Dalam wakaf, terdapat lima rukun atau unsur yang harus ada, yaitu orang yang wakaf (waqif), harta yang diwakafkan (mauquf bih), penerima wakaf (mauquf alaih), ikrar wakaf (sighat), dan pengelola (nazir, qayim, atau mutawali). Lima rukun tersebut memiliki syarat masing-masing agar wakaf yang dilakukan sah hukumnya. Mari kita awali dengan membahas waqif.
Waqif, Orang yang Wakaf
Secara umum, orang yang wakaf memiliki satu syarat utama, yaitu dia harus cakap untuk melakukan amal kebajikan atau bahasa fikihnya ahlun lit tabarru’. Syarat “cakap” ini kemudian melahirkan beberapa syarat turunan. Di antara turunan tersebut, ada yang disepakati oleh semua mazhab fikih (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali) dan ada pula yang terjadi perbedaan pendapat. Meski ada perbedaan pendapat, namun secara umum ada delapan hal yang disyaratkan oleh mayoritas ulama.
8 Syarat Waqif |
Orang Dewasa |
Berakal Sehat |
Tidak Sakit Parah |
Pemilik Penuh Harta |
Pemilik Sah |
Cakap Bertindak |
Tidak Terjerat Utang |
Beragama Islam |
Pertama, harus orang dewasa atau balig, tidak cukup mumayyiz (anak yang sudah mengerti baik dan buruk). Alasannya adalah karena wakaf mengakibatkan seseorang kehilangan harta. Untuk memastikan tindakan itu memang sudah dipikirkan dengan matang, maka anak-anak tidak boleh menjadi orang yang mewakafkan hartanya.
Kedua, harus berakal sehat. Orang gila, idiot, atau orang yang sedang mabuk tidak sah jika mewakafkan hartanya. Khusus untuk orang yang mabuk, wakafnya bisa tetap sah jika mabuknya karena maksiat. Mengapa begitu? Syarat akal sehat ini sebenarnya ditentukan untuk melindungi harta orang-orang yang akalnya sakit. Ketika ada orang yang mabuk, berarti dia dengan sengaja membuat akalnya sakit. Itu adalah kemaksiatan. Fikih ingin memberikan sangsi kepada orang yang maksiat itu dengan tetap menghukumi wakafnya sebagai sesuatu yang sah.
Ketiga, tidak dalam keadaan sakit parah. Syarat ini muncul untuk melindungi hak-hak ahli waris atau orang yang uangnya diutang oleh waqif. Biasanya, orang yang sakit parah akan merasa ingin banyak melakukan amal kebaikan. Ia bisa saja mewakafkan seluruh hartanya karena merasa akan mati. Jika keinginan itu dibolehkan, maka ahli waris dan orang yang memiliki hak terkait harta akan tidak mendapat apa-apa, padahal itu hak mereka. Meski demikian, syarat ini tidak berlaku secara mutlak. Orang yang sakit parah tetap diperbolehkan wakaf asalkan tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta yang dia punya.
Keempat, pemilik penuh harta. Kelima, pemilik sah. Dua syarat ini agak mirip. Yang satu berarti hartanya bukan harta pinjaman atau sejenisnya yang secara hukum memang dakui sah berada dalam tanggung jawabnya, namun bukan sepenuhnya menjadi hak miliknya. Sedangkan yang kedua berarti harta itu tidak dimiliki secara sah, bisa karena hasil curian, hasil gasab, atau harta sengketa yang diklaim sepihak. Yang jelas, orang yang wakaf haruslah benar-benar pemilik asli harta dan kepemilikannya harus bersifat penuh.
Keenam, cakap bertindak atau istilah fikihnya adalah rasyid. Syarat ini hubungannya dengan orang yang menghawatirkan ketika memegang harta. Dia secara akal memang tidak gila, tapi dia memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk seperti boros atau sedang bangkrut. Orang yang seperti itu tidak dianggap rasyid sehingga tidak sah mewakafkan hartanya. Aturan ini selain melindungi pemilik harta, juga melindungi orang yang punya hak ke hartanya sebagaimana aturan tentang orang yang sakit keras sebelumnya. Bedanya, orang yang tidak rasyid dilarang mewakafkan hartanya secara mutlak, bukan hanya dibatasi sepertiga.
Ketujuh, tidak tenggelam utang. Logika syarat ini mirip dengan sebelumnya, yakni melindungi hak orang lain. Namun, ada beberapa kemungkinan dalam utang. Pertama, utangnya melebihi harta yang dimiliki. Orang ini mutlak tidak boleh wakaf. Kedua, utangnya tidak lebih banyak dari hartanya. orang ini sah melakukan wakaf, dengan catatan wakafnya tidak melebihi sisa harta. Jika ia masih memaksakan diri untuk wakaf yang melebihi sisa hartanya, maka dia harus meminta izin kepada pihak yang ia utangi.
Kedelapan, beragama Islam. Syarat terakhir ini sebenarnya masih menjadi perdebatan di kalangan ulama fikih. Penyebabnya adalah adanya perbedaan dalam memandang kedudukan wakaf, apakah termasuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah atau termasuk amal sosial. Jika wakaf diposisikan sebagai ibadah, tentu harus ada syarat beragama Islam seperti sholat dan ibadah yang lain.
Wallahu a’lam bissawab …