Sejarah orang Yahudi memang sarat dengan perpindahan dan penyebaran di berbagai negara sepanjang waktu. Pada awalnya, orang Yahudi tersebar di berbagai negara di Eropa. Namun, kemudian muncul klaim bahwa tanah yang dijanjikan bagi mereka adalah Palestina.
Menariknya, sebagian dari mereka tidak mempercayai Tuhan, tetapi mengemukakan klaim memiliki hak atas tanah yang dijanjikan oleh Tuhan. Perdebatan seputar hak tanah ini tetap menjadi isu yang kompleks dan kontroversial sampai saat ini.
Dalam situasi kesulitan pangan, terdapat klaim bahwa orang Yahudi memiliki kecenderungan untuk menimbun dan menjual dengan harga tinggi, yang dikatakan sebagai bagian dari sifat alamiah mereka. Di beberapa negara, kelompok ini mungkin juga tidak dikehendaki.
Pada saat terjadinya Deklarasi Balfour pada tahun 1917 selama Perang Dunia I, pemerintah Inggris mengumumkan dukungan terhadap pendirian “rumah nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina, yang saat itu merupakan bagian dari wilayah Turki Ottoman dengan populasi Yahudi minoritas. Deklarasi ini menjadi salah satu pemicu ketegangan dan konflik yang berkelanjutan hingga saat ini.
Selanjutnya, ada pandangan bahwa banyak lembaga dunia dan sejenisnya dianggap sebagai hasil karya orang Yahudi, yang memicu konflik saat ini. Dalam pandangan tersebut, lembaga-lembaga tersebut mungkin dianggap tidak responsif atau tidak berbuat banyak terkait situasi konflik yang tengah terjadi, seolah-olah mereka tuli dan tidak berdaya.
Saya membaca sebuah headline berita bahwa ada anggota Hamas yang melarikan diri dari rumah sakit, dan rumah sakit itu ternyata di bom oleh Israel dengan dalih menjadi tempat persembunyian Hamas. Meskipun situasi berada dalam konteks perang, hukum internasional menegaskan perlunya melindungi fasilitas kesehatan dan masyarakat sipil.
Serangan terhadap rumah sakit atau fasilitas medis, terutama jika dilakukan tanpa membedakan antara target militer dan sipil, dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum perang. Dalam hal ini, Israel dikritik karena serangan tersebut, yang mengakibatkan korban, terutama di antara anak-anak dan masyarakat sipil. Dampak kemanusiaan yang parah seperti ini dapat dianggap sebagai tragedi dan melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Selain itu, kontroversi seputar tindakan serupa yang pernah dilakukan di Irak juga muncul, mereka diserbu dan diserang oleh Amerika atas tuduhan terhadap senjata pemusnah massal yang tidak didukung oleh bukti yang valid. Dalam situasi semacam ini, penekanan pada kepatuhan terhadap hukum internasional dan perlindungan hak asasi manusia penting untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan dalam konflik bersenjata.
Baca Juga : Kewajiban Mendukung Perjuangan Palestina
Israel menyebut sejumlah individu sebagai teroris, namun mereka sendiri terlibat dalam tindakan serupa. Penting bagi lembaga-lembaga dunia untuk berperan aktif dalam mengawasi dan menyelesaikan konflik semacam ini. Suara masyarakat global, terutama dari pimpinan negara-negara Eropa dan Amerika, memiliki potensi untuk memengaruhi penyelesaian konflik.
Meskipun demikian, tantangan mungkin muncul jika para pemimpin tersebut tidak bersedia mendengarkan. Solusi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat ke jalur normal dapat mencakup larangan terhadap penjajahan oleh Israel terhadap Palestina. Ini dapat menjadi langkah penting menuju stabilitas, memungkinkan kegiatan-kegiatan seperti pendidikan untuk berjalan lebih lancar.
Saat ini, ada usaha untuk mendorong penduduk Palestina untuk masuk ke Mesir, meskipun Mesir sendiri tidak sepenuhnya mendukung langkah tersebut. Pemindahan masalah ini ke negara lain dapat memiliki dampak besar, dan Israel mungkin memiliki kepentingan di baliknya, terutama terkait dengan sumber daya energi di bawah Jalur Gaza yang diduga kaya akan cadangan gas. Persoalan ini, tanpa mempertimbangkan kemanusiaan, dapat memicu konfrontasi yang merugikan banyak pihak.
Peran Indonesia, khususnya melalui upaya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, telah berkomitmen dalam melakukan diplomasi internasional untuk mengatasi konflik di Israel dan Palestina. Upaya diplomatik tersebut termasuk lobi untuk mendukung gencatan senjata secara permanen dan memajukan isu keadilan melalui pengadilan internasional dengan menyoroti Benjamin Netanyahu sebagai penjahat perang.
Upaya diplomasi semacam ini memiliki peran penting dalam menyuarakan keprihatinan dan menekankan pentingnya menghormati aturan hukum internasional dalam konteks konflik. Pengakuan bahwa ada aturan dalam perang dan pelanggaran serius dapat dianggap sebagai genosida adalah langkah yang kritis menuju perdamaian dan keadilan.
Dalam menghadapi konflik yang rumit di Israel dan Palestina, kita dapat mengambil beberapa langkah yang mencakup dimensi spiritual dan ekonomi. Secara spiritual kita mendoakan keselamatan dan keadilan bagi masyarakat yang tertindas di Palestina. Keyakinan bahwa doa dari masyarakat yang bersatu memiliki kekuatan khusus dalam membantu mereka yang mengalami penderitaan dapat menjadi sumber kekuatan dan harapan. Lalu secara ekonomi kita melakukan boikot terhadap produk-produk Israel ataupun yang terafiliasi dengan Israel.
Langkah ekonomi untuk memboikot produk yang terafiliasi atau resmi diproduksi oleh Israel dapat menjadi bentuk protes efektif. Boikot ini dapat memberikan tekanan ekonomi yang signifikan, karena perang membutuhkan sumber daya finansial yang besar. Melalui penolakan terhadap produk Israel, kita dapat berpartisipasi dalam upaya menekan dan merespon secara nyata terhadap kebijakan yang dianggap merugikan.
Isu tentang Israel sebagai penjajah harus terus digulirkan untuk menjaga tekanan dari masyarakat dunia. Dengan mempertahankan kesadaran global tentang konflik ini, diharapkan tindakan penekanan terhadap Israel dapat terus dilakukan. Upaya untuk mencegah kemungkinan ketidakpedulian terhadap tindakan yang dianggap melanggar hak asasi manusia bisa dianggap sebagai langkah yang signifikan.
Hal yang perlu ditekankan adalah pentingnya tetap konsisten dalam menyuarakan keadilan dan perdamaian untuk palestina, terutama untuk melindungi mereka yang paling rentan seperti anak-anak dan wanita.
Wallahu a’lam bissawab ….