Setiap Sedekah Adalah Jariyah

Ad
Setiap Sedekah Adalah Jariyah

Makna terminologis dari jariyah adalah berjalan atau terus, dari kata Jaro-yajri. Aslinya, setiap yang diwakafkan itu jariyah. Tidak ada sedekah yang tidak jariyah. Mewakafkan tanah untuk masjid, lalu masjidnya digusur, bagaiamana status jariyahnya? Jariyah tetap ada dan terus mengalir. Perkara materi yang rusak, mana ada materi yang tidak akan rusak? Semua yang ada di alam ini akan rusak. Tetapi, ibarat nomor rekening, sedekah jariyah itu tetap tercatat dalam administrasi Tuhan.

Di sisi lain, meskipun nanti akan habis, apakah memberi makan orang apakah termasuk jariyah? Kalau dicermati, makanan yang diberikan akan menjadi sebab dia hidup dan punya tenaga, lalu tenaga itu digunakan untuk beramal, misalnya mengajar atau bekerja. Logikanya, gusti Allah itu maha rahmat, setiap yang didermakan itu lumintu

Jadi, setiap sedekah adalah jariyah. Jariyah sebagai sifat, wasfun lazim, yaitu sifat yang melekat pada sedekah. Jariyah bukanlah sifat yang membedakan, melainkan sifat yang melekat pada sedekah tersebut. Meski tidak disebut jariyah sedekah tetaplah jariyah. Cuma memang ada yang memahami bahwa sedekah itu ada yang jariyah dan ada yang tidak jariyah. Tetapi kami tidak sepakat.

Untuk amal kategori sedekah, tidak ada yang tidak jariyah. Imam Al-Ghazali pernah mengikritik nafsu umat Islam pada masanya yang sangat hobi membangun masjid, tetapi lalai terhadap kerja sosial. Padahal yang diancam Tuhan itu bukanlah yang lalai membangun masjid. Tetapi yang lalai dalam kerja sosial. karena kerja sosial itu urusannya dengan nyawa, kesejahteraan masyarakat. Allah menciptakan makhluk, dan yang memberi sedekah makanan itu membantu tuhan dalam dalam urusan rizki.  

Meskipun tidak dibangun mewah, masjid tetap bisa dipakai beribadah. Tetapi kenapa orang lebih suka sedekah ke masjid? hal ini karena sedekah membangun masjid lebih terlihat bentuknya. Sedangkan sedekah nasi bungkus anggaplah hanya jadi kotoran. Tetapi membangun masjid kan ada pahalanya? Iya, besar pahalanya membangun rumah Tuhan. Tetapi kalau kamu tidak bisa masuk karena kelaparan terus buat apa rumahnya?. Kritiknya Imam Ghazali yang mengatakan luqmatun fi bathni jaa’I’in khoirun min bina-I alfi jami’, satu suapan di perut orang yang lapar lebih berharga daripada membangun seribu masjid. Dalam konteks menyelamatkan satu nyawa dengan satu suapan.

Imam ghazali emosi melihat orang-orang yang sangat bernafsu membangun masjid tetapi mengabaikan kerja sosial. karena orang kelaparan jika tidak diberikan makan berpotensi meninggal. Buat apa membangun masjid kalau masyarakatnya kelaparan bahkan sampai meninggal? Saya tidak tahu apakah kritik al-Ghazali ini disertai emosi atau tidak, tetapi itu adalah kritik yang bagus.

Harta benda mempunyai fungsi yang hebat, di dunia kita membutuhkannya dan di akhirat kita lebih membutuhkannya. Bayangkan, Allah mengatakan Wajahiduu fi sabilillah bi amwalikum, Allah mendahulukan harta benda dulu, hal ini karena pada dasarnya orang itu medhit

Jadi, sesungguhnya surga itu sangat bisa dibeli mulai sekarang. Orang kaya dan ia beriman, secara definitif sudah bisa dikatakan masuk surga, karena dia mampu membeli surga. Yang miskin masih menghitung-hitung dulu amal-amalnya. Cuma, kebanyakan orang kaya itu tidak mau membeli surga. mereka suka menumpuk aset. Jika ada orang kaya tidak bisa masuk surga, hal itu sangat kebangetan, karena tinggal membeli saja kok tidak mau. 

