Dalam melaksanakan perayaan maulid, Hadratussyaikh K.H Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitab Tanbihat al-Wajibat mengatakan: “Maulid itu idealnya adalah berkumpulnya manusia yang diisi dengan pemembacaan ayat-ayat Alquran, pembacaan riwayat hadis-hadis awal mula kerasulan Nabi Muhammad SAW, masa kehamilannya sayyidatina Aminah, dan ketika kelahirannya Rasulullah SAW, lalu kisah-kisah tentang nabi atau mauidhoh, dan diakhiri dengan suguhan makanan”.
Dijelaskan juga dalam kitab Tanbihat bahwa diperbolehkan sholawatan dengan menabuh rebana, asalkan tetap menjaga adab. Inilah gambaran ideal perayaan maulid.
Hal ini penting untuk dipedomani karena ada fenomena-fenomena yang banyak terjadi saat ini sampai ada yang berjoget Tik-Tok. Hal ini tentu menyalahi adab melaksanakan perayaan maulid. Dalam maulid, hal yang paling ditekankan adalah adabnya. Jika hal ini dilanggar, maka maulid sebagai suatu hal yang baik akan berubah hukumnya jika di dalamnya diisi dengan hal sebaliknya.
Mengapa Hadratusyaikh Menganjurkan Hal Tersebut?
Perayaan maulid yang telah disebutkan di atas penting untuk menjadi pedoman yang dianjurkan dalam perayaan maulid. Apabila terdapat hal yang diluar anjuran tersebut, haruslah dipastikan bahwa itu adalah hal yang pantas untuk merayakan maulid, karena yang terpenting dalam maulid adalah menjaga adab. Dijelaskan oleh al-Qāḍi ‘Iyāḍ bahwa wajib bagi seorang muslim untuk menjaga adab, mengagungkan dan menta’dzimi Nabi saat menyebut maulid, hadist, sunnah, dan namanya. Lebih lanjut, al-Qāḍi ‘Iyāḍ dalam kitab al-Syifā fī Huqūq al-Muṣṭafā menjelaskan bahwa adab kita kepada Kanjeng Nabi tetaplah sama seperti saat Nabi masih hidup.
Saat kita mendengarkan nama Nabi, kita harus beradab dan merasa seolah-olah Kanjeng Nabi ada dihadapan kita. Jika adab kita pegang dengan teguh, tentu kita tidak akan merayakan maulid dengan berjoget, berbaur dengan lawan jenis, permainan-permainan yang bisa menjadi sarana judi dan maksiat.
Menurut Syaikh Ibnu Hajar al-Asqalāni, hukum menyelenggarakan perayaan maulid didasarkan pada isi dari perayaan tersebut. Apabila perayaan maulid mengandung hal-hal yang baik dan bernilai ibadah, maka hukumnya adalah baik. Apabila mengandung hal-hal yang sebaliknya, maka hukumnya adalah sebaliknya. Oleh karena itu, anjuran yang disebuktkan oleh Hadratussyaikh menjadi penting untuk kita teladani bersama. Apabila kita merayakan maulid atas dasar cinta kita kepada Nabi Muhammad, sudah seharusnya maulid diisi oleh hal-hal yang disukai oleh Nabi.
Tradisi Maulid Dengan Menyuguhkan Banyak Makanan
Sahabat Umar bin Khattab mengatakan: Man anfaqa dirhaman fi maulidi an-nabi ṣalla Allahu ‘alaihi wasallam, kāna rofiqiy fi al-jannah. “Barang siapa medermakan satu dirham di dalam menghormati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, maka dia akan bersamaku (Sayyidina Umar bin Khatab) di surga”. Kemudian ada juga hadis: Man anfaqa dirhaman fi maulidī fa ka’annama anfaqa jabalan min ad-dzahab fī sabīli Allah. Artinya: “Barang siapa mendermakan satu dirham di dalam menghormati hari kelahiranku, maka seakan-akan dia telah mendermakan satu gunung emas di jalan Allah”.
