Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng atau LSPT merupakan pengelola berbagai dana, di antaranya adalah zakat dan sedekah. Sebagai pengelola, LSPT harus membedakan antara dana yang berasal dari zakat dan sedekah. Sebab, dana zakat harus dialokasikan untuk delapan asnaf saja dan tidak boleh digunakan untuk pemberian utang.
Sedangkan sedekah dapat dialokasikan untuk berbagai hal, yang penting bersifat baik dan terdapat maslahat untuk fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, hukum mengalokasikan sedekah sebagai modal usaha seperti pertanyaan di atas adalah boleh.
Agar tujuan meningkatkan ekonomi mustahiq melalui pemberian modal usaha bisa tercapai secara maksimal, opsi yang paling tepat adalah dengan melakukan pendampingan. Lalu bagaimana dengan model memberi utang sebagaimana yang ditanyakan?
Karena posisi LSPT adalah pengelola, LSPT harus mengikuti keinginan pemberi sedekah. Andai pemberi sedekah menentukan bahwa sedekah itu untuk orang tertentu, tidak boleh dipinjamkan, harus diberikan, maka LSPT harus melakukannya.
Namun jika pemberi sedekah tidak membatasi penggunaannya, maka LSPT bisa melakukan aneka tasaruf, asalkan mengandung maslahah. Terkait boleh atau tidak pengelola mengalokasikan uang sedekah untuk memberi utang, ada dua pendapat dalam fikih.
Pertama, diperbolehkan dengan syarat mendapat izin dari pemberi sedekah. Berarti LSPT harus meminta izin terlebih dahulu dari pemberi sedekah bahwa uang sedekahnya akan diutangkan.
Jika akad ini dijalankan, maka harapan kami LSPT membuat kontrak yang jelas bahwa peminjamannya bersifat lunak, tidak ada beban tambahan biaya, dengan tetap melakukan pengawasan terkait pengembaliannya. Karena dalam akad qard (utang), harus ada pengembalian sebesar nominal yang dipinjam.
Selain itu, kami juga mengusulkan agar LSPT membuat komitmen dengan izin pemberi sedekah, jika nanti fakir-miskin yang diutangi tidak mampu mengembalikan, maka akan dilakukan pembebasan utang. Sebab, mereka sebenarnya adalah orang yang berhak menerima sedekah.
Komitmen ini penting karena tanpa adanya ibrah (pembebasan), utangnya akan menjadi tanggungan berkepanjangan (haq adami) yang wajib diselesaikan. Tentu kriteria pembebasan utang perlu dirumuskan dengan melihat kondisi penerima utang.
Aturan pembebasan ini tidak harus disampaikan ke penerima utang, agar tidak memicu kemalasan dalam berusaha. Pendamping atau pengawas dari LSPT dapat diberi tugas untuk mempertimbangkan kondisi usaha apakah perlu dilakukan ibrah.
Kedua, pengelola tidak boleh mengutangkan uang sedekah. Jika mengikuti pendapat ini, maka LSPT tidak diperkenankan memberi utang menggunakan uang sedekah yang dikelola.
Ketika pendapat kedua ini disatukan dengan pendapat sebelumnya, dan kita mengikuti kaidah al-khuruj min al-khilaf mustahab (menghindari perbedaan itu dianjurkan), maka kami menyarankan agar LSPT tidak menggunakan akad utang dalam program pemberdayaan ekonomi sebagaimana ditanyakan.
Sebagai solusi, modal dapat diberikan secara bertahap atau berkelanjutan, tidak diberikan satu kali. Misalnya sasaran program akan melakukan usaha laundry, dengan kebutuhan modal 20 juta. Kita beri modal 10 juta dulu, lalu dievaluasi. Jika berkembang, maka modal kita tambahkan.
Model ini tetap menggunakan akad pemberian, bukan utang. Hal ini akan menghindarkan kita dari ikhtilaf fikih.
Wallahu a’lam bissawab …