Penyair Inggris, James Henry Leigh Hunt (1784-1859), menulis puisi tentang seorang sufi: Abou Ben Adhem. Suatu malam Abou Ben Adhem terbangun dari suatu mimpi indah. Ia melihat bulan purnama di kamarnya, yang kemilau seperti lili yang mekar, dan seorang malaikat menulis di dalam kitab emas. Kedamaian jiwa membuat Abou berani bertanya kepada sosok yang ada di kamarnya, “Apa yang sedang Anda tulis?”
Sosok yang terang itu mengangkat kepalanya dan dengan wajah manis ia menjawab, “Nama-nama orang yang mencintai Tuhan.” “Adakah namaku di situ?” tanya Abou. “Tidak ada,” jawab sang malaikat. Abou berkata dengan ceria, tetapi dengan suara lebih rendah, “Kalau begitu, mohon supaya namaku ditulis sebagai orang yang mencintai sesama manusia.”
Malaikat menulis dan lalu menghilang. Pada malam berikutnya, malaikat itu datang kembali dengan cahaya yang menyilaukan dan memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Tidak disangka, nama Abou tertera di atas semua nama.
Tuhan berkata kepada salah seorang hamba-Nya, “Aku lapar, tetapi kamu tidak mau memberi makan kepada-Ku.” Tuhan berkata kepada yang lain, ”Aku haus, tetapi kamu tidak memberi-Ku minum.” Tuhan berkata kepada yang lain, “Aku sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.” Tentu hamba-hamba-Nya itu menyangkal. Tuhan menjawab, “Sesungguhnya saat si Fulan lapar, jika kamu memberi dia makan, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Saat si Fulan sakit, kalau kamu menjenguknya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Saat si Fulan haus, jika kamu memberinya minum, maka kamu akan menemukan Aku bersamanya”.
Banyak ayat al-Quran dan hadis yang memberi pesan senapas dengan pesan kisah Abou Ben Adhem di atas. Surah al-Ma’un menegaskan bahwa ibadah shalat kita tidak bermakna secara utuh kalau kita tak memperhatikan kaum miskin dan anak yatim.
Khutbah Haji Wada Rasulullah penuh dengan pesan untuk menghargai manusia. Ajaran Islam pada awalnya menghormati hak asasi manusia dan itu ditunjukkan secara nyata oleh Rasulullah dan para sahabat. Khalifah Abu Bakar memberi sanksi kepada mereka yang tidak mau membayar zakat. Khalifah Umar selalu berkeliling dalam penyamaran untuk mencari rakyatnya yang hidup dalam kemiskinan untuk kemudian dibantunya.
Kritik Muhammad Abduh
Sekembali dari lawatan ke Eropa pada awal abad ke-20, Syekh Muhammad Abduh menerima pertanyaan: apa kesan yang timbul dalam dirinya? Jawabannya: di Eropa dia tidak melihat orang Islam, tetapi dia melihat etika Islam di dalam kehidupan masyarakat, di Mesir dia melihat banyak orang Islam, tetapi tidak melihat etika Islam di dalam kehidupan masyarakat. Kini seabad telah berlalu, kondisi masyarakat di negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam tak jauh beranjak dari kritik Syekh Muhammad Abduh itu.
Secara ritual, kehidupan Islam di Indonesia selama 30-40 tahun terakhir berkembang pesat. Jumlah Muslim yang shalat meningkat, juga yang berhaji. Banyak sekali Muslimah berjilbab yang maju dalam karier. Kalangan santri banyak menjadi ilmuwan mumpuni dalam berbagai bidang ilmu, termasuk sains dan teknologi. Tentu kita mensyukuri perkembangan positif itu. Namun, kita pun perlu menyadari bahwa kesalehan sosial dan kesalehan profesional umat Islam tidak berbanding lurus dengan kesalehan ritualnya.
Mencintai sesama berarti menghargai kehidupan mereka, baik secara fisik maupun batin. Menurut UUD, negara menjamin hak dasar rakyat, tetapi kita paham bahwa kemampuan pemerintah terbatas. Hak untuk mendapat pelayanan kesehatan sudah dimulai pada 2014, yang tentu masih memerlukan banyak perbaikan. Penderita kekurangan gizi masih tinggi, sekitar 36% dari jumlah penduduk.
Zakat dan pajak
Islam mewajibkan zakat antara lain sebagai cara untuk membantu kaum miskin. Dalam sepuluh tahun terakhir, pengumpulan dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) jumlahnya meningkat sekitar delapan kali. Jumlahnya sekitar Rp 5 triliun. Dibanding potensi yang ada, angka itu masih rendah. Saya memperkirakan potensi itu dari pendapatan domestik bruto (PDB) sebesar Rp 10.000 triliun, dikalikan rasio 20% lalu dikalikan beban zakat 2,5%, sama dengan Rp 50 triliun. Berarti, ZIS yang terkumpul baru 10% dari potensi.
Kesimpulannya, kesadaran membayar pajak dengan benar belum tertanam pada diri manusia Indonesia. Kesadaran membayar zakat dalam diri Muslimin Indonesia juga belum seperti seharusnya. Membayar zakat tidak akan membuat Muslim berkurang kekayaannya, bahkan bertambah. Pengalaman banyak orang bisa menjadi teladan.