Maulid Nabi yang jatuh pada bulan Rabiul Awal dapat dijadikan momentum bagi masjid, pesantren, dan perguruan Islam untuk melakukan gerakan perbaikan etika, akhlak, dan moral guna menyelamatkan bangsa dari bahaya kehancuran.
Meski puncak peringatan maulid jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal, namun selama bulan Rabiul Awal nuansa peringatan kelahiran Rasulullah SAW selalu dalam nuansa semarak. Hal tersebut menjadi bukti bahwa kaum muslimin demikian menjadikan bulan ini sebagai kesempatan untuk meneladani akhlak baik Rasulullah SAW.
Karenanya, bulan maulid adalah kesempatan membuka kembali sejarah Nabi Muhammad tidak semata dengan aneka seremonial, namun bagaimana mengisi hari-hari dengan perangai mulia yang telah diteladankan, salah satunya adalah memberikan maaf dan saling bermaaf-maafan.
Jika umat Islam ditanya, siapa teladan utama yang mesti diikuti, maka jawaban pertama yang harus terlontar adalah Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an menyebut akhlak nabi sebagai akhlak yang agung (wa innaka la ‘alâ khuluqin ‘adhîm). Penyematan predikat al-‘adhîm pada diri Nabi Muhammad merupakan sebuah keistimewaan luar biasa.
Al-‘adhîm merupakan salah satu dari 99 nama Allah yang indah, al-asmâ’ al-husnâ. Nabi Muhammad lah pembawa risalah yang diutus untuk menyempurnakan akhlak. Sehingga ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah, maka menjawab dengan tegas: Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an.
Salah satu dari sikap Rasulullah yang perlu kita contoh adalah luasnya hati dalam memberi maaf. Nabi Muhammad adalah seorang yang hidupnya sarat dengan ujian, terlebih saat pertama kali menapaki proses dakwah. Serangan bertubi-tubi menimpanya dari orang-orang yang merasa terusik, mulai dari hinaan, fitnah, pelemparan kotoran, kekerasan fisik, hingga percobaan pembunuhan.
Baca Juga : Perayaan Maulid Nabi Menurut Para Ulama
Allah SWT berfirman demikian:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS al-A’râf:199).
Sungguh memaafkan bukan tanda kelemahan atau kekalahan. Sebab, maaf hanya bisa lahir dari jiwa yang besar. Seseorang yang pemaaf sejatinya tidak hanya sedang menang telak atas musuh-musuhnya tapi juga sukses mengalahkan nafsu di dalam dadanya sendiri.
Nafsu yang biasa mendorong manusia untuk meluapkan amarah, melampiaskan dendam, serta merasa paling tinggi dan merendahkan orang. Dengan membuka pintu maaf yang demikian luas, Nabi justru hendak menunjukkan bahwa pembalas dendam justru tak akan memperoleh kemuliaan.
Hal ini sesuai sabda Nabi Muhammad SAW berikut:
وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
Artinya: “Dan tidaklah Allah menambah kepada seorang hamba yang pemaaf kecuali kemuliaan.” (HR Muslim).
Wallahu a’lam bissawab …