ketika mereka diberi fasilitas kurban kredit, LSPT justru memberikan tambahan utang untuk sesuatu yang sebenarnya tidak wajib mereka lakukan.
Saya khawatir uang yang dikumpulkan dari bantuan orang lain menjadi modal berkurban bagi orang yang seharusnya tidak disunnahkan untuk berkurban. Meski secara fikih, berkurban dengan model jual beli kredit memang sah.
Wallahu a’lam bissawab …