
Egoisme merupakan sifat dasar manusia, medhit, untuk dirinya sendiri. (وَأُحْضِرَتِ ٱلْأَنفُسُ ٱلشُّحَّ) wa uḥḍiratil-anfususy-syuḥḥ. Manusia memang mempunyai tabiat kikir, egois. Bahasa gampangnya bisa dikatakan bahwa manusia itu medhit.
Agama mengajarkan prinsip berbagi, terutama dalam hal kekayaan dan materi. Ada aturan-aturan tertentu dalam agama yang mengatur berbagi, seperti zakat dan sedekah, yang mencakup berbagai tingkat kewajiban, mulai dari yang wajib hingga yang dianjurkan.
Praktik berbagi ini berperan penting dalam mengurangi sifat egois seseorang. Namun, penting untuk diingat bahwa prinsip berbagi ini tidak berarti kita harus kehilangan semangat untuk mencapai tujuan yang kita kita inginkan.
Ada perbedaan antara semangat untuk mencapai tujuan dan sifat egois. Ketika kita berusaha mencapai sesuatu, mungkin kita fokus pada diri sendiri dan merasa bahwa itu adalah hak kita untuk mencapainya. Ini adalah sifat “egois” yang mendasari keinginan kita.
Namun, ada aturan atau prinsip agama yang mengajarkan kita untuk berbagi setelah kita berhasil mencapai tujuan tersebut. Kita memberikan sebagian dari apa yang kita miliki kepada orang lain yang membutuhkannya.
Jadi, meskipun awalnya kita mungkin memiliki sifat egois dalam upaya mencapai sesuatu, setelah kita berhasil, kita diajarkan untuk berbagi dengan orang lain yang membutuhkan. Jadi, ada kesempatan untuk berusaha mencapai tujuan kita dengan semangat, tetapi juga penting untuk ingat untuk berbagi dengan orang lain ketika kita sudah berhasil.
Ini disebut “itsar” yang berarti “mengedepankan” , “mengutamakan”, “mendahulukan” orang lain, dibanding dengan dirinya sendiri, itu sunnah pada hal dunia. Misalnya saya punya tender, ada teman sesama pengusaha yang tidak mendapat tender sama sekali, lalu tak tender tersebut tak berikan kepadanya, ini adalah contoh perbuatan itsar.
Tetapi dalam urusan ibadah yang berkaitan dengan akhirat (ukhrowi), kita tidak boleh mengorbankan pahala ibadah kita demi orang lain, seperti dalam contoh shaf shalat. Ketika ada shaf kosong di depan kita, kita seharusnya mengisinya dan tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengisi shaf itu terlebih dahulu. Tindakan seperti itu disebut itsar yang tidak diperbolehkan dalam ibadah.
Cara Mengelola Sifat Egois
Cara mengelola sifat egois kembali kepada diri sendiri sebagai individu. Pertama, penting untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana mengatasi sifat egois. Setelah kita memiliki pemahaman ini, langkah selanjutnya adalah mengambil tindakan nyata. Ini berarti kita harus secara teratur berlatih dan melawan sifat egois kita setiap hari. Semakin sering kita melatih diri untuk mengalahkan sifat egois, semakin baik kita akan menjadi dalam mengelola sifat tersebut.
Dalam Islam, Tuhan memberikan banyak dorongan, seperti berbagi, untuk membantu kita keluar dari sifat egois. Ada sebuah hadis yang mengatakan bahwa ketika kita memberi sedekah, Tuhan akan menggantinya. Ini berarti ketika kita memberi, Tuhan akan memberikan balasan kepada kita, dan ini adalah cara Tuhan memberikan stimulus untuk membantu kita mengalahkan sifat egois kita.
Tuhan memberikan pahala dan ganjaran yang sangat berharga bagi mereka yang bisa mengelola sifat egois mereka dengan baik. Ini adalah pahala yang sangat bersifat religius dan diberikan kepada orang-orang yang memiliki keyakinan kuat.
Dalam agama, kita sering dihadapkan pada konflik batin antara dua sifat dalam diri kita. Ada “jiwa malaikat” yang mendorong kita ke arah kebaikan. Ada juga “jiwa iblis” yang bisa membuat kita tergoda oleh hawa nafsu dan keinginan dunia yang rakus. Sejauh mana kita yakin kepada Allah dan berusaha mengendalikan sifat egois kita, itulah sejauh mana kita bisa mengatasi konflik batin ini. Dalam agama, pahala dan ganjaran diberikan kepada mereka yang mampu mengendalikan sifat-sifat egoisnya dan menjalani hidup sesuai dengan ajaran agama.
Adam adalah seorang Nabi yang diangkat oleh Tuhan, kurang apa servis surge yang diberkan Tuhan, apa saja boleh dipersilakan untuk menikmatinya dan hanya satu saja yang tidak diperbolehkan. Ini mejadi sebuah isyarat bahwa nantinya manusia itu cenderung rakus.
Namun, penting untuk dicatat bahwa ini bukan karena Nabi Adam karakternya buruk, melainkan lebih karena ketidaksadaran.Tuhan memberikan jaminan bahwa itu bukan karena karakter Nabi Adam, falam najid lahu azma fanasiya, Allah memberikan garansi bahwa hatinya Nabi Adam sudah diperiksa dan tidak ada unsur kesengajaan sama sekali di dalamnya, tidak ada sama sekali kemauan secara sadar dari Nabi Adam melanggar perintah Allah.
Hal ini untuk menghapus tuduhan miring terhdapa Nabi Adam. Ini kelasnya Nabi, kalau selain Nabi tentu saja selalu ada potensi “azma”, potensi membangkang perintah Tuhan selalu ada.
Wallahu a’lam bissawab …