Refleksi Satu Abad NU

Ad
Refleksi Satu Abad NU

Bagaimana refleksi satu abad Nahdlatul Ulama? Pada tanggal 16 Rajab 1444 H atau bertepatan 7 Februari 2023 nanti, Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) berdasarkan kalender Hijriah genap berusia 100 tahun. NU lahir pada 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M. Usia yang tidak lagi belia ini tentunya tidak hanya sekadar untuk perayaan euforia dan kebanggaan semata, melainkan juga sebagai cerminan akan apa yang telah dilakukan dan bagaimana perannya bagi masyarakat.

Beberapa penegasan dan wasiat Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari salah satunya melalui Maklumat Rais Akbar NU pada bulan Syawal 1355 H (1935 M), terdiri atas tiga butir hal penting kepada anggota NU pada umumnya, dan khususnya kepada ulama NU serta ulama Ahlussunnah wal Jamaah, yakni :

  • Kesatuan Ulama dan Barisan

“Inna al-ghoyata al-lati turma ilaiha al-jam’iyyah hiya tauhiidu shufufi al-ulama wa robtuhum bi robithotin wahidah …” bahwa tujuan NU adalah mempersatukan barisan ulama dan mengikatnya dengan satu ikatan.

Sejak dulu, Hadratussyaikh mengingatkan dan menegaskan bahwa persatuan dan kesepakatan adalah senjata ampuh yang dimiliki manusia untuk menggapai tujuan-tujuannya, dan jalan yang harus ditempuh untuk sampai pada tujuan-tujuannya. Maka, keharusan bagi ulama kita untuk menyelamatkan dari perpecahan dan menyatukan barisan umat Islam yang dewasa ini juga sering terpecah belah.

  • Perlu Penggerak yang Tangguh

“Inna jam’iyyatana fi hajatin syadidatin ila musa’adati rijalihim al-‘aamilina” bahwa NU membutuhkan tenaga para penggerak yang Tangguh. Karenanya Hadratussyaikh mengingatkan agar kita konsisten mengikuti dan mematuhi Qonun Asasi Jamiyyah tanpa memperdulikan kesulitan material, kerugian harta benda dan kepayahan personal. Maka, dalam keadaan apapun, dakwah Islam harus tetap tersiarkan. Jika merujuk masa kini, dakwah tidak hanya dilakukan dari masjid ke masjid atau dari majelis ke majelis, akan tetapi dapat dilakukan di manapun, termasuk melalui platform media sosial.

Baca Juga : <strong>Peran Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Pesantren Tebuireng dalam Pendirian Nahdlatul Ulama</strong>

  • Pelayanan NU untuk Kemaslahatan serta Kebaikan Umat, Dunia, dan Akhirat

“Inna jam’iyyatana al-mubarokah wa lillahi al-hamdu qod haazat iqbala al-‘awam ‘alaiha wa laysa dzalika la likauniha ta’malu limashlahatihim wa tas’aa likhoirihim dunyan wa ukhron wa likauniha muassisatan ‘ala khithati salafi al-sholihi ridlwanu Allah ‘alaihim” bahwa simpati masyarakat (nahdliyyin dan umum) kepada NU oleh karena NU bergerak melayani untuk kemaslahatan dan kebaikan dunia dan akhirat mereka. Juga, oleh karena NU konsisten mengikuti garis jalan (meneladani) orang-orang shaleh terdahulu.

 “Fa inna al-ulama umanaau Allah ‘ala ‘ibadihi” bahwa sesungguhnya ulama adalah kepercayaan Allah (untuk membimbing umat manusia) di muka bumi. “Wa min tsamma fa al-wajibu ‘ala ulamaina an yudlo’ifuu juhudahum wa an la yudakhiruu syaian mn wus’ihim …” bahwa kewajiban bagi ulama NU untuk melipatgandakan kesungguhan dalam berdakwah.

Tiga butir maklumat Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari di atas bisa dijadikan indikator untuk melihat NU di umur 100 tahun, sekaligus memotivasi peran NU memasuki awal abad kedua eksistensinya.

Wallahu a’lam bissawab …

Ad

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *