Esensi Kemerdekaan Manusia

Ad
Esensi Kemerdekaan Manusia

Di momen perayaan bulan kemerdekaan Republik Indonesia, berbagai perlombaan, syukuran, dan implementasi sebagai negara yang merdeka semarak dan merajalela di seluruh penjuru negeri. Mulai dari istana negara, provinsi, kabupaten, kota hingga desa, dusun dan RT bergembira merayakan kemerdekaan bumi pertiwi ini.

Akan tetapi, meskipun secara de facto dan de jure bangsa Indonesia telah merdeka, banyak yang melupakan akan kemerdekaan dari subjek si pembuat kemerdekaan itu sendiri, yakni manusia. Lantas, apakah kita sebagai manusia telah merdeka?

Esensi kemerdekaan manusia sendiri masih sering keliru dan bahkan tak diketahui oleh orang-orang. Mereka yang sudah bisa mengontrol dirinya sendiri dengan baik dan benar, akan dikatakan sebagai manusia yang merdeka. Begitu juga sebaliknya, orang-orang yang masih dikekang oleh nafsunya, maka pada hakikatnya dia belum merasakan esensi kemerdekaan manusia itu sendiri.

Syaikkh Zakaria al-Anshari dalam salah satu karyanya al-Ghararul Bahiyyah fi Syarhil Bahjah al-Wardiyyah, mengutip salah satu syi’ir yang layak untuk kita jadikan renungan bersama perihal kemerdekaan seorang hamba.

Menurutnya, barometer seorang hamba bisa dikatakan merdeka jika ia sudah bisa menerima semua yang ada pada diri kita (qana’ah), dan tidak tamak pada hal-hal yang tidak ada pada dirinya. Kutipannya ialah sebagai berikut:

الْعَبْدُ حُرٌّ إنْ قَنِعْ وَالْحُرُّ عَبْدٌ إنْ طَمِعْ فَاقْنَعْ وَلَا تَطْمَعْ فَمَا شَيْءٌ يَشِينُ سِوَى الطَّمَعْ

Artinya: “Seorang hamba sahaya layaknya orang merdeka jika ia merasa cukup dengan apa yang ada, dan orang merdeka layaknya seorang hamba sahaya jika ia rakus. Maka terimalah apa yang ada, dan jangan rakus, karena sesungguhnya tidak ada perangai yang lebih jelek selain daripada rakus.”

Baca Juga : Cara Mensyukuri Kemerdekaan

Menerima apa yang telah ditakdirkan oleh Allah merupakan puncak tertinggi dari kemerdekaan setiap orang. Orang-orang yang sudah bisa merasa cukup dengan apa yang dimilikinya tidak lagi dikekang dan dibelenggu oleh keinginan-keinginan nafsunya.

Begitu juga sebaliknya, rakus dan selalu berharap pada apa yang tidak dimilikinya akan menjadikan manusia sebagai hamba sahaya. Ia tidak lagi bisa mengontrol dirinya, namun dikontrol hawa nafsunya. Perbuatan apa pun akan dilakukan demi memuaskan hawa nafsunya. Dan, inilah yang disebut sebagai orang yang tidak merdeka.

Pentingnya sifat qana’ah juga pernah disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Ahmad Salim al-Hanbali dalam kitab Ghada’ul Albab Syarh Manzhumatil Adab, mengutip wasiat sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash. Bunyinya ialah:

Artinya: “Wahai anakku! Apabila kamu mencari kekayaan, maka carilah ia dengan qana’ah, karena sesungguhnya ia merupakan harta yang tidak akan pernah habis. Janganlah kamu rakus, karena sesungguhnya ia adalah kefakiran yang akan selalu datang. Dan hendaklah kamu berputus asa terhadap sesuatu yang ada di tangan manusia, karena tidaklah kamu berputus asa dari sesuatu melainkan Allah akan menjadikanmu tidak butuh pada sesuatu”.

Ini selaras dengan apa yang disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang lain sebagai berikut:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Artinya : “Bukanlah kekayaan itu disebabkan banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kekayaan jiwa.” (HR Abu Hurairah).

Wallahu a’lam bissawab …

Ad

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *