Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Baqarah yang artinya, “Telah diwajibkan pada kamu sekalian berpuasa, sebagaimana juga puasa telah diwajibkan pada orang-orang yang sebelum kamu sekalian (Kristen, Yahudi, dan lain-lain), agar kamu semua takut pada Allah”. (Al-Baqarah: 183).
Sahabat Ibnu Umar meriwayatkan hadis dari junjungan kita Nabi Muhammad saw, yang artinya: “Agama Islam didasarkan atas lima dasar. Pertama, bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah, dan bahwasanya Nabi Muhammad saw adalah utusanNya. Kedua, mengerjakan shalat. Ketiga, memberikan zakat. Keempat, mengerjakan ibadah haji. Kelima, berpuasa Ramadan”.
Sahabat Abi Hurairah meriwayatkan hadis junjungan kita Nabi Muhammad saw, yang artinya: “Berpuasalah kamu sekalian, karena melihat bulan, dan berhentilah karena terlihat bulan pula. Kalau langit gelap, maka cukupkanlah hitungan Sya’ban 30 hari”.
Dari ayat dan dua hadis tersebut kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa berpuasa itu adalah kewajiban yang pasti bagi tiap-tiap orang Islam, kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.
Hikmah Puasa
Puasa yang telah menjadi kewajiban umat Islam itu tiada sedikit mengandung keutamaan dan hikmah yang bermacam-macam, dan juga memberikan pendidikan yang sangat berharga pada kita semua. Di antaranya; pertama, memberikan istirahat pada perut (alat pencerna makanan) yang dalam masa setahun senantiasa bekerja dengan tiada hentinya. Kedua, membiasakan berlapar-laparan. Karena lapar itu dapat menumbuhkan akhlak yang baik dan budi pekerti yang mulia.
Tetapi karena di antara kita banyak orang yang salah, lalu mengganti siang jadi malam, di mana perut di isi sepadat-padatnya, dipenuhi dengan isinya, maka tambahlah satu sifat yang tidak baik, yaitu lekas marah. Sebagaian kita maklumi pada umumnya orang yang berpuasa itu lekas marah, meskipun karena perkara-perkara yang kecil-kecil. Hal ini bukan karena bawaan puasanya, tetapi karena kesalahan orang yang berpuasa, yaitu mengisi perut dengan penuh.
Ketiga, memberi perasaan kepada orang yang kaya, agar dapat merasakan betapa berat penanggungan saudara-saudaranya yang miskin, yang sering kali tidak mendapatkan makanan. Dengan menjalanakan ibadah puasa itulah mereka yang kaya-kaya dapat merasakan betapa rasa lapar yang sebenar-benarnya, dan tetapalah rasa menahan perut yang selalu kosong.
Dari sini terdapat pelajaran, bahwa kita tidak akan merasakan penderitaan orang lain, kalau kita belum mengalami sendiri. Kalau mengalami sendiri barulah tumbuh angan-angan akan meringankan penderitaan orang lain. Karena itulah maka sehabis berpuasa, lalu diiringi kewajiban berzakat fitrah.
Sekarang nikmat yang mulia itu hampir hilang, kurang diperhatikan oleh kaum muslimin terutama yang kaya. Hingga nikmat itu hampir tinggal bekas-bekasnya, sedangkan orang-orang yang memerlukan pertolongan belum dapat tertolong semua sebagaimana mestinya. Mudah-mudahan rasa suka tolong-menolong itu bertambah hari bertambah meresap dalam hati sekalian rakyat Indonesia khususnya, dan Asia Timur Raya umumnya.
Baca Juga : Manfaat Puasa untuk Kesehatan
Kelonggaran Berbuka
Sekarang sampai pada penjelasan tentang kelonggaran berbuka yang perlu diketahui oleh para pekerja berat sebagai romusa (pekerja paksa pada jajahan Belanda) dan lain-lain. Menurut keterangan Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Muin (halaman 53-44) menjelasakan yang artinya: “Dan diperkenankan berbuka puasa wajib (fardhu) pertama, karena sakit yang membahayakan, yang sampai memperbolehkan melakukan tayamum (ganti dari wudhu), dikarenakan khawatir penyakitnya tidak sembuh jika berpuasa.
Kedua, karena melakukan perjalanan jauh (musafir), yang memperbolehkan melakukan shalat qashar (meringkas shalat), bukan perjalanan dekat atau perjalanan maksiat jika dikhwatirkan membahayakan, apabila tidak, maka lebih baik berpuasa dari pada berbuka. Ketiga, karena takut membahayakan jika terus berpuasa misalnya sangat haus atau terlalu lapar, jika tak berbuka maka dalam kondisi ini diperbolehkan berbuka”.
Wallahu a’lam bissawab …