Salah satu terjemahan melenceng dalam kaidah kebahasaan adalah lafaz qurban (قربان) ditransliterasikan menjadi kurban, karena bahasa Indonesia memandang zahirnya binatang kurban itu untuk disembelih lalu dimakan manusia, maka kemudian diambillah terjemahannya menjadi kurban.
Cara membedakannya dari memakai huruf “q” menjadi qurban, dan huruf “k” menjadi kurban, meski melenceng dari transliterasinya, hal ini tidaklah menjadi masalah karena hanya rekaan bahasa saja. Dalam kaidah gramatika bahasa Arab semua bentuk masdar yang menggunakan tambahan alif dan nun, seperti lafaz subhaana (سبحان), qurbaana (قربان), quraana (قرأن) itu bermakna mubalaghoh. Qurbun (قرب) bermakna sangat dekat, sedangkan qurbaan (قربان) mempunyai makna sangat dekat.
Maka jika ingin sangat dekat dengan Allah medianya adalah qurbaan. Seperti sedekah, kurban bukanlah ibadah ritual. Dalam kurban seseorang mengeluarkan hartanya, lalu dipihkan materi tertinggi, yaitu hewan yang ada nyawanya dan bisa dinikmati.
Apakah kurban bisa diganti dengan uang?, kalau uangnya disedekahkan secara langsung akan menjadi sedekah biasa. Karena sejatinya makna filosofis dari kurban ada pada penyembelihannya, menyembelih nafsu kebinatangan menjadi nafsu ilahiyah. Sesungguhnya orang bekurban menyembelih nafsunya sendiri. Diawali dengan nafsu serakah, yaitu uang 3-4 juta yang lebih nyaman untuk dimakan sendiri “disembelih” untuk membeli kambing lalu dikurbankan.
Makanya daging kurban tidak disedekahkan total, boleh seseorang yang berkurban (mudhahhi) memakan sebagian daging hewan kurbannya, tetapi tentu saja dengan porsi yang tidak berlebihan.
Dalam syariat, idul kurban dibahasakan dengan idul adha, pesta makan besar dan bergizi. Kalau idul fitri adalah pesta sarapan pagi, maka idul adha adalah pesta makan besar dan bergizi. Maka setelah idul adha ada al-ayyam tasyri’, hari tasyrik, karena begitu berlimpahnya daging kurban. Jika zaman dulu teknologi pengawetan daging menggunakan matahari, zaman sekarang lebih canggih dan efisien menggunakan kulkas.
Untuk itu, dalam kurban ada syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti hewan kurban sudah cukup umur dan tidak cacat. Hal ini mengindikasikan bahwa hewan yang digunakan kurban itu yang bagus dan berkualitas, karena Allah Swt. menerima yang ahsan (terbaik). Kurban tidak sama dengan sedekah biasa yang tidak mempunyai kriteria khusus, kambing cacat pun sah disedekahkan, beda dengan kurban yang punya standar khusus hewan mana yang layak dikurbankan.
Baca Juga : Fikih Kurban
Makna Intrinsik Peristiwa Kurban
Kisah Nabiyullah ismail yang akan disembelih Nabiyullah Ibrahim lalu diganti menjadi kambing adalah koreksi tehadap tradisi kabilah jumhur dengan dramatologi. Nabiyullah Ibrahim dalam berdakwah lebih banyak menggunakan drama, memberikan uswah (teladan). Hanya ada dua Nabi yang mendapatkan gelar uswatun hasanah, yaitu Rasulullah Saw. dan Nabiyullah Ibrahim a.s.
Pada zamannya Nabiyullah Ibrahim, kabilah Jurhum mengorbankan anaknya untuk persembahan, maka oleh Allah dikoreksi karena dinilai terlalu mahal persembahannya jika harus mengorbankan anak manusia.
Saat Nabiyullah Ibrahim bermimpi disuruh oleh Allah menyembelih putranya, beliau tidak tahu tujuannya apa, yang beliau tahu bahwa Allah Swt. Maha Benar. Hal ini menjadi renungan bagi pemikiran fikih, apakah hikmah (tujuan/manfaat) dan illat (sebab) itu penting?
Menurut pendapat kami, hal tersebut tidaklah begitu penting, sebuah perintah meskipun tidak ada hikmahnya juga tidak mengapa, misalkan disuruh puasa ya puasa saja meski tanpa tahu tujuannya. Contoh lain misalkan sembahyang, tujuannya sembahyang itu begini-begitu, lalu seandainya tujuan itu ternyata tidak ada apakah sembahyang tidak menjadi penting?
Tetap saja penting karena itu perintah. Kalau semua serba berangkat dari tujuan melaksanakannya, lalu yang penting tujuannya atau syariatnya?. Dari cerita Nabiyullah Ibrahim dan Nabiyullah Ismail yang lebih utama adalah syariatnya, entah mengerti atau tidak tujuannya pokoknya kalau ada perintah maka harus dilaksanakan.
Dalam kisah Nabiyullah Ibrahim dan nabiyullah Ismail digambarkan hanya dalam hitungan sepersekian detik diganti dengan domba/kambing. Tidak usah dipikir tadi Malaikat menyiapkannya bagaimana? Dari sebelah mana datangnya?, hal itu tak perlu dipertanyakan karena Alllah Swt. tidak bisa dirasionalkan. Nabiyullah Ibrahim mengimani segala perintah dari Allah, iman tidak hanya 99%, tetapi 100%, kalau bisa malah lebih.
Peristiwa Nabiyullah Ibrahim menyembelih putranya lalu diganti dengan kambing itu akhirnya menyebar ke seantero dunia, mengoreksi tradisi kabilah Jumhur yang menyembelih anaknya untuk persembahan. Kenapa kambing yang dijadikan pengganti Nabiyullah Ismail?
Alasannya adalah karena kambing middle class, orang dengan ekonomi kebawah sampai menengah mampu membelinya. Kalau begitu kenapa tidak ayam atau bebek? Saat itu di sana tidak ada ayam dan bebek. Maka dari itu diambillah kambing sebagai pilihan, dari harganya terjangkau merakyat.
Saat Rasulullah Saw. akan menyembelih hewan kurban beliau berdoa:
بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّد
Artinya: Dengan nama Allah, Ya Allah terimalah kurban ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.
Hadis di atas menunjukkan Rasulullah sudah berkurban untuk umatnya. Tetapi sebagai umatnya, kita tidak boleh berpikiran: “ya sudah tidak usah kurban, Rasulullah sudah kurban untuk umatnya kok”. Ibarat regristasi, Rasulullah sudah mendaftarkan nama kita, maka saat kita terlahir di dunia ini maka kita meneruskannya dengan berkurban sendiri.
Kalau mampu membeli satu kambing untuk satu orang, kalau belum mampu satu kambing untuk satu keluarga, jika itu diistiqomahkan setiap tahun, maka berjalan tujuh tahun sudah ada jatah untuk tujuh orang.
Wallahu a’lam bissawab …