KH. Wahid Hasyim, Pelopor Modernisasi Pendidikan Pesantren

Ad
KH. Wahid Hasyim, Pelopor Modernisasi Pendidikan Pesantren

Malam itu, 1 Juni 1914, dari sebuah rumah berjarak sekitar 10 meter dari masjid Tebuireng melengking suara bayi. Di rumah yang menjadi kediaman Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari tersebut lahir seorang bayi laki-laki. Air mata bahagia meleleh dari ibunya, Nafiqoh, putri kiai Ilyas, pengasuh Pondok Pesantren Sewulan, Madiun, yang tak lain adalah isteri kedua pendiri Nahdlatul Ulama tersebut. 

Bayi itu diberi nama Muhammad Asy’ari, sama dengan nama kakeknya. Kiai Hasyim mewariskan nama itu kepada sang bayi karena empat kakaknya semuanya perempuan. Tapi sebulan kemudian nama ini diganti karena dianggap terlalu berat disandang sang bayi. Asy’ari kecil memang sering sakit hingga tubuhnya makin lama makin kurus. Kiai Hasyim kemudian mengganti nama putra pertamanya itu dengan Abdul Wahid Hasyim. 

Pada saat bayinya sakit-sakitan, Nyai Nafiqoh bernadzar, pada usia tiga bulan bayi itu akan dibawa ke guru ayahnya, Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura. Ketika waktu itu tiba, Bangkalan sedang disiram hujan lebat. Petir sambar menyambar. Kiai Kholil sama sekali tidak membukakan pintu, beliau malah meminta tamu dan bayinya itu menunggu di halaman rumah. Karena cemas melihat bayinya kehujanan, Nyai Nafiqoh menggendong sang bayi berteduh di emper sambil bedoa.

Tapi tuan rumah sepertinya tidak kasihan. Beliau malah memerintahkan tamunya membawa kembali ke halaman. Beberapa waktu kemudian, beliau meminta bayi itu dibawa pulang. Kisah itu menjadi isyarat, sebagaimana dituturkan Munib Huda, sekretaris pribadi Gus Dur, bahwa kelak sang bayi akan menjadi orang besar.

Kiai Abdul Wahid Hasyim tumbuh sebagai remaja dengan karakter yang kuat, teguh pendirian dan tidak takut melakukan tindakan yang benar sekalipun ditabukan oleh masyarakat. Suatu ketika, ia membuat geger Tebuireng dengan penampilan yang tidak biasa. Ia muncul bercelana panjang, meninggalkan sarung yang sudah menjadi busana khas pesantren.

Kiai Hasyim kemudian menegurnya, tapi Kiai Wahid bersikukuh dengan pendiriannya. Ia menyatakan bahwa memakai celana tidak melanggar aturan agama. Sang ayahpun mengalah dan membiarkan putranya tersebut bergaya dengan caranya sendiri. 

Pada 1932. Di usia 18 tahun, Kiai Wahid pergi ke tanah suci. Sembari menunaikan ibadah haji, ia belajar dan mendalami ilmu tafsir, hadis, fikih, dan ilmu agama yang lain. Dua tahun kemudian ia kembali ke Jombang.

Kehadirannya di Tebuireng membawa pencerahan. Ia mengusulkan kepada ayahnya perombakan kurikulum pendidikan pesantren, dari sistem sorogan atau bandongan ke model kelas seperti di sekolah modern Barat. Gagasan besar ini diutarakan olehnya pada saat usianya masih 19 tahun. 

Bukan hanya mengubah sistemnya, Kiai Wahid juga mengusulkan memperbanyak pendidikan  non agama. Menurutnya sebagian besar murid tidak akan menjadi ulama, lebih baik mereka dibekali keterampilan praktis.

Ide ini merupakan lompatan besar di kalangan pesantren saat itu. Maka tidak mengherankan jika kiai Hasyim tidak langsung setuju mengubah Tebuireng secepat itu. Tapi beliau mengizinkan putranya yang masih berusia 19 tahun tersebut membentuk madrasah sendiri di dalam Tebuireng pada 1934.

Madrasah yang dikenal dengan madrasah Nizamiyah ini menjadi terobosan pendidikan di kalangan NU. Untuk pertama kalinya ada pesantren yang mengembangkan pendidikan umum sampai 70 persen. Sebuah perubahan besar yang tentu saja masih tabu untuk kalangan pesantren dan masyarakat santri. saat dibuka, tidak banyak orang tua yang bersedia mengrimkan anaknya ke madrasah ini

Di antara sekian ribu santri Tebuireng, hanya sekitar 30 anak yang menjadi siswa madrasah Nizamiyah. Penampilan mereka tidak jauh berbeda dengan santri yang lain: bersarung dan berkopiah. Hanya saja mereka tampak lebih disiplin dan tertib. Mereka juga unggul dalam ilmu pengetahuan umum, tapi lemah dalam tata bahasa Arab. 

Dalam perkembangannya, Kiai Hasyim kurang berkenan ada dua madrasah berbeda di pesantrennya. Karena itu Nizamiyah dilebur sehingga hanya menyisakan Salafiyah, madrasah yang jauh lebih tua. Peleburan itu menjadi titik masuk pelajaran non agama ke madrasah Salafiyah.

Bubarnya Nizamiyah sendiri tidak berarti ide modernisasi pendidikan pesantren berakhir. Gagasan besar anak muda yang kelak menjadi Menteri Agama pertama di Indonesia inihanyalah sedikit dari sekian banyak ide-ide revolusionernya untuk kemaslahatan umat Islam dan bangsa Indonesia.   

Ad

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *