
Spirit keagamaan setiap orang berbeda-beda. Ada yang power spiritnya besar, maka akan terasa ringan dan serius dalam menjalankan perintah agama. Sebaliknya, jika keimanan seseorang itu kecil, maka seperti orang-orang munafik yang pandai beralasan kala diperintahkan untuk melakukan perintah agama.
Jihad adalah perintah dan perilaku tertinggi dalam agama. Allah memberikan reward setinggi-tingginya untuk orang yang berjihad secara totalitas. Mengorbankan segalanya demi agama, itulah yang disebut mujahidin.
Salah kaprah jika seseorang mendewakan sebuah nyawa, karena bisa jadi nyawa “tidak bermakna” di depan agama. Tentu di sini yang dimaksud nyawa pada diri sendiri, bukan nyawa yang ada pada orang lain. Orang yang berjuang di medan perang bukan berniat untuk menghabisi nyawa orang lain, tetapi lebih kepada bersedia nyawanya sendiri melayang demi agama. Di sinilah letak seni peperangan, antara mempertahankan diri dan menjaga nyawa orang lain.
Peperangan (qital) lama tidak dilakukan karena mutlak menunggu izin dari Allah SWT. bisa dibayangkan, selama 13 tahun di Makkah, diri dan keluarga Rasulullah SAW disakiti, dihina, dimaki-maki, mau dibunuh sampai diusir tapi belum juga turun intruksi berperang.
Allah masih menyuruh Rasulullah untuk menghindar dahulu. Rasulullah berhijrah ke beberapa tempat, tetapi meskipun begitu Rasulullah tetap saja diganggu oleh kaum kafir. Meskipun Rasulullah sudah hijrah ke Madinah, tetap saja orang-orang kafir itu tidak terima dengan dakwah yang beliau lakukan.
Dilihat dari strateginya orang kafir, betul dan logis mereka mengejar-ngejar orang Islam, karena memang secara kuantitas jumlah umat Islam saat itu masih sedikit. Mumpung masih sedikit harus dihabisi, begitu pikir mereka.
Tetapi, berbeda dengan logika Tuhan. Tuhan sudah menyiapkan piranti-pirantinya sebelum mengizinkan untuk berperang. Tuhan sudah barang tentu memmberikan back-up terbaik kepada umat Islam. Fasilitas total diberikan oleh Tuhan untuk memerangi orang-orang kafir. Ribuan malaikat didatangkan untuk menjadi bala tentara bantuan melawan pasukan orang-orang kafir.
Saat Islam masih dalam periode Makkah, tidak ada “muslim abu-abu”, hanya ada hitam dan putih. Hanya ada iman dan kafir. Begitu sampai pada periode Madinah, tepatnya setahun bakda hijrah dan diizinkan untuk berperang, muncullah orang-orang munafik dengan berbagai latar belakang, mungkin karena lemah iman dan lain-lain.
Dalam konteks Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda dan bangsa lainnya. Para penjajah sangat keterlaluan sekali, mereka menguasai, memakai, bahkan mengeruk harta yang bukan hak mereka. Hal ini tentu tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.
Makna Qa’idun
Qa’idun adalah orang-orang yang mempunyai iman yang lemah dan tidak ikut berperang. Populasi qa’idun terbanyak didominasi oleh orang-orang munafik. Lalu, apakah seluruh qa’idun masuk neraka? Jawabannya adalah tidak! Karena qa’idun ini maknanya tidak bisa digebyah-uyah, bisa jadi ia tidak ikut berangkat berperang karena suatu uzur atau pun tidak punya uzur tetapi hatinya masih iman, meski lemah. Tetapi dua-duanya tentu tidak mendapatkan pahala jihad.
Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, secara literatur yang saya ketahui, Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dahulu meninggalkan majelis pengajian untuk ikut angat senjata ikut berperang. Makanya, Hadratusyaikh bukanlah sosok ilmuan an sich, beliau juga seorang aktivis yang berjuang dan peduli terhadap kondisi masyarakat. dan pada saat itu kepedulian terhadap masyarakat wujud konkretnya adalah ikut berjuang mengusir penjajah demi keamanan, kedaulatan, dan keutuhan negara Repulik Indonesia.
Fatwa Resolusi Jihad
Dahulu saya sudah pernah memberikan catatan terkait masafah (jarak, radius) dalam fatwa resolusi jihad. Kalau kita mengkaji radius yang dipakai dalam fatwa resolusi jihad, itu yang kita ambil adalah semangatnya. Bukan produk fikihnya. Kecerdasan Hadratusyaikh dalam membaca kondisi edan perang saat itu yang perlu kita soroti. Bukan hasil matang fatwanya.
Saat itu memang perang melawan belanda alutsista yang dipakai masih terbatas pada bamboo runcing, tombak, pistol, senapan, dll. Jadi jaraknya masih terjangkau oleh indera.
Kalau kita mau menerapkan fatwa itu pada konteks sekarang bisa-bisa ditertawakan oleh banya orang, karena medan perang dan alusistanya sudah berbeda, ada rudal jarak jauh, ada pesawat siluman, dll. Yang jaraknya bisa antar negara, bahkan benua. Maka, yang harus diambil adalah semangatnya, bukan hasil matangnya saja.
Tetap berderma meski masih miskin
Apakah bisa tetap berderma meski dalam keadaan belum punya? Jawabannya bukan bisa atau tidak, tetapi malah harus berderma. Tidak punya uang bisa memakai tenaga, tidak punya tenaga bisa dengan dzikir.
Kalau tidak punya tenaga, uli al-dhoror, seperti sahabat Abdullah Ibnu Ummi Maktoum. Abdullah ibnu Ummi Maktoum itu adalah orang yang buta dan disarankan tidak usah ikut perang. Tetapi ia bersikukuh tetap ikut berperang.
Saat di medan perang, ia mengambil pasir dengan genggamannya dan menghambur-hamburkannya ke langit. Hal itu menimbulkan debu yang cukup banyak, sehingga bisa memperdaya dan menimbulkan persepsi dalam benak musuh bahwa di situ ada banyak pasukan. Allah memberikan derajat yang mulia terhadap Abdullah Ibnu Maktoum.Kalau kita punya jiwa seperti itu, tidak punya uang bisa dengan tenaga, jika tidak punya tenaga ya dengan apapun yang kita punya. Maka, Allah akan memberikan reward terbaiknya pada kita.
Wallahu a’lam bissawab …