
Apakah kuli, petani, dan para pekerja berat boleh tidak puasa dengan alasan mencari nafkah? Apa konsekuensinya?
Memang menarik ketika puasa dihadapkan dengan realita mencari nafkah. Saya ingin menceritakan prolog tulisan Sayyid Muhammad pada kitab Madza fi Sya’ban. Di sana, Sayyid Muhammad mengutip dari Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaiful Maarif, diriwayatkan dari Sayyidina Anas (meski riwayatnya dhaif). Sayyidina Anas bin Malik dawuh, kalau sudah masuk Sya’ban, para umat muslim saat itu (berarti yang dimaksud adalah sahabat atau tabiin), mereka fokus pada mushaf dan membaca mushaf.
Di samping itu, mereka membayar zakat mal di bulan Sya’ban. Mengapa? karena taqwiyatan li dhuafa, sebagai supporting kekuatan finansial untuk orang-orang yang lemah. Untuk apa? Untuk menghadapi Ramadan.
Jadi kita punya PR besar, khususnya lembaga-lembaga sosial seperti LSPT: Bagaimana bisa nyangoni orang-orang yang ekonominya kurang membahagiakan. Diberi sangu sampai-sampai ketika Ramadan biar tidak fokus bekerja. Itu akan menjadi solusi bagi masalah “bagaimana menghadapi pekerja-pekerja berat di Ramadan yang tidak mampu puasa”.
Baca Juga : Tetap Produktif dan Aktif Saat Berpuasa
Kita yang kaya diakomodir zakatnya, disalurkan dengan benar. Berapa kebutuhan orang selama Ramadan dan hari raya? Katakanlah 5jt. Bisa tidak kita membebaskan pekerja kasar dari bekerja? Kamu jangan bekerja, atau bekerja boleh tapi tidak berlebihan, biar bisa puasa. Saya sangoni 5jt untuk kebutuhan puasa dan lebaran.
Lantas bagaimana konsep fikih ketika berhadapan dengan pekerja keras yang tidak mampu puasa kalau bekerja? Ada kalimat begini di Busyro Karim Syarah fi Masailit Ta’lim: Orang-orang yang bekerja keras, itu tetap wajib puasa. Sahur harus. Kalau perlu beli suplemen agar kuat.
Artinya para pekerja keras itu tetap sahur, tetap wajib niat puasa. Kemudian dia berangkat bekerja. Jika memang di tengah-tengah melaksanakan pekerjaannya itu terasa berat dan tidak kuat, ya silahkan mokel. Tapi yang jelas tidak boleh kalau sejak pagi tidak puasa. Karena tuhan jelas menyuruh kita berpuasa.
Begitulah solusi fikih bagi teman-teman yang pekerjaannya berat. Kamu sahur, niat, nanti kalau di tengah jalan tidak kuat ya silahkan mokel. Kita bisa tahu bagaimana mengukurnya. Kalau sudah mbliyur, berkeringat banyak, kita paham bagaimana posisi tidak kuat dan harus mokel itu. Ketika itu terjadi, boleh mokel. Karena memang kalau kita tidak mampu puasa ya boleh mokel.
Bagaimana konsekuensinya? Konsekuensinya adalah diqodho setelah Ramadan. Kalau sampai ketemu Ramadan lagi belum diqodho, maka kita lihat ada udzur atau tidak. Kalau ada udzur, selama setahun dia memang punya udzur yang menyebabkan tidak bisa nyaur, ya sudah nanti dikalkulasi lagi tanpa wajib fidyah. Tapi ketika ada waktu senggang untuk nyaur tapi dia tidak nyaur sampai ketemu Ramadan lagi, maka dia qodho plus fidyah. Perharinya 6,75 ons atau 5,1 ons.
Berlipat tahunnya, maka hitungannya berlipat. Jadi untuk teman-teman yang diuji kekuatan ekonomi yang kurang membahagiakan, tetaplah bekerja, tetap niat berpuasa, syukur kalau sampai magrib, kalau tidak kuat ya mokel. Kalau mokel, maka harus disaur. Masak tidak ada liburnya? Kita cari waktu. Pasti ada libur.
Wallahu a’lam bissawab …