Optimalkan Peran Amil

Ad
Optimalkan Peran Amil

Perintah sedekah yang disyariatkan oleh agama boleh dirupakan dalam bentuk apapun, baik itu materi atau sesuatu yang bermanfaat lainnya. Selain itu, syariat juga mempunyai ajaran tentang teori maslahah, demi optimalisasi manfaat dari sesuatu yang disedekahkan. 

Dalam rangka optimalisasi manfaat sedekah, terkhusus perihal zakat, maka dibentuklah suatu badan khusus yang bekerja secara  cerdas dalam mengelola barang zakat. Badan khusus itu kita sebut sebagai amil.

Lembaga amil terdiri dari beberapa komponen ahli, seperti ahli ekonomi dan ahli-ahli bidang lainnya. Kiai adalah satu dari sekian keahlian di dalamnya, tugasnya adalah menentukan tentang hukum halal haramnya. Amil diharapkan cerdas dalam mengelola materi zakat agar penerima zakat menjadi mandiri dan sejahtera.

Orang yang menjadi amil tidak ada syarat fakir, walaupun ia kaya tetapi menjadi amil maka ia tetap mempunyai hak untuk menerima zakat. Karena amil kaitannya dengan kerjanya sebagai pengelola zakat.

Ibarat memberi ikan tapi tidak memberi kailnya, penerima zakat akan selalu meminta setiap kali ikan yang diberikan habis. Zakat model seperti ini mempunyai sisi negatif terlalu memanjakan penerimanya dan memperlama mereka dalam keadaan fakir, lebih-lebih kepada penerima yang tidak cerdas. Seakan tidak ada upaya untuk membuka wawasan untuk keluar dari kondisi kemiskinan.

Orientasi amil dalam Alquran lebih mengarah kepada zakat mal daripada zakat fitrah. Hal ini karena zakat fitrah hanyalah kebutuhan sesaat. Makanya materi zakat fitrah adalah bahan makanan. Amil-amil yang ada di masjid atau di pondok untuk menerima zakat fitrah itu kurang kerjaan, saya kira titu tidak perlu amil karena materi zakatnya yang sedikit.

Nominal zakat terbesar adalah zakat mal, bukan zakat abdan (badan). Negara ini pengurusan zakatnya terbalik, zakat fitrah diurus secara serius sedangkan zakat mal seadanya saja. Hal itu tidak salah, tetapi saya mengedepankan kerja amil harus lebih optimal dalam zakat mal.

Ada cerita seorang pengangguran yang sowan ke Rasulullah meminta untuk diberikan sesuatu untuk nafkah keluarganya. Oleh Nabi diberikan uang yang cukup dan disuruh untuk membagi menjadi dua, satu untuk nafkah keluarga dan satu lagi untuk beli kapak. Karena memang zaman dulu kerja paling umum dan halal adalah mencari kayu bakar untuk dijual. 

Nabi berpesan untuk tidak kembali lagi jika memang tidak terdesak sekali. Uang tersebut kemudian dijadikan modal usaha. Dan tak lama kemudian, orang tersebut sowan kembali kepada nabi dengan tampilan yang berbeda. Untuk itu, berilah kailnya. Atau lebih bagus lagi berilah kail sekaligus ikannya.

Pengelolaan zakat seyogyanya dilakukan oleh orang yang prefesional pada bidangnya. Kualitas amil benar-benar harus diperhatikan, kompetensi dan amanahnya teruji agar tidak jatuh rugi. Kecuali jika memang ada hal-hal tak terduga seperti bencana alam yang bisa merusak harta zakat. Tetapi jika kerugian diakibatkan oleh kesembronoan atau kelalaian amil, maka ia wajib mengganti harta zakat.

Baca Juga : <strong>Pentingnya Bayar Zakat dalam Perspektif Kitab Kuning</strong>

Solusi Agar Masyarakat Mempunyai Mindset Zakat Produktif

Edukasi kepada masyarakat secara intens dan terus-menerus adalah kunci. Masyarakat kita cenderung bergaya hidup instan dan mempunyai mindset hodonis. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya edukasi yang kita berikan kepada mereka. 

Para sahabat Rasulullah banyak yang ekonominya biasa-biasa saja. Sebut saja Abu Hurairah, seorang imigran yang secara total mengabdikan dirinya mengejar ketertinggalan dalam agama. Ia menjadi kuli panggul di pasar, membawakan barang belanjaan orang. Pada  zaman sekarang mungkin seperti tukang becak.

Sikap Kepada Para peminta

Peminta-minta dikecam oleh agama, la yas-aluunannaasa ilhafa. Mengharap diberi, disantuni, dikasihani, dan tamak menjadikan hati menjadi lemah dan buruk. Sehingga dinilai sebagai yad al-sufla tangan di bawah.

Tetapi, seorang pemberi tidak boleh menghina peminta-minta.agama mewanti-wanti jangan sampai  mengecam pengemis, lissaili wal mahrum, mahrum itu orang pengangguran. Seorang pemberi yang mengolok-olok peminta-minta dikecam oleh agama. Kalau ada orang yang mengolok-olok peminta-mmminta dan ia termasuk kategori yang didzolimi, maka doanya didengar oleh Tuhan.

Oleh karena itu berilah tapi tanpa mengolok-oloknya. Beri saja walau efeknya memanjakan dan lain-lain. Karena sangat mungkin dengan keikhlasanmu dia tidak mengemis lagi, juga sebagai ungkapan rasa syukur tidak ditakdirkan oleh Allah sebagai seorang pengemis.

Pengemis memang punya hak untuk meminta, dan tidak ada salahnya orang meminta-minta karena itu bukan perkara hukum melainkan perkara etika. Orang yang sudah kaya raya boleh saja mengemis kalau memang dia tidak malu.

Bahkan seorang presiden pun boleh saja mengemis kalau memang tidak punya malu. Saya pernah mendengar pengemis yang mempunyai pendapatan di atas UMK, tetapi dalam hati saya bersyukur tidak ditakdirkan sebagai seorang pengemis.

Jadi, agama seperti itu, kita mengedukasi agar mereka mempunyai semangat keluar dari zona kemiskinan. Dan sedikit demi sedikit melatih mental mereka untuk tidak meinta-minta. Meskipun meminta-minta halal untuk dilakukan, tetapi ia jelas tidak bermartabat dan bermanfaat. 

Wallahu a’lam bissawab …

Ad

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *