Selain rukun haji, ada wajib-wajib haji yang harus dilalui. Dalam penjelasan Mazhab Imam Syafi’i ada enam wajib haji. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam kitab Taqrib berikut :
Artinya : “(Wajib haji) yang tidak boleh tidak harus dilakukan (selain rukun haji berjumlah tiga hal), pertama (ihram dari miqat) pada waktu dan tempat yang telah ditentukan… Kedua (melontar) jumrah aqabah pada hari nahar (10 Dzulhijjah) dengan 7 batu dan melontar tiga jumrah pada hari tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah) dengan 7 batu… Ketiga, (cukur) atau potong rambut…,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 90).
Adapun Sayyid Utsman bin Yahya dalam Kitab Manasik-nya melalui tabel yang cukup rapi menyebutkan enam amalan wajib haji yang harus dilakukan oleh jamaah haji.
Artinya : “Fasal pada menyatakan segala wajib haji, maka adalah itu enam perkara: pertama memulakan ihram dari miqat sebagaimana yang telah tersebut, kedua bermalam di Mudzdalifah malam hari raya syaratnya habis tengah malam sekalipun tiada lama, ketiga bermalam di Mina pada malam-malam tasyriq, keempat melontar jumrah al-aqabah pada hari raya, kelima melontar jumrah tiga-tiganya pada hari tasyriq di Mina, keenam menjauhkan yang haram,” (Sayyid Utsman bin Yahya, Manasik Haji dan Umrah, [Jakarta, Alaidrus: tanpa tahun], halaman 14-15).
Baca Juga : https://lspt.or.id/kajian/rukun-rukun-haji-yang-harus-tertib-dilalui/
Wajib haji harus dilakukan pada rangkaian manasik sebagaimana rukun haji. Tetapi wajib haji memiliki konsekuensi hukum berbeda dengan rukun haji. Rukun haji menentukan sah dan tidaknya ibadah haji. Dengan kata lain, ibadah haji menjadi tidak sah ketika salah satu rukunnya ditinggalkan. Sedangkan ibadah haji tetap sah ketika salah satu wajib haji ditinggalkan tentu dengan konsekuensi tersendiri.
Orang yang meninggalkan wajib haji harus membayar dam atau denda. Sementara ibadah hajinya tetap sah. Hal ini seperti dalil berikut :
Artinya : “Pasal mengenai wajib haji. Wajib haji adalah sejumlah amalan yang mana haji itu tetap sah tanpanya, tetapi dosa bila wajib haji ditinggalkan tanpa uzur,” (Lihat Syekh Said bin Muhammad Ba’asyin, Buysral Karim, [Beirut, Darul Fikr: 2012 M/1433-1434 H], juz II, halaman 539).
Wallahu a’lam bissawab …