Baca Juga : Batas dan Prioritas Sedekah

Cara amal agar bisa jariyah. 

Dalam aspek aksiologis, kita bisa bersepakat bahwa semua sedekah adalah jariyah. Tetapi bagaimana sedekah itu bisa dikatakan benar-benar jariyah dihadapan Tuhan adalah hal lain. Ada beberapa larangan yang bisa merusak sedekah, pertama yaitu lighoirillah. Sedekah yang tidak diniatkan karena Allah sudah pasti tidak diterima, tidak berpahala, hanya dapat rahmat Allah saja. 

Kedua yaitu ngundat-ngundat, yang kedua ini diterima, tetapi skornya berbeda. In tubdusshadaqat fa ni’immahiy, kalau sedekah itu dipublikasi,  maka fani’immahiy, maka itu baik. Tapi, wa-in tukhfuha wa tu’tuhal fuqara, kau samarkan, kau rahasiakan, maka nilainya lebih baik lagi. Walhasil, keduanya diapresiasi oleh Allah, Cuma skornya berbeda, yang dipublikasi dengan yang dirasiakan tentu lebih utama yang dirahasiakan. 

Zaman sekarang agar bisa viral sampai ada yang rela membayar, padahal itu adalah penyakit yang bisa merusak amal. Ibarat petani yang menanam jagung, tanah dicangkul sepuluh cm, dimasukkan benih jagung sampai tidak kelihatan. Tingkat kesuksesan benih jagung katakanlah 100%. Tapi, bagaimana kalau benih tersebut dibiarkan tumbuh di atas tanah? Apakah bisa tumbuh? Bisa, cuma sangat beresiko, karena bisa saja saat belum tumbuh dimakan ayam atau burung karena di biarkan di atas tanah tadi. Tetapi kalau ditanam di bawah tanah, tumbuhnya sudah bukan biji lagi, ada daun, ranting, di mana kawanan burung tidak doyan memakannya. Itu adalah tamsilannya. Makanya, figur petani sering disebut dalam Keimanan, amal baik, dan ketawakkalan. 

Apakah anak shalih yang menjadi ladang amal jariyah harus anak sendiri?

Mutlak bahwa yang dimaksud waladin shalih adalah anak genetik. Tidak bisa anak didik dikatakan waladin shalih, itu ada lahannya sendiri, yaitu ilmu yuntafa’’u bih, ilmu yang bermanfaat. Kebiasaan masyarakat suka memanjang-manjangkan makna, wala yuqolu walad illa minniy, waladin shalih mutlak harus anak genetik. Jika waladin shalih tidak dipahami sebagai anak genetik, maka anak-anak didik atau yang lainnya bisa menjadi ahli waris dong?

Walada yalidu, maknanya adalah lahir dari rahim ibunya. Saya sangat tidak sepakat jika ada yang mengatakan: “Loh, anak itu kan tidak hanya anak kandung?”. Kalau yang dikatakan walad ya artinya harus anak kandung. Tetapi jika persepsi masyarakat bahasa walad itu bisa dimaknai selain anak kandung itu terserah. Tetapi, jika walad bisa dimaknai selain anak kandung, maka itu salah. Karena walada yalidu artinya melahirkan, ibu itu disebut “walida”, artinya yang melahirkan. Maka, waladin shaalih harus anak kandung.

Pengertian walad harus genetik. Makanya Allah memberikan tiga piranti beramal jariyah. Umumnya orang bisa semua, tetapi ada beberapa orang yang tidak bisa. Jika tidak mempunyai waladin shalih, ada media lain yaitu ilmu yuntafa’ bih, ilmu yang bermanfaat. Dari situlah medianya jika anak didik ingin dijadikan lading amal jariyah.

Jika ada seseorang tidak punya anak, proyeksikan saja ke sedekah, jika masih tidak bisa, arahkan ke ilmu yang bermanfaat. “Aku tidak pintar dan tidak punya anak”, salah sendiri kenapa cuma menikahi satu perempuan. “Aku takut sama istri”. Salah sendiri kenapa takut. Enak saja, tidak mau melawan masalahnya sendiri tetapi minta fasilitas dari Tuhan. Orang tidak punya anak tetapi tidak menikah lagi berarti sudah rela tidak mempunyai akses waladin shalih.  

Wallahu a’lam bissawab …

Ad

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *