
Terdapat satu hadis yang cukup terkenal tentang kefakiran dan kekafiran. Bunyinya adalah: Kada al-faqru an yakuna kufran. Artinya: Kefakiran itu hampir menjadi kekafiran. Hadis ini biasa dipahami bahwa kemiskinan itu seringkali menjerumuskan orang untuk menjadi kafir. Hal itu didukung oleh aneka kejadian ketika seorang muslim rela meninggalkan agamanya demi mendapat harta tertentu.
Penulis sendiri pernah mendengar informasi yang entah benar atau tidak, bahwa muslim di suatu daerah di Indonesia rela pindah agama demi mendapat beberapa kardus Indomie. Jika itu benar, berarti kefakiran atau kemiskinan itu memang bisa menyebabkan seseorang mudah menjadi kafir.
Sekilas kita akan mengangguk-angguk setuju dengan makna hadis di atas. Tapi menurut KH. Ali Mustafa Yaqub (almarhum), seorang ulama ahli hadis Indonesia yang juga alumni Pesantren Tebuireng, hadis di atas tidak dapat dijadikan dalil karena dhaif, baik dari segi sanad maupun matan. Mengapa bisa begitu? Pada buku berjudul “Hadis-hadis Bermasalah”, beliau mengatakan bahwa logika yang terdapat dalam hadis tersebut bertentangan dengan banyak hal, yaitu:
Pertama, bertentangan dengan kaidah bahasa Arab karena terdapat kata kada dan an yang digunakan bersamaan. Dalam kaidah bahasa Arab, hal itu tidak pernah digunakan.
Kedua, bertentangan dengan hadis lain yang sahih, yakni hadis yang menyatakan bahwa orang miskin memiliki nilai lebih dibandingkan orang kaya meskipun keduanya masuk surga. Hadis tentang kefakiran tadi justru memuat pemahaman bahwa orang miskin lebih buruk dari orang kaya, padahal seharusnya lebih baik.
Ketiga, bertentangan dengan sejarah bahwa Nabi Muhammad SAW senantiasa mencintai dan mengajak orang lain untuk mencintai orang fakir miskin. Artinya, orang fakir miskin tidak dipandang buruk oleh Nabi, melainkan dipandang sebagai orang yang harus dicintai.
Keempat, bertentangan dengan takdir Allah karena dalam kehidupan ini, pasti terdapat orang yang miskin dan kaya. Jika orang miskin dipandang sangat buruk hingga dekat dengan kekafiran, maka hadis itu menyuruh semua orang untuk kaya. Itu adalah hal yang tidak mungkin karena bertentangan dengan takdir Allah.
Pandangan KH. Ali Mustafa Yaqub di atas dapat kita pahami sebagai pengingat bagi kita semua untuk tidak memandang buruk kefakiran atau kemiskinan, sekaligus tidak memandang buruk orang fakir atau orang miskin. Kita boleh tidak setuju dengan pernyataan bahwa hadis tersebut dhaif, namun kita pasti setuju bahwa memaksa semua orang untuk kaya adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Dengan itu, kita harus mau untuk menerima kenyataan bahwa kemiskinan itu tidak selalu buruk. Sebab, kaya dan miskin sesungguhnya adalah takdir Allah. Jangan sampai kita menjadikan hadis di atas sebagai alasan untuk tidak mau bersedekah karena takut miskin.
Takut miskin adalah mental yang buruk. Takut miskin melahirkan sifat pelit dan kikir. Bahkan takut miskin bisa menjadi penghinaan terhadap Allah karena kita tidak yakin bahwa rezeki dan urusan kaya-miskin itu telah diatur dan ditakdirkan-Nya. Hadis kada al-faqru an yakuna kufran tidak boleh kita jadikan alasan untuk takut miskin.
Sebaliknya, mari kita jadikan hadis itu sebagai penyemangat untuk menolong orang-orang yang kurang mampu agar tidak terjadi lagi perilaku “menjual agama demi makanan” karena tidak makan berhari-hari. Menolong fakir-miskin itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah. Beliau tidak pernah takut miskin, tapi beliau mengulurkan tangannya kepada para fakir-miskin.
Kita tidak mengharapkan orang-orang Islam menjadi miskin. Kita juga tidak membenarkan orang-orang Islam yang malas dan memilih menadahkan tangan meminta-minta daripada bekerja sendiri mencari uang. Tapi kita juga tidak membenci kemiskinan dan orang-orang miskin, khususnya orang-orang Islam yang miskin.
Mari kita bedakan antara tidak mendukung kemiskinan dengan membenci kemiskinan. Sebab, dalam realita kehidupan ini, ada orang miskin yang masih mau bekerja dengan jujur dan sangat murah hati menolong orang lain. Ada pula orang kaya yang jahat, egois, dan melakukan hal-hal kotor demi meraih kekayaannya. Apakah kita masih membenci kemiskinan dan menyukai kekayaan jika realitanya seperti itu?
Wallahu a’lam bissawab …