
Al-Qur’an memberikan panduan tentang sedekah yang disembunyikan dan dipublikasi pada surah Al-Baqarah ayat 271: إِن تُبْدُوا۟ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ (jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu baik. dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikan kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu).
Melihat ayat tersebut, maka sedekah secara sembunyi-sembunyi atau diublikasi sama-sama baiknya. Tetapi, yang disembunyikan nilai lebih.
Di antara kelebihannya adalah keamanan. Ibarat orang tandur, benihnya dimasukkan ke dalam tanah, ada jaminan maka aman dari predator seperti ayam ataupun burung. Selain itu, ia juga akan bertumbuh dengan baik, yang tumbuh ke atas tanah bukan lagi benih, tetapi berupa batang dan dedaunannya, dan potensi dari dimakan predator sangat kecil sekali. Aman dalam bahasa teologi adalah ikhlas, langsung kepada Tuhan.
Apakah benih yang ditandur di atas tanah tidak bisa tumbuh? Tetap bisa. Tetapi keamanannya penuh resiko, bisa jadi dimakan oleh predator seperti burung atau ayam yang lewat. Dalam sedekah, predator itu berupa riya dan sombong, mempersembahkan amal sedekah bukan untuk Allah Swt, tetapi kepada yang lainnya.
Artinya, predator punya potensi memakan benih yang tidak ditandur dibawah tanah. Tetapi, jika ditanam dibawah, resiko keamanannya terjamin dan potensi tumbuhnya jauh lebih baik.
Kapan publikasi sedekah dilakukan?
Hal itu tergantung kecerdasan masing-masing individu karena menyangkut dengan etika pribadi diri. yang bersedekah sebaiknya tidak melukakan publikasi atas sedekahnya. Yang lebih etis melakukan publikasi sedekah adalah penyalur atau pennerima sedekah. Penyalur sedekah mempunyai hak untuk mempublikasikan sedekah dari seorang dermawan untuk kebutuhan dakwahnya.
Sebagai contoh, ada seorang penjual klanting yang bersedekah satu juta rupiah. Sedekah tersebut tidak etis jika penjual klantingnya yang mempublikasikannya. Lebih pantas penerima atau penyalurnya yang melakukan publikasi sedekah tersebut karena mereka mempunyai hak untuk melakukan itu, salah satunya untuk keperluan dakwah. Misalnya ia mengatakan “penjual klanting saja mau dan mampu bersedekah satu juta, masa kamu yang punya kebun kurang dari itu?”.
Hal-hal seperti ini menjadi urusan penerima atau penyalur sedekah. Jadi, kapan sedekah itu disembunyikan dan dipublikasi tergantung pada kecerdasan pemberi sedekah masing-masing. Alangkah baiknya, bagi pribadi penderma adalah sirron (merahasiakannya).
Ayat 271 pada surat Al-Baqarah di atas juga mempunyai beberapa arti, di antaranya ialah menata pribadi seseorang terkait hubungannya dengan Tuhan. Lalu sasaran operasional, sedekah harus diberikan kepada yang benar-benar berhak, yaitu kepada fakir miskin.
Dalam bersedekah dibutuhkan keceradasan dalam pendistribusiannya agar sedekahnya tidak salah sasaran. Sedekahnya dirahasiakan, tetapi sasarannya tepat akurat. Sedekah adalah perbuatan yang bagus, tetapi karena sasarannya tidak akurat bisa saja mengurangi kualitas nilainya.
Baca Juga : Setiap Sedekah Adalah Jariyah
Belum mau bersedekah karena merasa belum bisa ikhlas?
Kapan seseorang yakin bahwa ia bisa ikhlas? Sebenarnya belum mau bersedekah karena merasa belum ikhlas hanyalah alasan klasik yang mengada-ada saja. Sama saja dengan orang yang mengatakan bahwa dia tidak mau sholat karena merasa belum bisa khusyu’. Solusi dari problem enggan bersedekah karena merasa beelum ikhlas adalah dengan diikhlas-ikhlaskan. Tidak mau sholat karena belum khusyu solusinya adalah dikhusyu’-khusyukan.
Tidak mau bersedekah karena belum ikhlas adalah kata-kata yang seolah-olah bersikap men-sufi (tasawuf), tetapi sesungguhnya itu adalah kadzab (pendusta). Pendustaan yang diselimuti dengan rasa sufi. Kapan seseorang bisa mengetahui kalau dia ikhlas? Atau, jangan-jangan waktu dia ikhlas dia sedang tidak punya apa-apa untuk disedekahkan.
Enggan bersedekah karena merasa belum ikhlas adalah perkataan orang kadzab, kata-kata munafik, sangat munafik. Jika ada orang berkata: “Mending seratus ribu ikhlas daripada sejuta tapi tidak ikhlas”, maka panitia penyalur sedekah boleh untuk berkata “Tidak ikhlas tak masalah, mending satu juta saja daripada seratus ribu”.
Ada kisah seseorang yang mengelilingi ka’bah tanpa benang sehelaipun, lantas orang tersebut ditanya “Kenapa kamu tawaf di baitullah dengan telanjang?”, ia menjawab “Baju yang saya pakai kotor untuk maksiat, tidak pantas aku memakainyauntuk sowan kepada Allah”. “Lalu kenapa tidak hatimu sekalian ditanggalkan, karena yang lebih kotor adalah hatimu?”
Seseungguhnya setiap saat seseorang itu selalu berlatih ikhlas. Dalam dunia sufi, pemahaman tentang ikhlas jika diumpamakan dengan tamsil yang jorok seperti orang yang qodho hajat. Kotoran dalam perut memang ada gunanya, tetapi tentu orang tidak akan mau menyimpannya lama-lama karena nanti beresiko menimbulkan penyakit. Dan saat mengeluarkannya pun kita tidak pernah bertanya kemana larinya kotoran tersebut.
Ikhlas bukan dengan perkataan. Al-khulus, seperti dalam surat al-Ikhlas adalah menerima Allah sebagai ahad (Yang Maha Esa). Meskipun ada rumusnya, ikhlas adalah suatu hal tidak mungkin terjangkau oleh hati manusia. Rumus-rumus ikhlas yang ada berangkat dari pengalaman keagamaan para sufi, dan rumus tersebut tak tercerna. Meskipun begitu, ikhlas tetaplah harus diupayakan, karena bagus sebagai sarana pengarahan kepada Allah.
Definisi Ikhlas adalah Tarku al-ikhlas fiy al-Ikhlas, semacam tidak merasa ikhlas sama sekali, tetapi dalam hatinya ikhlas. Kalau dibandingkan dengan kehilangan lalu merasa tidak kehilangan berbeda. Ikhlas lebih kepada kehilangan tetapi tidak merasa kehilangan dan niatnya karena Allah.
Wallahu a’lam bissawab …