Wakaf secara bahasa berarti menahan atau mencegah. Bahasa Arabnya sepadan dengan al-habsu dan al-man’u. Dalam istilah fikih, para imam mazhab memiliki perbedaan dalam mendefinisikan wakaf. Mazhab Syafi’i memberi arti: Menahan harta yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan tanpa menghabiskan harta tersebut.
Melalui definisi Mazhab Syafi’i di atas, ada beberapa hal yang bisa diacu untuk menyebut suatu perbuatan apakah termasuk wakaf atau tidak. Acuan tersebut terdiri dari tiga hal, yaitu ada harta, tidak habis, dan dimanfaatkan untuk kebaikan.
Acuan itu jika dihadapkan pada pertanyaan “apakah boleh wakaf tenaga?”, tentu jawabannya adalah tidak. Dengan kata lain, memanfaatkan tenaga kita untuk suatu kebaikan tidak bisa disebut wakaf, karena wakaf harus ada hartanya.
Bagaimana dengan mazhab yang lain? Kami mencoba melihat kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Quwaytiyah. Di kitab itu ada penjelasan bahwa ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidak mewakafkan manfaat suatu benda tanpa memberikan hak miliknya.
Contohnya seperti mewakafkan rumah untuk dimanfaatkan dalam kegiatan keagamaan, tapi status kepemilikannya tetap. Dalam fikih, contoh ini disebut dengan istilah waqful manfa’ah atau mewakafkan manfaat tanpa menyerahkan kepemilikan bendanya.
Ada dua pendapat tentang hukum wakaf manfaat. Pendapat pertama adalah tidak boleh. Ini adalah pendapat Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanafi, dan sebagian Mazhab Hambali. Alasannya adalah karena objek wakaf atau benda yang diwakafkan harus berupa benda (al-‘ain). Berarti benda tersebut diserahkan kepemilikannya, bukan sekadar memperbolehkan benda itu dimanfaatkan.
Pendapat kedua adalah boleh. Ini adalah pendapat Mazhab Maliki dan sebagian Mazhab Hambali. Dalam pendapat ini, wakaf tidak disyaratkan harus menyerahkan kepemilikan benda serta tidak harus bersifat selamanya. Artinya, kita boleh mewakafkan sesuatu dengan waktu tertentu. Contohnya mewakafkan rumah untuk dimanfaatkan sebagai kantor takmir masjid selama dua tahun saja.
Wakaf manfaat beserta batasan waktu seperti ini menurut pendapat kedua hukumnya boleh. Berbeda dengan pendapat pertama yang melarangnya, termasuk melarang adanya batas waktu dalam wakaf.
Apakah wakaf tenaga bisa dimasukkan dalam kategori waqful manfa’ah? Jawabannya adalah tidak. Meskipun Mazhab Maliki dan sebagian Mazhab Hambali memperbolehkan wakaf manfaat, namun kebolehan itu terbatas pada manfaat benda saja. Tenaga manusia tidak bisa masuk kategori ini karena ada kaidah al-hurru la yadkhulu tahta al-yad, artinya orang merdeka tidak dikuasai orang lain.
Baca Juga : Fikih Wakaf: Tentang Orang yang Wakaf
Solusi untuk Mendapat Pahala yang Sama dengan Wakaf
Melalui penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa wakaf tenaga tidak diperbolehkan oleh 4 mazhab fikih. Sebab, wakaf harus berupa benda atau manfaat dari suatu benda. Manusia dan tenaganya tidak bisa dikategorikan sebagai benda dan manfaatnya untuk wakaf. Jika begitu, bagaimana dengan orang yang ekonominya rendah? Apakah mereka tidak bisa mendapatkan pahala yang terus mengalir seperti wakaf?
Perlu kita ketahui bersama, wakaf itu tidak harus sesuatu yang harganya mahal. Dengan uang lima puluh ribu misalnya, kita bisa membeli mushaf Al-Qur’an dan mewakafkannya di masjid atau di tempat anak-anak belajar ngaji. Itu sudah terhitung sebagai wakaf yang pahalanya mengalir terus. Semua ulama fikih akan menyatakan bahwa itu adalah wakaf. Tidak ada ikhtilaf.
Selain itu, ibadah sosial yang pahalanya sepadan dengan wakaf juga tidak sedikit, termasuk memanfaatkan tenaga kita untuk kebaikan, seperti membangun gorong-gorong, membantun masjid, atau membangun tempat ngaji. Tenaga yang kita keluarkan untuk hal-hal baik itu tanpa kita sebut wakaf juga tetap memiliki pahala yang terus mengalir. Jadi, kita tidak perlu memaksakan untuk menyebutnya sebagai wakaf. Toh, atsar pahalanya sama saja.
Wallahu a’lam bissawab …