Di antara zakat-zakat yang lain, Islam terlebih dahulu mewajibkan umatnya untuk zakat fitrah. Perintah zakat fitrah ini turun bersamaan dengan perintah puasa Ramadan. Salah satu hikmah zakat fitrah adalah untuk menyucikan orang-orang yang telah berpuasa selama Ramadan. Barangkali selama puasa mereka sempat melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat atau bahkan hal-hal yang dilarang.
Dalam kajian fikih, pembahasan tentang zakat fitrah lintas mazhab dapat ditinjau dari beberapa aspek berikut ini:
Siapa yang Wajib Zakat Fitrah?
Jumhur ulama menyatakan yang wajib zakat fitrah adalah semua orang Islam yang merdeka dan memiliki kelebihan harta dari kebutuhan pokoknya. Berarti, zakat fitrah tetap wajib bagi anak kecil, orang gila, atau orang lanjut usia asalkan dia memilki kelebihan harta. Perlu diketahui pula bahwa orang-orang yang wajib zakat fitrah itu juga memiliki kewajiban untuk menzakati orang lain dengan rincian berikut ini:
Mazhab Hanafi: Anak-anaknya yang masih kecil, idiot, atau gila.
Mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali: Orang yang menjadi tanggungannya sebab kekerabatan, perkawinan, dan kepemilikian. Seperti orang tua yang miskin, istri, atau budak. Dengan catatan mereka semua beragama Islam.
Untuk berhati-hati dan keluar dari perbedaan pendapat, kita yang mampu sebaiknya menyiapkan zakat bagi semua orang yang disebut di atas. Pertanyaan lanjutan yang barangkali muncul adalah bagaimana kriteria “kelebihan harta” yang mewajibkan seseorang mengeluarkan zakat fitrah? Hal ini menurut jumhur ulama dilihat dari kebutuhan pokoknya.
Kebutuhan pokok biasanya kita pahami sebagai sandang, pangan, dan papan. Dalam fikih, hal itu juga berlaku bagi kebutuhan pokok kita untuk menghidupi orang-orang yang menjadi tanggungan kita, bukan hanya kebutuhan kita sendiri. Jika pada malam takbiran dan hari idul fitri kebutuhan-kebutuhan itu telah tercukupi dan masih ada kelebihannya, maka kita wajib zakat.
Baca Juga : <strong>Zakat dalam Perspektif Ekonomi Islam</strong>
Apa dan Berapa yang Kita Keluarkan untuk Zakat Fitrah?
Secara mendasar, yang wajib dikeluarkan saat zakat fitrah adalah kebutuhan pokok sebanyak satu sa’ atau kurang lebih 2,5 kg. Maka, biasanya kita zakat fitrah menggunakan beras. Bagaimana hukumnya jika kita mengganti beras dengan uang seharga 2,5 kg beras? Ada perbedaan pendapat seperti ini:
Mazhab Hanafi: Boleh, karena sebenarnya yang wajib kita lakukan dalam zakat fitrah adalah membuat orang fakir miskin tidak perlu meminta-minta pada hari raya idulfitri. Jadi, boleh-boleh saja memberi mereka uang, bahkan lebih mudah dan efisien.
Mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi: Tidak boleh, karena yang diwajibkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam zakat fitrah sebenarnya adalah kurma atau gandum. Dua-duanya adalah makanan pokok masyarakat. Maka, tidak boleh kita menggantinya dengan uang yang bukan termasuk makanan pokok. Justru jika memberi uang, berarti kita tidak melaksanakan perintah Nabi.
Lagi-lagi, ketika dihadapkan pada permasalahan seperti ini, kita sebaiknya keluar dari ikhtilaf, yaitu dengan memilih makanan pokok untuk zakat fitrah. Namun, ketika kita memilih zakat dalam bentuk uang, kita harus paham siapa yang kita ikuti dan bagaimana alasan pendapat itu.
Kapan Waktu untuk Melakukan Zakat Fitrah?
Pada bahasan “kelebihan harta” sebelumnya telah disinggung bahwa parameter hitungannya adalah mulai dari malam takbiran idulfitri. Itulah sebenarnya waktu wajib untuk mengeluarkan zakat fitrah menurut 4 mazhab, dihitung sejak terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadan, baik tanggal 29 maupun 30. Jika ada orang yang meninggal dunia sebelum waktu itu, maka kita tidak wajib membayarkan zakat fitrahnya. Juga, jika ada bayi yang lahir setelah matahari terbenam, maka kita tidak wajib membayarkan zakat fitrah.
Bagaimana jika membayar zakat sebelum malam takbiran? Ada perbedaan pendapat seperti ini:
Mayoritas Mazhab Hanbali dan Maliki: Tidak boleh kurang dari dua hari sebelum idulfitri.
Sebagian Mazhab Maliki: Tidak boleh kurang dari tiga hari sebelum idulfitri.
Sebagian Mazhab Hanbali: Tidak boleh kurang dari 15 hari sebelum idulfitri.
Mazhab Syafi’i: Boleh sejak awal bulan Ramadan.
Mazhab Hanafi: Boleh sejak awal tahun Hijriah.
Semua pendapat itu memiliki alasan masing-masing. Yang biasa kita pakai adalah pendapat Mazhab Syafi’i, yakni sejak awal bulan Ramadan. Bagaimana dengan batas akhir waktunya?
Mazhab Syafi’i: Sunnah sebelum shalat idulfitri. Kalau terlewat, maka sunnah pada pagi hari idulfitri.
Mazhab Maliki, Hanafi, dan Hanbali: Makruh membayarnya setelah solat idulfitri.
Semua Mazhab: Haram membayarnya setelah hari raya idulfitri.
Artinya, batas akhirnya adalah hari raya idulfitri. Sebaiknya sebelum sholat id. Paling maksimal, kita bisa membayarnya sebelum matahari terbenam di hari raya idulfitri. Namun yang terakhir ini sebisa mungkin kita hindari. Wallahu a’lam.