Miskin Bermartabat dan Miskin Tak Bermartabat

Ad
Miskin Bermartabat dan Miskin Tak Bermartabat

Wa annahụ huwa agnā wa aqnā

Dan bahwasanya Dia yang memberikan kekayaan dan memberikan kecukupan.” (Q.S. 53:48).

Dari sekian mufasir ada yang mengatakan: “dialah yang mengkayakan dan memiskinkan.” Dalam arti, itu menunjukkan kebebasan Tuhan untuk melakukan segala kehendak-Nya, Tuhan bisa mengkayakan dan Tuhan juga bisa memiskinkan. Tentu saja kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa Tuhan telah mendzalimi makhluk-Nya dengan menjadikannya miskin. Sebab kehendak Tuhan berada di luar jangkauan pengetahuan kita.

Namun dari sekian kehendak Tuhan, nyata sekali bahwasanya kita diperintahkan Tuhan untuk berusaha seoptimal mungkin menjadi orang yang mampu dalam jihad dengan harta dan jiwa. Dalam Al-Qur’an seringkali memunculkan: wa jāhadụ bi`amwālihim wa anfusihim, yaitu berjihad dengan harta dan jiwa. Dari sini semestinya seorang mukmin haruslah kaya dengan kekayaan yang tidak untuk ditumpuk dan ditimbun melainkan untuk wajahadu (jihad) dengan cara yang benar sesuai dengan kehendak Allah. 

Harta dan kekayaan menjadi begitu penting  bagi orang Islam ketika dihadapkan pada kesempurnaannya dalam ber-Islam. Bagaimana orang bisa mengerjakan rukun Islam dengan sempurna kalau tidak kaya? Apa gunanya perintah zakat kalau tidak ada kelebihan harta? Apa gunanya perintah untuk menunaikan haji ke Baitullah kalau tidak mempunyai ongkos dan bekal di perjalanan?

Bukankah Tuhan telah memerintahkan untuk mengeksplorasi segala fasilitas bumi untuk kebutuhan manusia?: anfiqụ min ṭayyibāti mā kasabtum wa mimmā akhrajnā lakum minal-arḍ. Hal itu menunjukkan bahwa kesempurnaan menjalankan syariat Islam juga harus didukung dengan kemampuannya dalam harta benda.

Hal yang lebih mendasar lagi, tujuan utama manusia diciptakan Tuhan adalah untuk memanfaatkan alam ini secara optimal dengan menggambarkan Nabi Adam melalui skenario sedemikian rupa lalu ia diturunkan ke bumi untuk mengatur pengelolaan bumi: Innī jā‘ilun fil ardhi khalīfah.

Lalu Nabi Adam dibekali peranti berupa pengetahuan untuk mengelolanya: Wa ‘allama ādamal-asmā`a kullahā. Malaikat yang tidak mengerti tujuan penciptaan manusia bertanya: “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana? Padahal, kami bertasbih memuji dan menyucikan nama-Mu.”  

Namun Tuhan tidak menggubris pertanyaan malaikat tersebut, Dia hanya menjawab: “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui” Artinya Tuhan tidak menghiraukan komplain malaikat tersebut karena mereka salah sasaran. Malaikat menyanggah penciptaan manusia berdasarkan persepsinya sendiri, padahal manusia adalah ciptaan yang berbeda dari mereka. Malaikat tidak butuh makan sedangkan manusia butuh makan.

Malaikat juga mengatakan: “Tuhan apakah engkau tidak puas telah kami sembah, kami bertasbih, memuji dan menyucikan nama-Mu” pertanyaan dengan nada keluhan ini pun salah sasaran karena manusia seringkali tidak menggunakan tasbih dan tahmid untuk mengelola alam.

Dalam mengebor minyak bumi, menggali sumur, membuat rumah, menyuburkan lahan pertanian, dsb, manusia tidak menggunakan cara bertasbih atau memperbanyak wiridan. Makanya Tuhan tidak mau ngeladeni malaikat yang tidak paham-paham itu. Sehingga dari tujuan awal saja, Nabi Adam memang sudah diciptakan untuk kaya. 

Seperti halnya Hadraturrasul Muhammad Saw,yang juga kaya raya. Diceritakan bahwa setiap bulan Dzulhijjah Nabi berkurban 100 unta untuk dibagi-bagikan ke warga Arab. Jika di-kurs-kan pada zaman sekarang, harga satu unta kira-kira 30 juta rupiah, maka dikali 100 unta totalnya bisa 3 milyar rupiah.

Hal itu menunjukkan Nabi Muhammad bukanlah orang miskin, Ia adalah orang yang kaya raya akan tetapi kekayaannya selalu habis tak tersisa. Hadraturrasul kaya raya tetapi tidak menikmati kekayaannya di dunia. Maka pantaslah Nabi berdoa: “Allahumma ahyini miskinan wa amitni miskinan wahsyurni fi zumratin al-masakiin.”

Hadraturrasul miskin oleh karena ia tidak tergoda dengan dunia, tidak menempatkan dunia di hatinya sebab yang menjadi tujuannya hanyalah Allah Swt. Seperti orang yang asik becumbu dengan kekasihnya menjadi kenyang meskipun tidak makan. Dia tidak disibukkan dengan hal-hal lain selain dari pada kekasihnya. 

Filosofi dari doa nabi yang meminta miskin tersebut adalah perasaan hati menjadi tenang  apabila tidak ada beban dunia, miskin yang betul-betul tak punya apa-apa. Miskin dalam doa nabi itu adalah dimensi ilahiyah, ada yang menyebutnya dengan istilah zuhud.

