Batas dan prioritas sedekah tergantung dengan situasi dan kondisi. Dalam fikih Mazhab Syafi’i, tidak boleh menyedekahkan semua harta yang kita miliki jika punya tanggungan keluarga yang belum dinafkahi atau punya utang yang belum dibayar. Tapi ketika dua tanggungan itu sudah kita penuhi, maka boleh dengan dua hukum rinci.
Pertama, hukumnya sunah, jika kita mampu bersabar menghadapi kehidupan yang sulit pasca bersedekah. Kedua, hukumnya makruh, jika kita tidak mampu bersabar. Contoh tidak sabar itu seperti mengeluhkan keadaan dan mengungkit masa lalu dengan ucapan, “dulu saya itu begini, dulu saya ini begitu”.
Selain tanggungan keluarga dan utang, ada lagi syarat tambahan agar seseorang boleh menyedekah semua hartanya, yaitu syarat kesehatan, baik kesehatan fisik maupun akal. Jika kita sehat, maka sah sedekah kita. Namun jika sakit, apalagi sakit parah yang mengarah pada kematian, maka kita hanya boleh mentasarufkan harta kita sebanyak sepertiga saja.
Mengapa? Para ulama melihat niat orang yang bersedekah. Dalam keadaan sakit seperti itu, dikhawatirkan niatnya adalah menghalangi ahli waris mendapatkan warisan atau pikirannya telah terpengaruh oleh sakitnya.
Pada intinya, kita harus menyelesaikan dulu tanggungan-tanggungan wajib kita sebelum bersedekah. Sebab, jika kita punya kewajiban seperti utang, tapi kita tidak mau membayarnya walau punya uang, maka kita akan tergolong orang zalim. Inilah yang perlu diperhatikan, bahwa anjuran bersedekah dan anjuran dermawan itu tidak bisa ditelan mentah-mentah.
Apakah Ada Sedekah yang Paling Baik?
Sedekah paling baik bisa dilihat dari tiga hal, yaitu apa yang diberikan, kepada siapa, dan kapan diberikan. Pertama, apa yang diberikan. Menyedekahkan sesuatu yang dicintai memiliki nilai lebih tinggi daripada sesuatu yang tidak dicintai. Semakin kita mengeluarkan barang yang kita cintai, semakin besar makna al judd (kedermawanan) kita.
Barang yang dicintai biasanya memiliki nilai lebih tinggi, umumnya harganya lebih mahal. Tapi bukan berarti kita harus menunggu memiliki barang mahal dulu untuk bersedekah. Tidak begitu.
Sayyidah Aisyah dalam kitab al-adab al-mufrad, diceritakan pernah bertemu orang yang meminta-minta ketika beliau hanya memiliki satu biji kurma saja (dalam riwayat lain tiga biji kurma). Dalam keadaan ini, beliau memberikan kurma itu. Lalu diceritakan juga bahwa beliau pernah memiliki kekayaan yang sangat banyak (seribu dinar atau seribu dirham).
Oleh beliau, semua itu disedekahkan hingga pembantunya bilang “Nyai, masak tidak disisakan, kita nanti makan apa”. Cerita ini menunjukkan bahwa kita tidak harus menunggu kaya untuk bisa berbagi. Tapi ketika punya banyak harta, kita juga harus memberi banyak. Itulah yang namanya kedermawanan, al-judd, al-karom.
Kedua, kepada siapa kita memberi. Mengacu pada Al-Qur’an, yang paling baik adalah kepada keluarga yang membutuhkan. Jika ada dua orang yang membutuhkan, yang satu keluarga dan yang satu tidak, maka keluarga menjadi prioritas. Di hadis, diriwayatkan bahwa berbagi dengan keluarga yang membutuhkan akan mendapat pahala silaturahmi juga, di samping ada pahala sedekah atau infaq.
Lebih-lebih jika saudara itu tinggal di dekat lingkungan kita. Dia terhitung sebagai tetangga. Maka, statusnya akan bertambah. Dia saudara, orang yang membutuhkan, sekaligus tetangga. Artinya, semakin banyak status orang yang kita beri, semakin tinggi kualitas sedekah kita.
Ketiga, waktu memberi. Terkait hal ini ada hadis sahih yang menginformasikan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang paling dermawan, dan waktu paling dermawannya Nabi itu terjadi di bulan Ramadan. Ini contoh prioritas sedekah jika dilihat dari segi waktu.
Bagaimana Cara Membiasakan Sedekah?
Pendorong sedekah yang paling dasar adalah adalah bangunan keimanan kita kepada Allah SWT. Semakin kita iman bahwa Allah adalah Ar-Razzaq, semakin kita ringan mengeluarkan harta. Menarik apa yang tertulis dalam kitab hikmah al-tasyri’ wa falsafatuhu, bahwa sifat pelit adalah bentuk dari teologi (keimanan) yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mampu mencukupi kebutuhan kita.
Orang pelit seringkali khawatir jika hartanya diberikan ke orang lain, dia akan kekurangan. Pikiran semacam itu seolah menganggap Tuhan pelit. Apabila kita yakin bahwa Allah adalah dzat yang menanggung rezeki kita, Allah adalah Rabbul ‘alamin, al-Khaliq, al-Qaim bi umurina, pasti kita akan mudah bersedekah karena “Walau saya berikan harta ini, pasti Allah tetap mengurusi dan mencukup saya”.
Ada analogi menarik dari Gus Baha’ yang membuat saya berpikir bahwa ketika “tidak punya”, orang akan lebih dermawan dari “yang punya”. Hal ini didasarkan pada persentase sedekah dari keseluruhan hartanya. Misalnya begini, ada orang punya uang 50 ribu dan dia mudah mentraktir teman sebanyak 35 ribu. Dari 50 ribu, uang 35 itu prosentasenya lebih dari setengah kekayaan yang dia miliki. Tapi kalau orang itu punya uang 50 juta, apakah masih mudah juga memberikan 35 juta ke orang lain?
Analogi itu membuat saya bertanya, jangan-jangan Allah nanti membalas pahala sedekah tidak berdasarkan kuantitas nominal, tapi kualitas prosentase. Logika ini menarik, bahwa tidak semua nominal kecil itu benar-benar bernilai kecil. Bisa jadi orang miskin memiliki pahala sedekah lebih banyak dari orang kaya.
Pengalaman saya sebagai santri, ada mental yang bagus untuk mudah mendermakan uang yang dipunya. Mental santri biasanya akan mudah mentraktir makan teman hingga uangnya habis. Jika ia punya uang 20 ribu, tidak sulit menghabiskan 15 ribu untuk temannya. Yang 5 ribu bahkan sekalian dimasukkan kotak amal. Habis semua. Itu hal biasa di lingkungan santri.
Mengapa bisa begitu? Kuncinya adalah keimanan yang tinggi sekaligus berhasil memandang rendah uang. Maka, untuk mudah bersedekah, kuncinya ada pada cara berpikir tentang keimanan dan cara memandang harta. Terakhir, yang paling penting tentu segera memulai sedekah. Jangan ditunda-tunda.
Wallahu a’lam bissawab …