Hukum menikah di bulan Muharram masih menjadi perbincangan banyak kalangan sampai saat ini. Ada yang mengatakan boleh dan dianjurkan, ada pula yang melarangnya. Mitos larangan menikah di bulan Muharram atau yang dikenal dengan sebutan bulan Muharram ini pun tidak henti-henti diperdebatkan.
Menurut catatan Serat Chentini, jika menikah di bulan Muharram maka setelah berumah tangga akan membuat pasangan memiliki banyak utang. Karenanya tak jarang orang menjauhi hajatan pernikahan di bulan tersebut.
Ada yang mengatakan bahwa bulan Muharram terkenal dengan bulannya priyayi. Hal itu karena dulu, hanya bangsa keraton yang dapat melangsungkan hajatan di bulan Muharram. Bahkan yang paling tidak masuk akal, penguasa laut Selatan, Nyi Roro Kidul, konon sedang melaksanakan pernikahan. Keyakinan tersebut secara turun-temurun membuat masyarakat enggan melaksanakan pernikahan, terutama dari kalangan suku Jawa.
Masyarakat Jawa biasanya melaksanakan hajatan pernikahan pada bulan Dzulhijjah (besar). Karena pada bulan tersebut dipercaya sebagai bulan keselamatan. Maka pada bulan ini, banyak digelar pernikahan. Selain itu, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban merupakan bulan yang baik juga untuk menikah. Selain bulan di atas, misal Muharram dan yang lainnya, menurut catatan Serat Chentini mempunyai sisi buruk.
Perlu diketahui bahwa kepercayaan tersebut tidak hanya dimiliki oleh orang Jawa, Sejarah bangsa Arab jahiliyah mempunyai cerita yang sama perihal penentuan waktu pernikahan, yaitu tidak boleh menikah di bulan Syawal, karena dipercaya sebagai bulan yang sial. Kemudian Islam membantah itu melalui pernikahan Rasulullah SAW dengan Siti Aisyah pada bulan Syawal. Hal tersebut seperti dalam sebuah hadits Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Nisabury, Shahih Muslim, juz 1, bab Istihbab al-tazawwaj al-tazwij fi syawal wa istihbab al-dukhul fihi. Kitab Nikah. Bairut: DKI, 1991, halaman: 1039).
Rasulullah menikahi Siti Aisyah pada bulan Syawal dan berumah tangga pada bulan itu. Dan sudah jelas bahwa perempuan yang memiliki kedekatan hati dengan Rasulullah adalah Siti Aisyah, seperti yang tercantum dalam hadits di atas. Hal ini menunjukkan jika menikah di bulan Syawal tidak terjadi suatu kesialan apapun. Rumah tangga pasangan ini berjalan bahagia dan romantis. Rasululah mencontohkan pada dirinya sendiri untuk membantah kepercayaan jahiliyah tersebut.
Baca Juga : Alasan Bulan Muharram Sangat dimuliakan dalam Islam
Waktu, tanggal, hari, bulan apa pernikahan yang baik, tidak diatur secara detail dalam agama. Namun, seandainya hendak ittiba’ kepada para Nabi dengan niat mencari berkah itu tidak apa-apa, karena mendapatkan kesunahan. Yang terpenting ialah tidak sampai mempunyai kepercayaan bahwa, sebab menikah di bulan Muharram mengundang malapetaka. Karena hal itu hanya ilmu titen, pengalaman yang berulang-ulang serta tidak pasti kebenarannya, kemudian dijadikan pedoman oleh masyarakat Jawa. Ilmu titen bisa jadi bergeser sesuai dengan perkembangan keadaan atau zaman.
Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin dijelaskan, bahwa seseorang hendaknya tidak mempercayai apakah menikah di hari ini dan di malam ini baik atau buruk. Kepercayaan tersebut dilarang dan mendapat teguran keras agama. Perbuatan tersebut tidak ada kandungan pelajaran (‘ibrah) apapun di dalamnya. Ibnu al-Firkah selaku pakar ushul fiqih menyebutkan:
Artinya: ”Jika terdapat seorang ahli nujum berkata serta meyakini semuanya itu adalah pengaruh dari Allah, Allah-lah yang membuat kebiasaan terhadap anggapan sesungguhnya hal itu akan terjadi demikian ketika demikian. Maka hal itu tidak masalah. Lalu, dari mana kritikan itu datang, muncul atas seseorang yang percaya terhadap pengaruh bintang dan pengaruh makhluk. Mereka percaya jika ilmu bintang itu dapat mempengaruhi nasib baik dan buruk pernikahan. (Sayyid Abdurrahman al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, Bairut: Dar al-Fikr, 1994 halaman: 337)”.
Wallahu a’lam bissawab …