Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa ikrar wakaf harus menggunakan kalimat yang jelas dan tegas seperti “saya wakafkan”, “saya tahan”, atau “saya dermakan” (waqaftu, habbastu, atau sabbaltu). Apabila tidak menggunakan kalimat yang tegas seperti itu, melainkan menggunakan kalimat yang tidak tegas seperti “saya lestarikan”, maka harus ditambahi dengan niat yang jelas di dalam hati.
Adapun jika kalimatnya tidak mengarah pada wakaf seperti “saya sedekahkan”, maka harus ditambahi kalimat lanjutan, tidak cukup dengan niat.
Selain membahas pilihan kata dalam ikrar, Imam Al-Ghazali juga menyebutkan hal-hal yang harus dinyatakan dalam ikrar wakaf, yaitu:
- Jangka waktu yang tidak terbatas atau abadi. Artinya, orang yang wakaf harus menyatakan bahwa dia mewakafkan sesuatu untuk selama-lamanya, tidak berbatas waktu. Hal ini berkaitan dengan syarat barang wakaf yang telah kita bahas sebelumnya, bahwa Mazhab Syafi’i (termasuk Imam Al-Ghazali) menyaratkan wakaf harus selamanya. Berbeda dengan Mazhab Maliki yang memperbolehkan wakaf untuk jangka waktu tertentu. Maka dalam Mazhab Maliki, tidak ada syarat ini.
- Tindak lanjut wakaf dilakukan secara langsung atau seketika (munjiz). Artinya, setelah ikrar wakaf selesai dilakukan, tidak boleh ada persyaratan untuk menunda serah terima wakafnya. Dalam hubungannya dengan ikrar wakaf, berarti tidak boleh ada kalimat yang menyatakan penundaan tindak lanjut. Akan tetapi, lagi-lagi syarat ini tidak berlaku bagi Mazhab Maliki. Di Mazhab Maliki, wakaf boleh ditunda pelaksanaannya dengan waktu tertentu atau dengan mengaitkan pada sesuatu (jika sesuatu terjadi, maka wakaf terjadi).
- Ikrar wakaf bersifat mengikat (ilzam). Sifat mengikat ini mengartikan bahwa wakaf tidak bisa ditarik kembali. Ini selaras dengan syarat pertama tentang jangka waktu yang tidak terbatas. Dalam hubungannya dengan ikrar, berarti orang yang wakaf tidak boleh menyebutkan adanya syarat bahwa wakafnya sewaktu-waktu dapat ditarik kembali apabila diperlukan. Akan tetapi, lagi-lagi syarat ini tidak berlaku di Mazhab Maliki.
- Ikrar wakaf harus menyebutkan sasaran yang jelas. Apabila pewakaf dalam pernyataan atau ikrarnya tidak menyebutkan sasaran yang jelas seperti “tanah ini saya wakafkan” tanpa menyebut sasaran mana yang dituju, maka wakafnya tidak sah. Artinya, pemanfaatan barang wakaf itu harus disebut dalam wakaf. Ini hanya berlaku di Mazhab Syafi’i. Di Mazhab lain, ikrar wakaf boleh dimutlakkan sasarannya untuk Allah semata-mata. Artinya, nadzir bebas memanfaatkannya untuk kebaikan apapun.
- Tidak boleh disertai persayaratan yang sifatnya bertentangan dengan tujuan wakaf. Misalnya pewakaf mewakafkan tanahnya untuk kepentingan lembaga dengan syarat agar tetap dikuasai dan diatur sendiri oleh dirinya, atau diatur oleh anaknya walaupun kinerjanya tidak bernar. Syarat kelima ini mengarah pada hal-hal etis yang harus dipegang agar wakaf tidak menjadi alat untuk melegitimasi kesewenang-wenangan seseorang. Syarat ini diungkap oleh Wahbah al-Zuhaili.
Melalui lima prinsip ikrar wakaf yang telah dijelaskan di atas, terlihat bahwa ikrar wakaf memiliki aturan yang harus diikuti agar wakaf menjadi sah. Terlihat pula bahwa ketika acuan mazhab dalam hukum wakaf berbeda, akan menghasilkan persyaratan-persyaratan yang berbeda pula dalam ikrar wakaf. Dalam hal ini, Mazhab Syafi’i terhitung sebagai mazhab yang paling ketat.
Keketatan itu dapat dijadikan acuan sebagai upaya kehati-hatian. Mengikutinya berarti telah berusaha keluar dari ikhtilaf ulama. Namun pendapat mazhab yang lain juga boleh diikuti tergantung pada keadaan, kebutuhan, dan kemaslahatan umat.
Wallahu a’lam bissawab …