Sedangkan realitanya nabi kendaraannya bagus, al-Qashwa adalah unta yang terbagus dan termahal, tidak ada unta yang lebih bagus dari unta Rasulullah itu. Pakaian Rasulullah juga banyak yang bagus, anggun, bersih, dan juga banyak yang biasa. Tetapi Rasulullah menyikapi semua itu dengan wajar.

Dua Dimensi Kemiskinan

Doa nabi: “Allahumma ahyini miskinan wa amitni miskinan wahsyurni fi zumratin al-masakiin.” Tidak bisa dipisah-pisah. Sebab orang yang paling ringan masuk surga kelak adalah orang yang miskin. Maka perlu dijabarkan di sini bahwa ada dua dimensi kemiskinan, pertama orang miskin karena hartanya habis dijariyahkan (disedekahkan). Kedua orang miskin karena sama sekali tidak punya harta benda.

Pada dimensi yang pertama inilah Nabi Muhammad Saw bisa dikatakan miskin karena akhirnya memang nabi tidak punya apa-apa. Dalam perjalannya ketika nabi kaya, kekayaannya selalu habis untuk disedekahkan. Seandainya Nabi mau mengumpulkan dan menimbun hartanya tentu saja sudah banyak tak terhitung, berapa banyak hadiah dari raja-raja, berupa harta benda, budak, parfum, perawatan medis, dll, namun Nabi selalu menghabiskan hartanya untuk disedekahkan, untuk biaya perang, untuk memerdekakan budak, dll. 

Sahabat-sahabat nabi juga total dalam menginfakkan harta dan jiwanya di jalan Allah. Di antaranya Abu Dzar al-Ghifari yang begitu mulus dalam beribadah kepada Allah, sampai nabi mengatakan: “Abu Dzar itu akan hidup sendirian, mati sendirian”.

Sahabat nabi yang lain Abdurrahman ibnu Auf yang selalu menangis karena mendengar akan masuk surga dengan cara merangkak, akhirnya ia menyedekahkan semua hartanya untuk perjuangan Islam. Begitupun dengan Sayyidina Utsman sampai mendapat pujian yang tinggi dari Nabi dan dijamin masuk surga karena membiayai puluhan ribu serdadu perang Tabuk saat melawan Romawi.

Pada dimensi yang kedua al-Quran menyebutkan: wadhuribat ‘alaihimudz-dzillatu wal maskanah. Mereka ditimpa kenistaan dan kemiskinan (QS. 2:61).  Ada kaitan antara dzillah, kerendahan martabat seseorang dengan maskanah, kemiskinan. Ada orang miskin yang ngemis-ngemis itu memang dhillah (kenistaan). Mengemis itu bukan hanya miskin tapi bentuk kerakusan dan kebodohan.

Makanya dia tidak punya harga diri, merendahkan dirinya sendiri di jalan-jalan, apalagi mengemis sampai menyakiti diri seperti anak-anak muda yang menyemprot tubuhnya dengan cat untuk mendapatkan uang. Itu merusak generasi kita yang bagus-bagus. 

Maka betul dikatakan kefakiran lebih dekat dengan kekufuran, dan ini yang selalu menjadi alasan dari setiap tindak kejahatan. Menjadi mengemis alasannya kemiskinan, menjadi pelacur alasannya kemiskinan, menjadi pencuri alasannya kemiskinan. Padahal di sisi lain banyak orang yang miskin tetapi tidak melacur, tidak mencuri, dan tidak mengemis, karena apa? karena keimanan.

Banyak orang masih menjaga keimanan dan harga dirinya meskipun dengan cara menjual mainan, menjual balon dan gulali di sekolah anak-anak, menjual kacang di bis-bis kota. Sekarang mana yang lebih  punya harga diri antara orang yang jualan kacang dengan orang yang mengamen? Jelas orang yang jualan kacang. Kalau dilihat dari pendapatannya lebih besar yang mana?  Jelas orang yang ngamen. Apakah yang menjual kacang tahu kalau hasilnya lebih banyak yang ngamen? Penjual kacang tahu, tapi dia tidak mau melakukan itu kerena ada keimanan dalam dirinya.

Jadi kemiskinan ada dimensinya, karena wahyu itu bisa menyentuh kelas khusus maka yang kelas umum jangan mencoba sekali-kali masuk ke kelas khusus, artinya  tidak boleh kita meminta kemiskinan. Cukup bagi kita berpedoman pada kefakiran itu dekat dengan kekufuran, itu saja yang kita pakai. Karena rata-rata imannya umat ini lemah. Buktinya, kita tidak pernah aman meletakkan sesuatu seperti dompet atau HP bahkan di masjid  sekalipun. 

Jadi itulah sebabnya nabi menganjurkan umatnya menjadi kaya sebab selain banyak iman umat ini lemah juga banyak perintah syariat bicara demikian. Kekayaan yang tidak berhenti di kaya saja, tetapi diperuntukkan sebagai sarana ibadah kepada Tuhan, seperti membangun masjid, melaksanakan ibadah haji, bersedekah, dll. Menjadi miskin memang tidak dilarang tetapi apakah imannya siap menanggungnya?

Orang fakir yang sabar dan orang kaya yang bersyukur adalah dua golongan yang sama-sama menboking surga. Yang satu membeli surga dengan hartanya dan satu lagi membeli surga dengan kesabarannya. Mana yang lebih baik? Yang lebih utama adalah yang memboking surga tanpa uang.

Wallahu a’lam bissawab …

Ad

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *