Ibadah bisa dibagi menjadi tiga macam. Pertama, ada perintah ibadah yang sudah ditentukan oleh Allah sebagai Syari’ (pembuat syariat), yang sifatnya tahdid tidak bisa diganggu gugat seperti shalat fadlu.
Kedua, yang diberikan siratan makna kebaikan saja atau disebut ibadah nafilah, seperti ibadah shalat sunnah qabliyah– bakdiyah dan amalan-amalan sunnah dari Hadraturrasul Baginda Nabi Muhammad.
Ketiga, ibadah yang tidak dijelaskan oleh syari ataupun Hadraturrasul, disebut juga masqut ‘anhu. Saat sebuah ibadah itu tidak ada ketentuannya, maka ukuran dari sebuah ibadah itu adalah baik atau tidaknya.
Dalam konteks amalan nisyfu sya’ban, secara definitif amalan-amalan yang selama ini dilakukan di masyarakat seperti membaca yasin 3 kali dan lain sebagainya tidak ada landasan dalilnya dari pembuat syariat. Tetapi, dalil pelarangannya pun juga tidak ada. Mau dilakukan sepertiga sya’ban, seperempat sya’ban, atau sepertengah sya’ban tidak ada ketentuan yang menyuruh atau melarangnya.
Nisyfu Sya’ban adalah hasil pembacaan orang-orang arif atas siratan-siratan nash. Mungkin karena pada malam tersebut ada rekapitulasi amal, maka dibuatlah format ibadah amaliyah nafilah seperti membaca yasin di masyarakat.
Hal ini sama halnya seperti saat kita ingin membangun rumah, lalu kita menyerahkan segala desainnya kepada seorang arsitek. Maka arsitek tersebut akan membuat desain sesuai dengan kapabilitasnya. Begitu pun amalan-amalan yang ada pada nisyfu sya’ban, itu adalah ijtihad terbaik dari para orang arif untuk momen tersebut.
Kita boleh saja tidak setuju lalu mengritiknya. Tetapi, letak salahnya di aman orang yang melakukan amalan nisyfu sya’ban? Apakah membaca yasin atau qulhu itu tidak diperbolehkan? Siapa yang tidak memperbolehkannya?
Seperti saat orang ditanya: seumapama tidak ada acara agustusan atau menyanyikan lagu kebangsaan memangnya kenapa? Kalau dijawab: “itu kan karena momennya”. Kalau memang begitu, apa salahnya melakukan amalan nisyfu sya’ban, hal itu juga memang momennya rekapitulasi amal.
Baca Juga : <strong>Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban</strong>
Rebo wekasan, nisyfu sya’ban, atau amal lainnya selagi itu amal ibadah yang tidak menyalahi syariat maka itu tidak masalah untuk diamalkan. Tidak ada buruknya. Tidak ada masalaha membaca yasin tiga kali dan amalan lainnya pada waktu nisyfu sya’ban. Tetapi jika tidak ingin mengamalkannya juga terserah. Tetapi, apa salahnya membaca yasin? Yasin itu qolbu Quran, dan yang memberikan spesifikasi itu adalah Allah.
Jadi, yang cerewet-cerewet itu biasanya hanya bisa mengkritik saja. Tetapi kalau ditanya di mana salahnya? Mereka diam tidak bisa menjawab. Jika mereka membantah dengan “tetapi kan tidak ada panduannya?”. Ok, kalau begitu apakah juga ada hadis yang melarangnya? Tidak ada kan. Maka itulah yang dinamakan dengan masqut anhu.
Saya memandang amalan nisyfu sya’ban seperti itu. Saya tidak melakukan amalan-amalan nisyfu sya’ban. Seumpama melakukannya, tidak saya lakukan sedetail itu. Saya menghormati malam nisyfu sya’ban dengan membaca Quran atau membaca kitab.
Tidak melakukan amalan nisyfu sya’ban memang tidak terbebani dosa. Tetapi, amalan yang bisa menggerakkan masyarakat untuk beribadah tentu lebih baik dari pada bermain-main atau hanya berdiam diri.
Fenomena Sesajen atau Sejenisnya
Ada interaksi agama dan budaya. Interaksi agama dan budaya itu idealnya saling mengakomodasi, ada dialog interaktif antar keduanya. Jika budaya itu kosong dari makna teologis, maka tugas kita memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya.
Kalau ada budaya menyalahi agama, maka semampu kita merubah budaya tersebut. Jadi ada interaksi yang perlahan. Nah, saat masih dalam proses berinteraksi tidak boleh kita memberikan justifikasi kepada budaya tersebut, kerena masih on going. Misalnya sesajen. Ada sebagian masyarakat memakai sesajen di keburan, pohon besar, atau gua. Di sawah untuk pemujaan Dewi Sri, yang dianggap sebagai dewi kesuburan. Praktek sesajen tersebut ada indikasi musyrik, karena sesajen ditujukan pada selain Allah.
Tetapi pada saat yang sama ada sisi baiknya berupa sedekah, tetapi arahnya salah. Maka tugas kita untuk mendekatinya dan mengarahkannya kepada Allah. Maka sebagai seorang muslim lebih-lebih seorang kiai kita diwajibkan berdakwah semampu kita, berdakwah dengan mengarahkan sedekah tadi yang semula diarahkan kepada dayang diganti menuju Allah. Ini namanya pengalihan tujuan, min al-dzulumat ila al-nur, dari kesyirikan menuju Islam.
Dalam prakteknya tidak usah kiai mengatakan bahwa tujuannya diganti, nanti bisa menyinggung perasaan mesyarakat. Cukup dengan mengarahkan misalnya dengan kalimat: “sampun nggih sakniki njaluk ning sing kuwoso” (sudah ya, sekarang silakan meminta kepada yang kuasa). Itu saja sudah cukup. Sudah masuk kategori pengentasan kesyirikan dan sudah bagus sekali.
Kemudian setelah itu dakwah bisa berlanjut, dari pada berada di jalanan atau di sawah bergerumbul dan becek, diganti saja tempatnya di masjid. Sedekahnya tetap ada, arahnya sudah benar, sekarang tempatya kita arahkan juga. Sekarang hal seperti sesajen saya kira sudah sangat jarang sekali kita jumpai. Itulah kehebatan dakwah.
Tetapi, kalau budaya tidak bisa diubah. Tetap menyalahi agama. Maka budaya tersebut dihabisi dengan semampunya. Di qowaid fiqih disebutkan kaidah adah muhakkamah, maa lam tukholif syara’ (tradisi bisa dijadikan acuan hukum, selama tidak menyalahi syariat). Maka dari itu, budaya yang tidak mungkin untuk direvisi maka harus dihabisi. Perihal menghabisi ini tentu dengan kemampuan dari masing-masing muslim.
Wallahu a’lam bissawab …