Hadiṡ dan qaul sahabat di atas tentu menjadi motivasi bagi muslim di Indonesia untuk berlomba-lomba bersedekah saat maulid Nabi sebagai bentuk syukur sebagai ummat Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan syukur, diriwayatkan dalam hadiṡ bahwa saat Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-prang Yahudi berpuasa di hari ‘āsyurā’, Nabi bertanya kepada orang Yahudi tersebut, “kenapa engkau berpuasa?”, orang-orang Yahudi menjawab, “Saya berpuasa sebagai rasa syukur karena hari ini adalah hari saat Allah menyelamatkan Nabi Musa dan menenggelamkan Fir’aun”.
Berdasarkan cerita di atas, bahwa saat manusia diberi nikmat dan dibebaskan dari siksa sudah sepatutnya bersyukur. Rasa syukur kita dapat diimplementasikan dalam wujud ibadah, salah satunya adalah bersedekah. Lantas, nikmat mana yang lebih agung dari diturunkannya Nabi yang membawa rahmat kepada kita? Oleh karena itu, trasidi bersedekah saat maulid menjadi bentuk dari rasa syukur kita atas kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Hal yang tidak kalah penting dalam tradisi bersedekah adalah tetap menjaga supaya tidak sampai terjadi isyraf (berlebihan) yang berujung pada membuang-buang harta. Selain itu, dalam bersekah juga terdapat takaran yang harus diperhatikan. Tidak dibenarkan bagi seorang muslim untuk meyedekahkan seluruh hartanya karena hal itu akan menimbulkan mafsadat yang lebih buruk.
Diriwayatkan dalam hadiṡ riwayat Al-Baihaqi bahwa seorang sahabat datang kepada Rasulullah dengan membawa emas sebesar telur dan itu adalah keseluruhan harta yang ia miliki. Menganggapi hal ini, Rasulullah melarang seseorang untuk menyedekahkan seluruh hartanya karena akan menjadikannya miskin dan meratap kepada orang lain.
Kesimpulannya, tradisi bersedekah ketika maulid bisa dilihat dari beberapa sisi. Pertama, hadis dan qaul sahabat di atas. Kedua, implementasi rasa syukur yang diwujudkan dalam bentuk bersedekah. Ketiga, selama tidak isyrof dan membuang-buang harta.
Bagaimana Menanggapi Pernyataan Bahwa Maulid Adalah Hal yang Bid’ah?
Perayaan maulid pertama kali ditemui pada abad ketujuh hijriyah oleh Raja Irbil, Muzhaffaruddin al-Kaukabri. Sebagai sesuatu tradisi yang baru dan tidak ditemui pada masa tiga kurun awal, maulid digolongkan menjadi sebuah bid’ah. Meskipun demikian, harus diakui bersama bahwa isi dari maulid, seperti berkumpulnya manusia, membaca ayat-ayat Alquran, membaca hadis-hadis, membaca maulid nabi seperti maulid ad-diba’i, maulid al-barzanji, lalu memberi makan menurut saya semua itu adalah perkara yang baik.
Dalam meninjau hukum maulid, kita harus mengamini konsep bahwa ulama membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah. Bid’ah hasanah yaitu bid’ah yang memiliki maslahat sangat baik, dan itu bukan merupakan pokok dari syariat, tidak menjadi ibadah maḥḍah. Perayaan maulid menjadi ibadah-ibadah yang dikemas dalam bentuk baru dan tidak menerjang ushul fiqhiyah dan syariat.
Perayaan maulid juga mengandung hal positif dalam segi sosial dan ekonomi. Orang yang berjualan mendapati jualannya laris, orang yang kaya juga punya kesempaan untuk bersedekah, dan yang diberi sedekah juga ikut merasakan dari segi material dan kebahagiaan.
Sehingga bid’ah-bid’ah yang seperti ini dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalaniy bahwa hukum asal peringatan maulid adalah bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari generasi salafush salih dari tiga kurun; meskipu peringatan maulid itu bid;ah, namun mengandung kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Barang siapa bersungguh-sungguh melakukan kebaikan-kebaikan pada waktu peringatan maulid dan menjauhi keburukan-keburukan, maka peringatan maulid tersebut adalah bid’ah hasanah.
Sebagai penutup, apabila kita selalu ingin dan bahagia atas perayaan ulang tahun kita sendiri. Lantas perlukah kita menanyakan hukum berbahagia dan bersyukur atas kelahiran manusia paling agung? Istafti qalbak! Tanyalah pada hatimu.
Wallahu a’lam bissawab …