Kupas Tuntas Amil Zakat

Ad
Kupas Tuntas Amil Zakat

Momentum bulan suci Ramadhan selalu identik dengan zakat fitrah. Di kalangan masyarakat Indonesia, zakat fitrah biasanya dikumpulkan oleh sekelompok panitia yang terorganisir di masjid-masjid. Banyak dari kita yang biasa menyebut mereka sebagai Amil Zakat. Apakah sebutan ini sudah tepat? Bagaimana sejatinya aturan tentang Amil Zakat menurut Islam? Mari kita bahas!

Definisi dan Syarat Amil Zakat

Amil zakat dalam istilah fikih dapat didefinisikan sebagai orang atau sekelompok orang yang bertugas mengelola zakat, mulai dari mengambil zakat dari para muzaki hingga mendistribusikannya kepada para mustahik. Definisi seperti itu terkadang disederhanakan, sehingga Amil Zakat disebut sebagai pengelola zakat. Sebab, Amil Zakat secara umum memang bertugas mengelola zakat.

Perlu diingat bahwa Amil Zakat berlaku untuk semua jenis zakat, tidak hanya dalam kaitannya dengan zakat fitrah saja. Terlepas dari hal itu, dalam aturan fikih, terdapat lima syarat bagi orang yang ingin menjadi Amil Zakat. Syarat tersebut adalah:

  1. Muslim
  2. Baligh
  3. Berakal
  4. Mengerti hukum zakat (sesuai kebutuhan)
  5. Membidangi pekerjaan (mampu melaksanakan tugas)

Melihat lima syarat di atas, jenis kelamin tampak tidak menjadi acuan. Artinya, perempuan dapat menjadi Amil Zakat dan menjadi penting dilibatkan untuk pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan sesama wanita, demi menghindari terjadinya fitnah atau hal yang tidak diinginkan.

Orang yang bisa menjadi Amil Zakat adalah muslim, baligh, berakal, mengerti hukum zakat (sesuai dengan yang dibutuhkan), serta membidangi pekerjaannya. Dimungkinkan mempekerjakan perempuan dalam sebagian urusan zakat, terutama yang berkaitan dengan wanita, dengan tetap menjaga syarat-syarat syar’i.

Apakah Amil Zakat Harus Memiliki SK?

Secara mendasar, keberadaan Amil Zakat merupakan kewajiban pemimpin, sebagaimana dicontohkan Rasulullah dan para khalifah. Artinya, pemerintah wajib memastikan bahwa di daerahnya terdapat orang yang bertugas mengelola zakat. Hal ini lantas berdampak pada legalitas Amil Zakat.

Dalam khazanah fikih Islam, banyak pendapat yang menyaratkan Amil Zakat diangkat oleh pemerintah atau mendapatkan izin dari pemerintah. Akibatnya banyak yang mengatakan bahwa panitia zakat yang dibentuk oleh takmir masjid bukan termasuk Amil Zakat, tetapi hanya sebagai wakil muzaki dalam menyalurkan zakat.

Apalagi jika kita melihat tugas Amil Zakat, yakni mengambil dan menyalurkan zakat, kebanyakan panitia zakat hanya menyalurkan zakat saja, tidak berwenang menarik zakat dari rumah ke rumah sebagaimana tugas Amil Zakat pada pemerintahan Islam.

Jika mengacu pada syarat ini, yakni diangkat dan mendapat izin pemerintah, maka hendaknya takmir masjid bersinergi dengan pimpinan pemerintahan yang setingkat dengan level masjid agar Amil Zakat masjid tersebut mendapat legitimasi pemerintah, walaupun hanya tingkat desa.

Ini menandakan bahwa panitia zakat yang tidak berkoordinasi dengan pemerintah tidak dapat dinyatakan sebagai Amil Zakat dan berdampak pada ketiadaan hak untuk mendapat bagian dari zakat yang dikelola atas nama Amil Zakat.

Baca Juga : Investasi Dana Zakat

Apa yang Didapatkan oleh Amil Zakat?

Amil Zakat berhak mendapatkan zakat sebagai kompensasi atas kerja yang mereka lakukan dalam mengelola zakat. Oleh karena itu, orang kaya pun boleh menerima zakat jika dia adalah Amil Zakat. Terkait kadar atau upah yang diberikan, ulama berbeda pendapat. Setidaknya terdapat dua pendapat terkait hal itu.

Pendapat pertama mengatakan bahwa kadarnya disesuaikan dengan pekerjaan atau jabatan yang diemban, sekiranya dengan upah tersebut dia dapat hidup layak. Ukuran hidup layak memang sangat relatif.

Karena itu, dalam pendapat pertama ini, ditentukan jumlah maksimal yang boleh didapatkan Amil, yakni tidak melebihi setengah dari dana zakat yang terkumpul. Adapun pendapat kedua mengatakan bahwa upah maksimal untuk Amil Zakat adalah satu per delapan dari total dana zakat yang terkumpul.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, pemerintah melalui regulasinya cenderung mengikuti pendapat yang kedua, yakni membatasi upah Amil Zakat sebesar satu per delapan dari dana zakat yang terkumpul. Jika diprosentase, angkanya adalah 12,5% dari harta zakat yang dikumpulkan.

Jumlah tersebut sudah sangat besar dan dirasa sesuai untuk didapatkan oleh Amil Zakat selaku petugas dalam mengelola, mendistribusikan, mengurusi, dan mencari dana zakat untuk ditasarufkan kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya, baik melalui pendistribusian yang bersifat konsumtif maupun produktif (pemberdayaan).

Wallahu a’lam bissawab …

Ad

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *