Ketika jamak diketahui bahwa pada hari selasa Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari meliburkan pengajian di Pesantren Tebuireng dan mengajak para santri untuk pergi ke sawah, kebun, atau ladang, maka muncul sebuah pertanyaan: Sawah, kebun, dan ladang mana yang dijadikan sebagai tempat aktivitas santri di hari selasa tersebut?
Dalam rangka menjawab pertanyaan di atas, penelusuran kami menemukan data tanah wakaf Pesantren Tebuireng dari masa ke masa. Data tersebut berasal dari tesis Ahmad Faozan yang ditulis di Pascasarjana Universitas Hasyim Asy’ari. Pada masa pertama, atau era Kiai Hasyim, tanah wakaf Pesantren Tebuireng adalah sebagai berikut:
No | Luas Tanah (m2) | Lokasi |
1 | 11.000 | Sawah Keras |
2 | 112.700 | Sawah Jombok |
3 | 14.050 | Komplek Pondok |
4 | 25.018 | Sawah Jombok |
5 | 13.300 | Sawah Jombok |
6 | 7.072 | Sawah Jombok |
7 | 10.929 | Sawah Jombok |
8 | 1.100 | Madrasah Alim Ulama |
9 | 980 | Sawah Kwaron |
Data di atas disebut oleh pemilik tesis bersumber dari surat bernama Bagi Budel Damae Keacoran. Jika luas seluruh tanah wakaf tersebut kita jumlah, maka muncul kesimpulan bahwa pada era Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, tanah wakaf Pesantren Tebuireng seluas 196.149 m2.
Di antara semua tanah itu, hanya 15.150 m2 yang menjadi lokasi belajar mengajar (komplek pondok dan madrasah alim ulama), sedangkan 180.999 m2 lainnya adalah sawah. Artinya, tanah sekitar 180 hektar itulah yang menjadi sasaran para santri untuk beraktivitas di hari selasa pada era Kiai Hasyim.
Baca Juga : Pengembangan Wakaf Produktif di Pondok Pesantren
Adapun terkait lokasi, terdapat tiga lokasi tanah-tanah sawah yang menjadi wakaf di era Kiai Hasyim. Pertama adalah di Desa Keras, kedua di Desa Jombok, dan ketiga di Desa Kwaron. Ketiganya adalah desa yang berbeda. Keras dan Kwaron cenderung dekat dengan pusat pesantren (Dusun Tebuireng), sedangkan Jombok berada cukup jauh.
Dapat kita bayangkan bagaimana Kiai Hasyim dapat berinteraksi dengan masyarakat ketika berangkat ke sawah-sawah tersebut. Barangkali dalam keadaan seperti itulah laku pemberdaya masyarakat dari Kiai Hasyim diwujudkan.
Pada masa kini, perkembangan wakaf di Pesantren Tebuireng cukup pesat. Administrasinya, sebagaimana dinyatakan oleh tesis Ahmad Faozan, telah tertata rapi. Akan tetapi, jika melihat sejarah bagaimana wakaf di era Kiai Hasyim, ada sesuatu yang barangkali terasa dirindukan, yaitu keterlibatan santri untuk mengurusinya.
Barangkali, Kiai Hasyim sengaja melibarkan santri ketika itu untuk menumbuhkan sifat kemandirian, membangun kedekatan emosi dengan masyarakat, mengetahui secara nyata bagaimana problematika masyarakat, dan lain sebagainya. Hal itu nampaknya kurang bisa didapatkan oleh santri di masa kini.
Akan tetapi, jika kita amati cerita hidup salah satu santri Tebuireng di era Kiai Hasyim, terdapat pula santri yang tidak mendapat tugas untuk mengurus tanah-tanah wakaf Tebuireng. Contohnya seperti Kiai Abdul Manaf yang setelah lulus mendirikan Pesantren Lirboyo.
Beliau dalam cerita yang terbukukan ketika berada di Tebuireng diminta oleh Hadratussyaikh untuk fokus mengembangkan keilmuan dengan belajar di kelas musyawarah dan mengajari para santri yang lebih junior. Hal ini menandakan bahwa Hadratussyaikh tidak memukul rata semua santri untuk terlibat di urusan perawatan sawah tanah wakaf.
Membaca dua perbandingan sejarah di atas, dapat kita tarik sebuah pemahaman bahwa Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam langkah melakukan pemberdayaan masyarakat dan pembelajaran bagi santri terkait tanah wakaf (sawah), melakukan langkah-langkah strategis yang terencana. Terkait urusan santri yang mengurus tanah wakaf, nampaknya Kiai Hasyim memilih santri-santri dengan kualifikasi tertentu dan menugaskan yang lain untuk mengurusi hal-hal yang berbeda.
Itu menunjukkan bahwa antara pemberdayaan masyarakat yang bersifat praktis-langsung dan pemberdayaan masyarakat jangka panjang melalui keilmuan diarahkan oleh Hadratussyaikh untuk bisa berjalan seimbang dan beriringan serentak.
Wallahu a’lam bissawab …