Hukum Menyimpan Daging Kurban Melebihi Hari Tasyrik

Ad
Hukum Menyimpan Daging Kurban Melebihi Hari Tasyrik

Hukum menyimpan daging kurban melebihi hari tasyrik (11,12,13 Dzulhijjah) adalah boleh alias tidak dilarang. Sejarah hukum ini yang kemudian ditetapkan terjadi pada masa Rasulullah SAW.

Namun, sebelumnya pernah ada masa dimana Nabi Muhammad SAW melarang para sahabat untuk menyimpan daging kurban melebihi tiga hari. Rasulullah memerintahka para sahabat mengonsumsi daging kurban sesuai kebutuhan selama tiga hari. Selebihnya, diharuskan untuk membagikannya.

Rasulullah SAW memberikan waktu tiga hari kepada para sahabat yang memiliki kelebihan daging untuk mendistribusikannya kepada umat manusia yang benar-benar membutuhkan. Kemudian, di masa setelah itu, kondisi pangan masyarakat membaik. Rasulullah pun lalu mencabut larangan penyimpanan daging.

Rasulullah kemudian mempersilakan para sahabat untuk mengawetkan daging kurban melebihi hari tasyrik sekalipun. Dari sini, ulama fikih kemudian memutuskan bahwa pengawetan atau penyimpanan daging kurban tidak dilarang.

Ulama fikih juga menganjurkan penyimpanan sepertiga daging kurban yang menjadi kuota konsumsinya, bukan dua pertiga daging kurban yang seharusnya didistribusikan sebagai sedekah kepada orang lain.

Baca Juga : Amalan yang Pahalanya Setara dengan Ibadah Haji dan Umrah

Dalil hukum diperbolehkannya menyimpan daging kurban melebihi hari tasyrik ialah sebagai berikut :

Artinya : “Peringatan : Tidak makruh menyimpan daging kurban dan daging dam. Pekurban dianjurkan menyimpan sepertiga daging yang memang dialokasikan untuk dikonsumsi. Dulu penyimpanan daging melebihi tiga hari sempat diharamkan tetapi kemudian dibolehkan berdasarkan sabda Rasulullah SAW ketika para sahabat kembali bertanya kepadanya, ‘Dulu memang kularang kalian menyimpannya karena tamu. Kini Allah memberikan kelapangan-Nya. Oleh karena itu, simpanlah daging yang telah jelas bagimu,’” (As-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’anil Minhaj, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1997 M/1418 H], juz IV, halaman 388).

Kemudian, Imam Rafi’i mengatakan, bahwa tamu yang dimaksud adalah sekelompok baduwi yang memasuki Kota Madinah di masa Rasulullah SAW. Kala itu, mereka mengalami paceklik dan krisis. Sehingga banyak yang kelaparan. Tetapi ada pula ulama yang menafsirkan, kata “dāffah” adalah musibah yang melanda masyarakat. (As-Syarbini, 1997 M/1418 H: IV/388).

Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penyimpanan daging kurban tergantung pada pemerataan. Diutamakan pula bagi orang-orang yang mengalami kesulitan pangan seperti Arab badui yang masuk ke Kota Madinah untuk mendapatkan makanan.

Wallahu a’lam bissawab …

Ad

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *